23 Des 2017

Avoidance


Hey there!
Perkenalkan saya Akira. Saya bukan siapa-siapa. Cuma orang yang suka mengamati manusia dan kadang ditulis. Kadang tema nya menarik (setidaknya menurut saya), kadang gak penting. hehe

Saya mau cerita. Baca ya? Ayo, mau dong.. *maksa* :-D

Saya dilahirkan dengan ibu yang bersikap perfeksionis dan pencemas. Dalam banyak kesempatan, beliau sangat menunjukkan sikap begitu. Tentu kemudian itu membekas di dalam benak dan sikap saya yang di kemudian hari saya sadari bahwa saya juga menjadi cenderung perfeksionis dan pencemas.

Dengan kondisi cenderung perfeksionis ini, bahkan salah satu motto saya adalah "daripada buruk, lebih baik tidak usah sama sekali!". "Buruk" di situ bisa dalam hal hasil, atau juga ketepatan waktu. Sering saya memilih tidak datang sama sekali karena terlambat. Padahal sudah sampai di gerbang tempat agenda.

Lucu? Mungkin... Tapi bagi saya, lumayan menyiksa juga. hehe
Ya, sejujurnya ini menyiksa. Saya akhirnya menghindar dan “berbohong” pada diri saya bahwa semuanya baik-baik saja. Padahal gejolak rasa cemas begitu menggelora di dada.

Banyak kejadian saya menghindar dan “berbohong” pada diri sendiri. Kalau berkenan “mendengar” dan “duduk bersama”, boleh lanjut baca.. J

Kejadian pertama, dulu saat masih SD. Bermain bola adalah favorit saya dan kakak. Kami bermain tak kenal waktu dan tempat. Termasuk di sekolah tentu saja.

Sayangnya sekolah kami tidak begitu luas. Bahkan salah satu dinding pembatasnya adalah rumah warga langsung. Terkadang bola memantul langsung ke dinding mereka. Hingga satu hari saya menendang bola dan.... memecahkan kaca nya. Kami pun berlarian dan sembunyi.

Hanya saja, entah bagaimana akhirnya kami ditemukan (ya iya lah, sembunyi nya cuma di kelas) dan disuruh minta maaf. Saya pun datang (sambil menangis... heu..)

Kejadian kedua, saat kuliah. Saya diberi amanah jadi panitia yang belum pernah saya jabat sebelumnya. Singkat cerita, amanah ini saya diamkan dan tidak kerjakan. Sms dan telpon saya abaikan, dan bahkan kadang hp saya tidak aktifkan. hehe

Sampai yang memberi amanah mengirim pesan pendek kurang lebih begini “kalau dalam waktu 4 jam sms ini tidak direspon, saya cabut amanah ini dari anda.” Kaget bukan kepalang saya dikirimi sms begitu.

Oh ya, zaman itu chat apps semacam WA, LINE dll belum musim. Soalnya waktu itu masih musim YM. Jadul yak? Khukhuy!

Kejadian ketiga, pasca kuliah. Lagi-lagi ada yang mengamanahkan sesuatu. Kali ini diminta untuk dibuatkan desain buku yang terkait dengan agenda. Rencananya hendak dibagikan di hari agenda itu, namun desain yang harusnya selesai sepekan sebelumnya untuk dicetak, hingga hari H-1 belum juga dikirimkan.

Malu nya bukan main saya dibuat kelakuan sendiri.


Kadang muncul untuk “bersolusi” menghilang selamanya. Tapi......... avoidance 2
read more

Avoidance 2



Berkali-kali saya mencoba untuk menghilang sementara. Ya setidaknya sampai badainya mereda. Agar ‘nyawa malu’ bisa terselamatkan.

Tapi akhirnya ada yang membisiki, “hei, letak badai itu bukan di luar sana, dia ada di dada mu!” ya, ternyata kecamuk kacau rasa itu ada di dalam sini! Di luar memang “baik-baik” saja. Hanya perlu hadirnya saya saja. Ternyata.

Di kejadian pertama, berakhir dengan sang empunya rumah berkata “iya gak apa-apa.. gak sengaja kan..?” ah, manusia lanjut usia yang baik hati. Terima kasih telah menenangkan anak SD yang sedang tersedu sedan kala itu.

Kejadian kedua saya selesaikan dengan merespon sebelum jatuh tempo. Sambil menelan pil pahit malu. Ya, konsekuensi menghilang sementara memang. Telan saja! Take the consequences..!

Amanah pun selesai, dan tak ada gunjingan pasca itu. Alhamdulillah, naik kelas pula saya di mata banyak orang senior kala itu.

Sedangkan kejadian ketiga, karena terlewat tenggat waktu. GAGAL TOTAL memang. Namun saya berpikir, ini bukan akhir segalanya. Saya temui perwakilan penanggung jawab agenda. Menjelaskan seluruh kronologis, lalu menutupnya dengan permohonan maaf. Ah, manusia memang mungkin lalai.

Begitulah cara saya akhiri semua fase menghilang itu. Hadapi saja. Hantam. Tak peduli berhamburan malu, dikata tak punya wajah, tak bertanggung jawab. Hei, justru menemui penanggung jawab itu adalah bentuk tanggung jawab!

“Karena tak dikata cacat sebuah wajah rupawan karena ada goresan luka kecil, maka tunjukkan saja seluruh wajah mu itu!”

Halah tulisan macam apa pulak di atas ini?!?!
Saya cuma mau bilang: ayolah datang saja. Temui meski mungkin malu. Menghilang itu tidak sehat untuk kesehatan pikiran.

Nb: this is special for you. Yes, it's for you. 
Don't forget to smile and energic, as always. :)
read more

Kerudung & jilbab, samakah?



Kewajiban kerudung diterangkan dalam Al Quran Surah An-Nur: 31

“…dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…”

Khimar atau kerudung adalah apa yang dapat menutupi kepala, leher dan sebagian dada tanpa menutupi muka (Al Baghdady, 1991) Batas bawah yang ditutup oleh kerudung adalah bagian kerah baju yang memperlihatkaan leher dan dada (Tafsir Al Azhar juz XVIII hal 180). 

Sedangkan kewajiban jilbab diterangkan dalam Al Quran Surat Al Ahzab : 59

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha penyayang."

Definisi jilbab yang diterangkan dalam kamus al Muhith adalah pakaian yang luas untuk wanita yang dapat menutupi pakaian rumahnya seperti milhafah (mantel). Tafsir Jalalain (jilid 3:1803) memberikan arti jilbab sebagai kain yang dipakai seorang wanita untuk menutupi tubuhnya. Jauhari dalam Ash Shihah mengatakan jilbab adalah kain penutup tubuh wanita dari atas sampai bawah. Khaththath Usman Thaha dalam Tafsir wa Bayan menjelaskan jilbab adalah apa-apa yang dapat menutupi seperti seprai atas tubuh wanita hingga mendekati tanah. Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq Jilid 7 (Edisi Indonesia) menerangkan jilbab adalah baju mantel. Dalam Kitab Mujam al Wasith hal 128 jilbab diartikan sebagai pakaian yang menutupi seluruh tubuh atau pakaian luar yang dikenakan diatas pakaian rumah seperti mantel. 

Jadi Kerudung & jilbab itu berbeda, tapi kewajiban memakainya adalah sama-sama wajib digunakan. :)
read more

13 Apr 2017

MURAHAN!

Dear readers, apakah kalian berencana memiliki anak? Atau kalian sudah memiliki anak? Bersekolah kah mereka? Berapa biaya mereka bersekolah? Murah kah? Mahal Kah?

Saya adalah orang yang senang mengamati tingkah laku manusia. Baik yang masih anak-anak ataupun dewasa. Dengan mengamati tingkah lakunya, kadang di kepala saya berseliweran tentang hal-hal yang mereka telah mereka lalui di kehidupannya. Mungkin mereka pernah mengalami ini, pernah mengalami itu. Meski pada akhirnya hampir selalu berakhir di dugaan--yang entah benar atau tidak. Sebagian disertai dengan rasa kagum, sebagian lainnya dengan rasa kasihan.

Melihat anak yang memiliki hafalan quran belasan atau puluhan juz misalnya, saya kemudian membayangkan betapa hari-harinya dipenuhi dengan muraja'ah paling tidak di subuh dan magrib. Terutama bagi anak-anak yang tidak tinggal di pondok pesantren tahfidz quran. Saya kemudian menduga mereka biasa 'setoran' hafalannya pada orang tua mereka. Betapa menjaga dan perhatiannya orangtua mereka. Meskipun itu juga hanya sekedar asumsi.

Sebaliknya, saat saya bertemu dengan anak yang agak kusam tidak terurus atau terlihat "bandel" dalam rangka mencari perhatian, pengamatan saya berakhir dengan pikiran: "bagaimana orangtua memperlakukan mu, nak?"

Di suasana dunia yang semakin hedonis seperti sekarang ini, sebagian orang menaruh standar berharga atau tidak dengan ukuran materi belaka. Ukuran uang. Ratus ribu, juta, puluhan juta, milyar dst. Maka tidak heran ada orang tua yang sampai hati membentak habis-habisan ketika anaknya tanpa sengaja merusak 'barang mahal' semisal gadget. Mereka lupa anak adalah manusia, yang sudah barang tentu lebih mahal dibanding gadget seri terbaru milik mereka. Ada juga yang tega meluluhlantakkan hati anak di depan umum saat tak sengaja memecahkan porselein yang rapuh. Mereka lupa perasaan anak juga rapuh, bisa 'pecah' dan berbekas jika 'dibanting'.

Wahai orang tua! Anak mu adalah penerus nafas di dunia setelah dirimu mati! Salah satu hal dari tiga hal yang berharga saat semua hal di dunia ini tidak ada harganya lagi! Didiklah mereka dengan cara dan proses yang "mahal", jangan cara murahan!

Anak-anak itu butuh orangtua yang "mahal" bukan sekedar disekolahkan di sekolah yang mahal. Jangan berharap banyak jika hanya menyekolahkan anak di sekolah "bagus dan mahal", sedangkan orangtua nya adalah orang tua murahan yang tidak tahu memperlakukan dan membentuk anak sebagai calon manusia baru di masa depan.

Jangan pernah keluar dari mulut kita "saya sudah bayar mahal sekolahkan anak saya di sini, masa hasilnya begini-begini saja". Sekolah itu bukan ember cat yang sekali celup sebuah benda yang diangkat darinya pasti berwarna. Belajar dan pendidikan itu adalah proses sepanjang hari, sepanjang hayat.

Berikanlah harta mahal yang bisa kita bayar untuk mendidik mereka: WAKTU kita. Habis uang puluhan, ratusan juta bisa kita dapat kembali, sedangkan waktu yang kita "berikan" untuk orang, di mana kita bisa mencari?
read more

Karena semua ada ilmu nya

Ayah saya kadang suka berkata dengan nada bercanda, namun kadang di balik kalimat candaannya menyimpan makna filosofis. Salah dua kalimat yang saya ingat adalah "hujan ge aya raat na" (hujan juga ada reda nya) dan "nanaon oge aya elmu na" (semua juga ada ilmu nya).

Kalimat pertama biasanya beliau katakan ketika kami, anggota keluarganya, sedang menunggu antrian yang lama. Saat macet di jalan, dan salah satu diantara kami terlihat sudah tidak sabar, misalnya, beliau biasanya langsung berkata demikian. Biasanya kami kemudian tertawa kecil. Bukan karena kalimat tersebut lucu, tapi karena saking seringya beliau berkata demikian. Ya, agar kami bersabar, karena ada tidak sabar justru akan membuat suasana semakin menyebalkan.

Sedangkan kalimat kedua biasa beliau katakan saat kami anggota keluarganya (terutama anak-anaknya) melihat satu pekerjaan yang menurut kami sulit dikerjakan, namun dikerjakan begitu mudah oleh orang lain. Sama dengan kalimat pertama, sesaat setelah beliau berkata kalimat tersebut, kami akan tertawa kecil. Lagi-lagi, bukan karena lucu, tapi karena seringnya beliau berkata demikian. Klise.

Dari kedua kalimat klise ayah kami tersebut, bagi saya yang menarik adalah kalimat kedua. Beliau mengingatkan kami bahwa segala hal di dunia ini memerlukan ilmu. Bahkan hal-hal remeh temeh semacam mencuci setumpukan gelas dan piring kotor agar bersih sempurna, mengepel lantai agar tak ada kotor lagi, atau menyetrika baju agar tak ada kusut tersisa. Semuanya ada ilmunya. Akan sulit atau tidak terselesaikan secara 'sempurna' jika tidak dibarengi dengan ilmunya.

Termasuk di dalamnya adalah ketika misalkan anda memutuskan hendak menikah. Jangan terburu-buru menikah sebelum memenuhi isi kepala dengan ilmu tentang membangun rumah tangga. Saya tidak mengatakan bahwa menikah di usia muda itu tidak baik. Bukan! Karena usia bukan jadi patokan banyaknya isi kepala, bukan?

Hal yang ayah saya pesankan ini sebenarnya sejalan dengan perkataan seorang ulama Hadits terkemuka, al-Bukhari: “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)”

Dengan ilmu, segala yang kita lakukan akan terarah, tidak serampangan. Lebih dari itu, kita tahu apa yang kita lakukan itu benar.

Sebagai seorang manusia, terlebih sebagai seorang Muslim, harus membekali diri dengan ilmu. Ilmu apapun. Terlebih terkait dengan hal-hal yang hendak dilakukan. Karena setiap perbuatan pasti akan dimintai pertanggungjawabannya, maka tak boleh lengah seorang muslim dalam membekali diri dengan ilmu.

Sekiranya seseroang hendak bertransaksi jual beli, maka ia harus mengetahui tentang boleh atau tidaknya model transaksi semacam itu. Seandainya seseorang hendak memutuskan mengambil atau meninggalkan sesuatu, maka hendaknya dia mengetahui dia diperintahkan untuk mengambil atau meninggalkan sesuatu tersebut. Demikianlah seterusnya. Karena di hari pembalasan kelak, tak ada hal yang tak ditanyakan oleh Sang Raja Semesta.

Ah.. Thank you, daddy!
read more