17 Mar 2011

Pattimura: Pahlawan dan Tokoh Islam

Meluruskan sejarah Kapitan Ahmad `Pattimura’ Lussy

Tokoh Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad Lussy, tetapi dia lebih dikenal dengan Thomas Mattulessy yang identik Kristen. Inilah Salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minor atas sejarah pejuang Muslim di Maluku dan/atau Indonesia umumnya.
Nunu oli
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu

(Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya (demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya).

Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Kapitan Ahmad Lussy atau dikenal dengan sebutan Pattimura, pahlawan dari Maluku. Saat itu, 16 Desember 1817, tali hukuman gantung telah terlilit di lehernya. Dari ucapan-ucapannya, tampak bahwa Ahmad Lussy seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut. Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Ahmad Lussy juga tampak optimis.

Namun keberanian dan patriotisme Pattimura itu terdistorsi oleh penulisan sejarah versi pemerintah. M Sapija, sejarawan yang pertama kali menulis buku tentang Pattimura, mengartikan ucapan di ujung maut itu dengan “Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi kelak Pattimura-Pattimura muda akan bangkit”. Namun menurut M Nour Tawainella, juga seorang sejarawan, penafsiran Sapija itu tidak pas karena warna tata bahasa Indonesianya terlalu modern dan berbeda dengan konteks budaya zaman itu.

Di bagian lain, Sapija menafsirkan, “Selamat tinggal saudara-saudara”, atau “Selamat tinggal tuang-tuang”. Inipun disanggah Tawainella. Sebab, ucapan seperti itu bukanlah tipikal Pattimura yang patriotik dan optimis.

Puncak kontroversi tentang siapa Pattimura adalah penyebutan Ahmad Lussy dengan nama Thomas Mattulessy, dari nama seorang Muslim menjadi seorang Kristen. Hebatnya, masyarakat lebih percaya kepada predikat Kristen itu, karena Maluku sering diidentikkan dengan Kristen.

Muslim Taat

Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Ia bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.

Menurut sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim yang taat. Selain keturunan bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu semua pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama, atau keduanya.

Bandingkan dengan buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit. M Sapija menulis, “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.

Ada kejanggalan dalam keterangan di atas. Sapija tidak menyebut Sahulau itu adalah kesultanan. Kemudian ada penipuan dengan menambahkan marga Pattimura Mattulessy. Padahal di negeri Sahulau tidak ada marga Pattimura atau Mattulessy. Di sana hanya ada marga Kasimiliali yang leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman.

Jadi asal nama Pattimura dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sedangkan Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy. Dan Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku.

Berbeda dengan Sapija, Mansyur Suryanegara berpendapat bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura.

Masih menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam. Di antaranya adalah kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan Maluku.

Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan Kristen. Penulis buku Menemukan Sejarah (yang menjadi best seller) ini mengatakan, “Kalau dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen, lihat saja dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja.”

Sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, dari sudut pandang antropologi juga kurang meyakinkan. Misalnya dalam melukiskan proses terjadi atau timbulnya seorang kapitan. Menurut Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal tidak.

Leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.

Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan “kapitan” yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.

Perjuangan Kapitan Ahmad Lussy

Perlawanan rakyat Maluku terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda disebabkan beberapa hal. Pertama, adanya kekhawatiran dan kecemasan rakyat akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah seperti yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Kedua, Belanda menjalankan praktik-praktik lama yang dijalankan VOC, yaitu monopoli perdagangan dan pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi adalah polisi laut yang membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda. Ketiga, rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.

Akibat penderitaan itu maka rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata. Pada tahun 1817, perlawanan itu dikomandani oleh Kapitan Ahmad Lussy. Rakyat berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua. Bahkan residennya yang bernama Van den Bergh terbunuh. Perlawanan meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya.

Perlawanan rakyat di bawah komando Kapitan Ahmad Lussy itu terekam dalam tradisi lisan Maluku yang dikenal dengan petatah-petitih. Tradisi lisan ini justru lebih bisa dipertanggung jawabkan daripada data tertulis dari Belanda yang cenderung menyudutkan pahlawan Indonesia. Di antara petatah-petitih itu adalah sebagai berikut:

Yami Patasiwa
Yami Patalima
Yami Yama’a Kapitan Mat Lussy
Matulu lalau hato Sapambuine
Ma Parang kua Kompania
Yami yama’a Kapitan Mat Lussy
Isa Nusa messe
Hario,
Hario,
Manu rusi’a yare uleu uleu `o
Manu yasamma yare uleu-uleu `o
Talano utala yare uleu-uleu `o
Melano lette tuttua murine
Yami malawan sua mena miyo
Yami malawan sua muri neyo
(Kami Patasiwa
Kami Patalima
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Semua turun ke kota Saparua
Berperang dengan Kompeni Belanda
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Menjaga dan mempertahankan
Semua pulau-pulau ini
Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap
Mari pulang semua
Ke kampung halaman masing-masing
Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)
Sudah pulang-sudah pulang
Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)
Sudah pulang-sudah pulang
Ke kampung halaman mereka
Di balik Nunusaku
Kami sudah perang dengan Belanda
Mengepung mereka dari depan
Mengepung mereka dari belakang
Kami sudah perang dengan Belanda
Memukul mereka dari depan
Memukul mereka dari belakang)

Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu Belanda meminta bantuan dari pasukan yang ada di Jakarta. Keadaan jadi berbalik, Belanda semakin kuat dan perlawanan rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan kawan-kawan tertangkap Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Ahmad Lussy beserta kawan-kawannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan.

Nama Pattimura sampai saat ini tetap harum. Namun nama Thomas Mattulessy lebih dikenal daripada Ahmad Lussy atau Mat Lussy. Menurut Mansyur Suryanegara, memang ada upaya-upaya deislamisasi dalam penulisan sejarah. Ini mirip dengan apa yang terjadi terhadap Wong Fei Hung di Cina. Pemerintah nasionalis-komunis Cina berusaha menutupi keislaman Wong Fei Hung, seorang Muslim yang penuh izzah (harga diri) sehingga tidak menerima hinaan dari orang Barat. Dalam film Once Upon A Time in China, tokoh kharismatik ini diperankan aktor ternama Jet Li.

Dalam sejarah Indonesia, Sisingamangaraja yang orang Batak, sebenarnya juga seorang Muslim karena selalu mengibarkan bendera merah putih. Begitu pula Pattimura.

Ada apa dengan bendera merah putih? Mansyur merujuk pada hadits Imam Muslim dalam Kitab Al-Fitan Jilid X, halaman 340 dari Hamisy Qastalani. Di situ tertulis, Imam Muslim berkata: Zuhair bin Harb bercerita kepadaku, demikian juga Ishaq bin Ibrahim, Muhammad bin Mutsanna dan Ibnu Basyyar. Ishaq bercerita kepada kami. Orang-orang lain berkata: Mu’adz bin Hisyam bercerita kepada kami, ayah saya bercerita kepadaku, dari Qatadah dari Abu Qalabah, dari Abu Asma’ Ar-Rahabiy, dari Tsauban, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah memperlihatkan kepadaku bumi, timur dan baratnya. Dan Allah melimpahkan dua perbendaharaan kepadaku, yaitu merah dan putih”.

Demikianlah pelurusan sejarah Pattimura yang sebenarnya bernama Kapitan Ahmad Lussy atau Mat Lussy.

Wallahu A’lam Bish Shawab.* (dari berbagai sumber)


http://www.facebook.com/photo.php?op=1&view=global&subj=1012581254&pid=30669254&id=1247923579
read more

Aswad

Saat tiran-rasa memaksa untuk tak lagi merasa. Menghilangkan nada warna-amarah hingga jadi tak bermakna, atau sekedar bermakna ganda saja. Maka hitam tak lagi kelam, putih tak lagi jernih. Yang ada hanya abu-abu.
Hai, kawan.. aku hanya ingin menjelaskan dengan sederhana bagaimana seharusnya kepekatan kita abadikan kesannya sebagai sebuah kelam saja. Tak perlu tanggapi andai terekam nada warna selainnya. Karena aku yakin bahwa tak ada yang abu2 selama kejelasan makna mampu kita hadirkan saat mencerap fakta. Karena aku yakin Dia hanya mencipta dua warna: kelam dan tidak. Abu2 hanya semu, kefanaan yang tak ada makna saat telah mendapati jati diri.
Maka teriaklah dengan lantang: HITAM AKAN TETAP KELAM DAN PUTIH SENANTIASA JERNIH!
read more

"Proses"

Hari sudah menjadi minggu, bergerak menuju bulan, lalu berevolusi menjadi tahun. Waaaa! Saya gak menyangka waktu berjalan begini cepatnya! Ah! Atau malah sebenarnya saya yang bergerak lambat? Hmm.. nampaknya memang saya yang lambat merambat.

Lima tahun rupanya saya sudah meninggalkan 2006, namun sungguh lompatan2 informasi tentang pergulatan dalam pikiran tetap saja masih jelas terekam. Salahsatunya adalah saat saya mencoba ’membujuk’ kawan lama yang lama tak berjumpa suasana kajian melingkar sambil disuguhi kitab2 dengan huruf arab gundul.

Beliau sebenarnya adalah orang yang satu tahun lebih dahulu hadir di dunia ini daripada saya, tapi secara garis keturunan, saya yang harusnya beliau panggil Oom. Hehe.

Beliau juga orang yang dua tahun lebih dahulu bergabung bersama mereka yang mengacungkan jari tengahnya untuk para penguasa dhalim dan tidak menerapkan aturan-aturan Alloh; barisan orang-orang yang merindukan hidup di bawah satu Super Global State dengan Islam sebagai satu-satunya warna yang memperindah negeri-negeri di Asia, Afrika, Amerika, Eropa dan Australia.

”Lamanya seseorang berkenalan dengan sesuatu tidak menjadi jaminan bahwa dia adalah orang yang paling tahu dan menjadikannya sebagai ’sesuatu’ dalam dirinya” begitu kata orang. Saya awalnya bingung dengan ungkapan itu, namun lama kemudian saya akhirnya mengerti saat bertemu ungkapan lain: ”tidak semua kelapa tua itu semakin tua akan semakin bersantan. Hanya kelapa yang masih bulat utuh saja lah yang akan menjadi semakin bersantan. Karena retak sedikit saja, kelamaan dia akan menjadi busuk!”

Waktu memang merupakan variable penting dalam rangka pembuktian. Waktu akan menjadi saksi kesetiaan pada komitmen, kristalisasi pemahaman, konsistensi loyalitas serta independensi pemikiran seseorang. Waktu akan menyibakkan berbagai tabir kematangan-semu seseorang, sehingga akan jelas hijau atau ranumkah dia.

Setelah saya mendapati pemahaman-pemahaman baru tentang waktu dan kematangan pemikiran, saya memberanikan diri untuk menyentil saudara saya itu di fs. Hmm.. sepertinya percakapan saya dengan dia sekaligus menjadi penutup aja, ya.

Saya: assalamu’alaykum! Kamana wae, om? Hehe bagaymana sudah memulai mengaji lagi kah?

Doski: wa’alaykumsalam. Aya wae. J acan, euy! Tapi saya kira tidak semua hal mesti sama. Perbedaan adalah rahmat. Saya masih dalam proses pencarian..

Saya: ya, memang Tidak semua hal mesti sama, karena jika semua hal sama, maka dunia ini akan mewujud menjadi tempat yang menjemukan! namun ada satu hal, akhi! satu hal! bagaimana menyelaraskan perbedaan itu demi suatu tujuan: kecintaan Tuhan.. sungguh! ana tidak sedang mencoba mengatakan bahwa HANYA jamaah ini yang akan menggiring manusia menuju cinta Tuhan! Ana hanya berusaha menepuk-hangat pundak antm, saat antum (dan banyak orang lainnya) tengah terombang-ambing waktu dan bimbangnya rasa. Ana sebagai saudara-sedarah dan saudara-tak-sedarah antum, berusaha mengatakan bahwa daratan ada di pelupuk mata, akhi..mari merapat..!

[yg ingin ana katakan di testimonial fs ini: mohon jangan artikan sapaan ini sebagai paksaan, namun posisikan sebagai penawaran di tengah perjalanan yang antum jalani: sebuah keterombang-ambingan di tengah "proses"]

Semoga menginspirasi!

TABIK!

[salfa]

read more

12 Mar 2011

ISLAM YANG TERPENJARA*


Guyuran air dingin menarik saya ke alam sadar setelah pingsan. Dengan kepala berat, saya melempar pandangan ke sekeliling ruangan pengap dan lembab itu. Oh, ternyata saya di sel kantor polisi. Saya kemudian dipaksa untuk bicara tentang bungkusan itu. Tentu saja saya jawab saya tidak tahu! Polisi kemudian meninggalkan saya dalam keadaan marah. Saya kemudian dipindahkan menuju sel yang lebih gelap.
Fyuh! Di dalam sel yang dibuat sedemikian rupa sehingga tidak ada ruang untuk cahaya menyelinap masuk, saya masih tidak menyangka kejadian dua hari yang lalu berakhir dramatis seperti ini.
* * *
Saat senja, matahari selalu saja menahan saya lebih lama di bibir pantai. Seperti biasanya, saya selalu berdua saja dengan si Noni. Dia memang bukan kekasih saya—bahkan dia bukan manusia—tetapi dialah yang selalu setia menemani saya ke mana-mana. Yeah, Noni itu sepedah ontel saya yang sudah mulai berkarat.
Dengan ditemani Noni dan lembayung berselimut sepi, biasanya saya banyak berfikir tentang hidup; tentang dari mana saya, apa tujuan saya ada, dan setelah tujuan saya ada telah saya penuhi, akan ke mana saya berakhir? Akh! Tak banyak orang yang merasa perlu untuk memikirkan hal seperti itu, tapi saya piker hal tadi lah yang akan membuat hidup seorang manusia akan berpola. Percaya atau tidak, karena berfikir tentang hal-hal tadi itulah saya memutuskan untuk putus dengan pacar saya. Karena saya merasa tidak ada gunanya saya berpacaran. Huft!
Saat itu tak seperti hari-hari sebelumnya, pantai hari itu terlihat penuh dengan orang-orang. Mereka berkerumun layaknya lalat yang mendapati daging yang sudah lama tak bertuan. Suara bising karena mereka bercakap pun sama bisingnya dengan kepakan sayap lalat. Whoops! Mereka mengerumuni sebuah dus, yang ternyata berisi potongan tubuh manusia.
Masih belum habis rasa penasaran dan mual saya, beberapa orang di samping saya terlihat memperhatikan dari ujung rambut hingga ujung kaki saya! Tingkah aneh itu saya balas dengan menatap lekat bola mata mereka. Saat akan beralih menatap orang ketiga yang menatap saya, salah seorang di tengah-tengah kerumunan itu berteriak, “woi, elu yang tadi buang bungkusan ini, ya?!” nah lho, kenapa tiba-tiba saya yang diteriakin gini?? Mendengar teriakan orang itu, kerumunan itu berbalik menjadi mengerumuni saya dan si noni tersayang. Satu persatu orang-orang itu dengan baik hati menghadiahkan saya dengan bogem mentah-nya, hingga entah di tangan orang ke berapa saya akhirnya jatuh terjermbab di pasir yang putih itu.
* * *
Ditemani gelap dan pengap, saya mulai mencoba berkenalan dengan ruangan ini. Rasanya seperti orang buta saja. Hmm.. mari mulai meraba. Pertama-tama saya berkenalan dengan kayu kasar. Mungkin maksudnya ini untuk tempat tidur, tapi saya pikir kucing budug pun enggan sekedar dekat papan penuh relief ini. Kalian tahu? Rasanya seperti memegang Korong alias upil yang udah kering! Haha! Jorok bangat ya?!

“orang baru, ya? Kenapa? Maling ayam? Hahaha!” suara dengan nada berat tiba-tiba keluar entah dari arah mana. “woi! Siapa , lu?! Kampret ngagetin aja!” saya teriak sambil entah menghadap orang itu atau tidak. “santai, kang! Duduk di bangku yang kamu pegang. Kita ngobrol dulu.” Selorohnya dengan santai. Saya masih emosi memang, tapi apa boleh dikata semua gelap, tak ada yang bisa saya tatap. Akhirnya saya duduk dengan manis di benda yang orang itu bilang bangku.

“sori, tadi gua kaget, jadi teriak kayak orang gila. Gua Almer Akira Al-Zada a.k.a. A3, lu siapa?” Saya mulai menurunkan nada bicara sambil masih tetap bingung ke arah mana saya harus menghadap untuk menemukan lawan bicara saya.

“nama saya Islam. Hmm.. Akira? Gak kedengeran kayak nama seorang maling ayam. Kenapa kamu bisa di sini?” pembicaraan kami sudah mulai cair dengan cara bicaranya yang semakin santai. “eh? Islam? Nama yang unik. Gua di sini gara-gara dituduh orang yang mutilasi, padahal bukan gua yang ngelakuin itu, sumpah! Cuma gara-gara gua kebetulan lewat, eh gua diteriakin sama orang-orang kampring itu!” saya bercerita dengan berapi-api. “ooh.. iya, saya percaya bukan kamu pelaku pembunuhan itu, Akira. Dari cara kamu cerita, saya tau kamu orang baik.” Dia bicara seolah dia dukun. Hehehe.

“bagus lah kalo lu percaya gua orang baik. Oia, lu sendiri dari kapan di sini, terus gara-gara apa, bro?” Tanya saya dengan penasaran.

“terlau panjang lah kalo diceritain. Kamu bakalan bosen!” Dia menolak dengan halus. “whuei, gua itu pendengar setia aki-aki di panti jompo, bos! Jangan khawatir gua bakalan bosen!” saya memaksanya untuk bercerita.

“ oke deh, nih saya mulai cerita.” Dia pun mulai bercerita sambil terdengar nada girang, seperti anak kecil yang baru mendepatkan sepeda pertamanya.

Dia bernama Islam. Saya hampir tidak percaya saat dia berkata bahwa dia sudah ada di dunia ini sejak 14 abad yang silam, namun ceritanya membuat saya percaya bahwa dia memang sudah hidup selama itu. Ya! Dia berkisah bahwa dirinya ‘dibidani’ oleh Rasulullah Saw., kemudian dijaga oleh keempat sahabat Rasul Saw. dan para khalifah setelahnya.

Untuknya didirikanlah sebuah payung pelindung untuknya bernama Daulah Khilafah, yang di kemudian hari menjadi pencerah bagi umat manusia di dunia. Bersamanya muncullah orang-orang masyhur yang menjadi peletak dasar-dasar ilmu yang membimbing renaissance di Barat.

Dia kemudian menjabarkan beberapa ilmuwan besar dan karya-karyanya yang mengabadikan nama mereka. Disebutlah yang pertama, Al-Khawarizmi, seorang ahli astronomi, geografi dan matematikawan super brilian. Di Barat, khususnya di Eropa lebih dikenal dengan sebutan Algorism atau Algorim. Beliau mewariskan ilmu tentang Al-Jabar, mulai dari perhitungan sederhana (kali, bagi, tambah, kurang), sampai matematika rumit bertitelkan ‘kalkulus’, yang konon rumit. Beliau pun mewariskan teorema Trigonometri: sinus, cosinus, tangen, cotangen, dll.

Kemudian disebutlah Ibnu Sina seorang ahli filsafat, bahasa, astronomi, dan yang paling menonjol dalam bidang kedokteran. Karyanya, al-Qanuun—yang diterjemahkan menjadi the Canon—hingga kini masih menjadi rujukan kedokteran di Barat.

Selanjutnya Ibnu Al-Haiitsami, sebagai pelopor dalam bidang optik yang bereksperimen dengan 27 jenis lensa yang berbeda, yang kemudian menemukan hukum refleksi dan refraksi. Kitabnya yang berjudul Al-Manazhir (kamus optik), konon adalah satu buku yang paling banyak dijiplak dalam sejarah sains. Ilmuwan yang menjiplaknya antara lain Roger Bacon, Da vinci, Kepler, atau bahkan mungkin juga Newton.

Last but not least, Al-Bukhori, seorang perawi hadits yg mempunyai daya ingat sedemikian cemerlangnya, serta sederetan nama lain yang tidak akan cukup kalau disebutkan di sini semuanya.

Di bawah naungan Daulah Khilafah itulah tunas-tunas tumbuh di bawah keperkasaan. Bunga-bunga mekar tanpa ada yang berani merenggutnya dengan paksa. Manusia aman sentosa tanpa cela, dan tak pernah berhenti membesarkan Penciptanya.

Saat itu, ratusan tahun dunia tunduk. Ratusan tahun manusia takluk. Mereka hargai dan segani Khilafah Islamiyah. Bumi jadi tempat yang megah. Dimana setiap jiwa terpelihara dari dosa, setiap harapan punya tempat yang terang untuk diwujudkan, mawar-mawar merah dijaga kehormatannya, dan taman-taman bunga selalu semerbak mengharumi dunia.

Itu keadaan 87 tahun yang lalu, sebelum dirinya dipenjara di sini bersama saya. Untuk yang keduakalinya saya hampir tidak percaya: dia di penjara ini sudah 87 tahun?! Lalu apa yang terjadi sebelum Islam dipenjara? Dia berkata bahwa pelindungnya telah dihancurkan. Ya! Daulah Khilafah telah dihancurkan! Setelah itu secara perlahan orang-orang mulai meninggalkan Islam. Mereka bukan tidak percaya Islam, namun hanya saja mereka mengenyampingkannya dari tengah-tengah kehidupan mereka, bahkan akhirnya mereka melarang Islam untuk hadir, di tengah-tengah masyarakat! MEREKA MEMENJARAKAN ISLAM!

Wow! Saya sangat heran, bagaimana mungkin orang yang katanya percaya pada Islam, namun dia memenjarakannya hingga tidak bisa hadir di tengah-tengah kehidupan mereka?!

Di hari itu saya perasaan di hati saya campur-baur. Ada rasa takjub, malu, hingga marah dan jengah! Saya jengah dengan bodohnya orang yang berani-beraninya memenjarakan Islam di sudut kelam. Entah setelah berapa jam kami mengobrol, saya yang kelelahan akhirnya terlelap.
* * *
Berbulan-bulan setelah kami bertemu dan berbincang, saya yang akhirnya bebas karena memang tidak ada bukti untuk ditahan, mencoba mengunjungi kawan saya yang berada dalam sel kelam. Namun betapa saya terkejut mendapati kabar bahwa tidak pernah ada tahanan bernama Islam dan saya tidak pernah ditempatkan dalam sel gelap! Saya kemudian bertanya, kalau begitu apa yang terjadi pada saya kemarin itu? Sipir bilang bahwa saya hanya pingsan saja. WHAT?! Lalu dialog yang kemarin itu??
* * *
Tujuh hari penuh saya memikirkan tentang dialog saya dengan makhluk bernama Islam. Dialog itu terasa sangat nyata! Menyentuh jiwa dan mengobarkan amarah, tapi ternyata bahkan dialog itu tidak nyata? Saya yakin pasti ada ‘sesuatu’ yang ingin ditunjukkan oleh ‘Sesuatu’! Saya harus cari tahu sampai dapat jawaban yang memuaskan akal dan menentramkan jiwa.
* * *
Jalanan sore lagi-lagi memukau iris saya. Yeah! Lembayung digelayuti mentari seolah mencair layaknya margarin meleleh di penggorengan. Akhirnya setelah kesana kemari dan menghabiskan waktu 1 tahun penuh, saya mendapatkan jawaban tentang dialog saya dengan Islam itu.
Saya akhirnya tahu bahwa dialog saya dengan Islam itu tidak benar-benar terjadi, namun kondisi yang dialaminya memang benar-benar terjadi pada Dien yang bernama sama: ISLAM. Islam yang dahulu memuliakan dan dimuliakan pemeluknya disingkirkan dari kehidupan manusia, dicampakkan, dipenjarakan di sudut-sudut gelap yang terhinakan.
Sekarang saya ditemani Noni tersayang meluncur di setiap petang untuk berusaha membebaskan Islam. Bukan dari penjara fisik, namun dari belenggu pengkerdilan manusia-manusianya. Kami meluncur dari rumah ke rumah, menggelar diskusi-diskusi kecil, menghantam opini-opini miring, bahkan berjalan mengelilingi kota untuk membebaskan ISLAM YANG TERPENJARA!
Semoga kalian pun tergugah membebaskan Islam dari penjara tanpa perlu mengalami kegilaan yang saya alami. Atau hanya ingin jadi PECUNDANG yang memenjarakan Islam?!
When the sun arise from west
When the sin out of the demon ass
We will pay what we have done before
Through the pain, or no limit pleasure
(Hipocrishit—PURGATORY)
TABIK!
*) Tulisan ini merupakan produksi ulang tulisan yang dibuat penulis lain dengan judul dan inti cerita yang sama, namun dengan karakter, cara penulisan dan cerita yang agak berubah.
Semoga kamu gak bete lagi karena tulisan kamu saya bajak (lagi). 
Teruntuk kawan satu Halqah awak yang sering terlihat ketus: Isal.. :-)
read more

7 Mar 2011

sarcasm dialogue

A: Adi aing nu awewe keukeuh hayang kuliah di Psikologi, euy! Kamana nya?
B: nu urang apal nu terkenal teh mun teu di UNPAD, UGM atawa UI weh..
A: ah bingung, an***g!
B: naha bingung sagala?! ngiBING jeung maUNG?
A: enya, an***g! adi urang pas sakola ge nguruskeun na teh bobogohan jeung bobogohan wae! Ngomongkeun na teh lalaki we! Eta teh keur di imah keneh! Kumaha mun jauh ti imah?! Teu kakontrol ku aing! Paur!
B: eta weh atuh nu deukeut, UNPAD atawa UPI, jeung UIN ge aya ketang.
A: oh heueuh. Eta wae kitu??

Huft.. berat buat saya nulis kata-kata sarkas itu (meskipun disensor), hehehe. Tapi saya merasa perlu untuk menulis kata2 itu untuk menggambarkan point apa yang ingin saya sampaikan.
Kali ini saya coba bahas tentang apa coba? Yap! Tentang WANITA! Makhluk yang dilindungi, dihormati dan dimuliakan oleh Allah. (terus kenapa perlu ada kata-kata sarkas yang disensor itu? Kalian bakal tau sendiri!)

Tidak banyak wanita yang menyadari bahwa mereka dimuliakan oleh Allah. Gak percaya? Lihat berapa banyak wanita yang mengiyakan titah Allah buat mengenakan ‘khimar’? Berapa banyak wanita yang mengiyakan titah Allah untuk mengenakan ‘jilbab’?
Ah! saya hampir yakin kalian mulai bête setelah baca paragraf di atas! Iye lah! Orang tuh biasanya gak suka diusik ‘comfort zone’-nya! Jangan pura-pura bilang ‘engga’ deh!
Oke, let’s get in to the point! Begini lho para pembaca yang budiman. Dari dialog di atas (yang memang bener-bener saya alami), saya Cuma pengen ngegambarin betapa sebejad-bejadnya kakak, babeh, ato laki-laki mana pun, sungguh mereka GAK SUDI anggota keluarganya yang wanita atau wanita yang dia sayang disakiti, dilecehkan, atau direndahkan kehormatannya! Coba tanya sama preman-preman yang suka godain cewe dengan manggil “neng, bade ka mana?!” ato suit-suitin kalo ada cewe lewat: dia bakalan gimana kalo emak dia, adik cewe dia, bibi dia, ato mungkin istri dia dilecehin? Beuh! Saya yakin jawabannya bakalan ekstrim! Jawaban ‘paling santai’ kayaknya “ku aing bakal diteunggeulan!”

Saya pikir itu jadi bahan renungan buat saya (semoga buat kalian juga) bahwa kalian Kaum Hawa itu ditinggikan derajatnya oleh Allah ‘azza wajalla! Jangan coba-coba merendahkan diri dengan ‘mengobral’ diri! Hormati diri kalian dengan hanya menampakkan apa yang patut ditampakkan di muka umum. DEMI ALLAH kalian terlalu berharga untuk membuka apa yang seharusnya ditutupi!!! Tidak akan menjadi buruk rupa seandainya kalian hanya menampakkan apa yang patut untuk ditampakkan!

*Emm.. apa dialog di atas nyambung dengan wakwekwok saya? Whatever! Huahahaha!

Teruntuk ‘tulang rusuk’ yang entah berpasang dengan siapa kelak
Jangan biarkan liar pandangan menyibak
Cintailah titah Tuhanmu yang menunjuk
Hingga manisnya jannah kelak kita jejak!

Semoga menginspirasi!
Tabik!
[salfa]
read more