21 Jul 2010

SYUBHAT DALIL DALAM ‘USHUL FIQH

Islam dengan berbagai keistimewaannya telah memberikan pengaruh secara luas ke berbagai aspek kehidupan. Sehingga dengan Islam bisa menghantarkan ummat Islam mencapai sebuah peradaban tertinggi dan terlama disepanjang sejarah manusia. 

Pengajaran Islam yang dihadirkan dalam bentuk syari'at, memiliki karakter yang komprehensif dan senantiasa relevan dengan jamannya. Karakteristik ini terlihat dari banyaknya dilalah yang bersifat dzhanni dalam nash Al qur'an ataupun Hadits, dibandingkan dilalah yang bersifat qath'i. Adapun lapangan ijtihad hanya berkutat pada nash yang mempunyai dilalah dzhanni saja, karena dalam nash yang bersifat qath'i dilalah para mujtahid tidak bisa untuk memperdebatkannya. Sebagaimana dalam qaidah ushul "Ijtihad tidak dipergunakan, ketika nashnya sudah jelas", maksud nash disini adalah nash yang memiliki qath'i dilalah. Nash yang qath'i yaitu nash yang jelas dan tegas, tidak memiliki pemahaman lebih dari satu. Seperti; kadar pembagian waris, had zina, perintah shalat dll.

Fiqih dapat memiliki metode riset yang jelas dan tajam, dan metode ini disebut para ulama dengan Ushul Fiqih. Secara istilah ushul fiqih diartikan sebagai "Ilmu yang membahas kaidah-kaidah dan dalil-dalil umum, yang dapat menghantarkan pada pengistinbatan fiqih".

Pembagian dalil dipandang dari sepakat dan tidaknya dalam menerima dalil-dalil sebagai sandaran hukum:
1. Al Qur'an da Sunnah.
2. Ijma' dan Qiyas.
3. Dalil-dalil yang ulama berbeda pendapat dalam penetapannya, yaitu: 'Urf, Istishhab, Istihsan, Mashalih Mursalah, Syar'u man Qablana dan Madzhab Sahabi. Sebagian ulama mengatakan bahwa dalil-dalil ini dijadikan sandaran-sandaran hukum, dan sebagian lain menolaknya.

Istidlal menurut bahasa adalah wazan
استفعال dari lafadz (دل) yang berarti mencari dalil; atau jalan yang bisa menghantarkan pada perkara yang dicari. Terkadang kata istidlal diartikan dengan dalil itu sendiri, baik berupa nash (al-Kitab, as-Sunnah), Ijma maupun Qiyas. Terkadang juga diartikan sebagai salah satu dari jenis-jenis dalil, yaitu perkara yang diduga kuat sebagai dalil yang benar padahal sebenarnya bukan dalil.

Perkara yang diduga sebagai dalil padahal bukan dalil ada empat macam yaitu: syari’at umat terdahulu (syar’un man qablana), pendapat sahabat (madzhab sahabat), istihsan, dan mashalih mursalah.

Istihsan
Secara etimologis pengertian Istihsan berarti:
a) Berbuat sesuatu yang lebih baik
b) Mencari yang lebih baik untuk diikuti
c) Mengikuti sesuatu yang lebih baik
d) Memperhitungkan sesuatu sebagai yang lebih baik

Secara istilah/terminollogis: Rumusan definisi Ibnu Subky
a. ﻪﻨﻣ ىﻮﻗأ سﺎﻴﻗ ﻰﻟا سﺎﻴﻗ ﻦﻋ لوﺪﻋ
Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang lebih kuat
b. ﺔﺤﻠﺼﻤﻠﻟ ةدﺎﻌﻟا ﻰﻟا ﻞﻴﻟﺪﻟا ﻦﻋ لوﺪﻋ
Beralih dari penggunaan dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan
c. Istihsan juga dapat diartikan, “pengecualian dari yang umum”, karena adanya
maslahah/kebutuhan”.

Contoh, menurut ketentuan umum, pria tidak boleh melihat aurat wanita, kecuali untuk kebutuhan proses melahirkan anak bagi wanita sedangkan dokternya adalah pria. Akan tetapi kebolehan dokter PRIA melihat aurat wanita Dalam berobat (operasi dan atau melahirkan menurut ketentuan umum (qiyas), Seseorang dilarang melihat aurat orang lain, tetapi dalam kasus ini dibolehkan berdasarkan istihsan.

Secara bahasa kata istihsan mengikuti wazan
استفعال
dari kata al-hasan, yang berarti memandang baik suatu perkara. Lawannnya disebut al-istiqbah (memandang buruk suatu perkara).

Secara istilah istihsan diartikan dengan ‘dalil yang cacat pada benak seoarang mujtahid, dan tidak kuasa untuk menampakannya karena tidak ada dukungan al-ibarah (redaksi) untuk mengungkapkannya’.

Sebagian ulama mendefinisikannya dengan ‘beralih dari konsekwensi suatu Qiyas kepada Qiyas lain yang lebih kuat’. Mereka juga menganggap termasuk bagian dari istihsan adalah ‘beralih dari Qiyas kepada nash, baik al-Kitab, as-Sunnah ataupun adat’. Begitu juga termasuk istihsan adalah ‘mengalihkan suatu permasalahan dari suatu hukum tentang masalah-masalah yang sejenis kepada hukum lain karena adanya aspek yang lebih kuat yang mengharuskan peralihan tersebut’.

Contohnya adalah firman Allah Swt:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)

Mereka (para penganut istihsan) beralih dari konsekwensi keumuman ayat tersebut, yaitu yang berlaku bagi setiap ibu, dengan mengkhususkannya pada ibu yang biasanya tidak suka menyusui anaknya (al-ummu ar-rafi’ah al-munazalah). Mereka mengecualikannya dari hukum pada ayat tersebut.

Begitu juga pada kasus pekerja yang berserikat, seperti para penjahit atau binatu, beralih dari hukum yang dituntut oleh kaidah kulliyyât bahwa pekerja tidak dikenai tanggungan atas barang yang rusak pada tangannya bukan karena kecerobohannya, karena dia adalah pihak yang diberikan amanah, kepada hukum yang dituntut oleh dalil khusus; yakni bahwa si pekerja dikenai tanggungan atas barang yang rusak ditangannya selama kerusakannya bukan karena faktor lain yang memaksa, seperti kebakaran atau tenggelam. Ini dilakukan untuk memberikan ketentraman kepada manusia atas barang mereka yang ada ditangan para pekerja dan mengamankan barang mereka dari kerusakan karena banyaknya kecerobohan maupun pengkhianatan diantara para pekerja.

Istihsan bukan termasuk dalil. Jika istihsan merupakan peralihan kepada dalil yang lebih kuat, maka sebenarnya hal itu termasuk fakta (topik) tentang tarjih di antara dalil-dalil dan fakta tentang kekuatan dalil.
Apabila istihsan merupakan peralihan dari suatu dalil tanpa ada dalil yang mengharuskannya maka sebenarnya (istihsan) bukan merupakan dalil. Karena Allah Swt berfirman: 

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59)

Berdasarkan ayat ini setiap muslim dituntut untuk mengikuti hukum Allah dan Rasul-Nya, atau yang ditunjuk oleh keduanya yaitu Ijma sahabat dan Qiyas. Sedangkan Istihsan yang berarti beralih dari suatu dalil tanpa ada dalil, tidak termasuk mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Para sahabat dalam berbagai keputusannya, meskipun banyak diantara mereka yang tidak menghukumi selain dengan al-Kitab, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas, akan tetapi sedikitpun mereka tidak menghukumi suatu permasalahan berdasarkan istihsan.

Penjelasan di atas merupakan bantahan tentang definisi istihsan yang kedua.
Sedangkan definisi yang pertama maka sangat jelas bahwa definisi tersebut tidak didukung oleh dalil. Karena seorang mujtahid yang memiliki dalil cacat yang tidak didukung oleh al-ibarah (ungkapan redaksi) untuk menampakkannya, -sesuai definisi di atas- sama saja dengan tidak mengetahui apa sebenarnya yang cacat itu, sehingga dia tidak bisa menganggapnya sebagai dalil.

Mashalih al-mursalah
Marsalah Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menetikan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni sesuatu yang sesuai dengan ketentuan yang berdasarkan pada pemeliharaan kemadharatan atau untuk menyatakan sesautu manfaat, maka kejadian tersebut disebut al-marsalah al Mursalah.

Tujuan Utama Marsalah Mursalah adalah kemalahatan: yakni memelihara dari kemadharatan dan menjaga kemanfaatannya. Alasan dikatakan Al–Mursalah adalah, karena syara’ memutlakkannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.
Yang menjadi Objek Al_maslahah Al Mursalah secara umum adalah hal-hal yang berlandaskan hukum syara’ juga hal yang berkaitan dengan adat dan hubungan antara satu manusia dengan manusia yang lain. Lapangan tersebut merupakan objek utama untuk mencapai kemaslahatan. Dengan demikian segi ibadah tidak termasuk dalam lapangan tersebut.

Para ulama penganut mashalih mursalah mendefinisikannya dengan ‘kemaslahatan yang tidak dijelaskan oleh dalil khusus yang mengakuinya atau mencampakannya’. Kemudian kemaslahatan tersebut diambil, padahal tidak ada nash yang mengakuinya, dengan syarat ketika diambil berakibat tertolaknya suatu kesulitan.
Mereka memberikan contoh dengan kasus, jika ada orang yang mendakwa orang lain bahwa dia mempunyai harta pada orang tersebut, sementara dia tidak mampu mampu mendatangkan bukti atas dakwaannya, kemudian terdakwa dituntut untuk bersumpah berdasarkan sabda Rasulullah saw:

Bukti atas penuntut/pendakwa dan sumpah atas orang yang mengingkarinya (terdakwa).
Mereka tidak mewajibkan sumpah pada terdakwa kecuali jika antara terdakwa dan pendakwa terdapat suatu hubungan. Hal ini dilakukan agar orang-orang yang bodoh tidak berani (lancang) kepada kalangan terhormat sehingga akan menyerahkan mereka (kaum terhormat) ke pengadilan dengan dakwaan-dakwaan dusta.

Berdasarkan definisi di atas, jelas sekali bahwa sebenarnya mashalih mursalah bukan termasuk dalil. Menggunakannya dengan menyalahi nash adalah tindakan batil, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
1. Firman Allah Swt:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (TQS. asy-Syura [42]: 10)
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu. (TQS. al-Maidah [5]: 3)
أَيَحْسَبُ اْلإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (TQS. al-Qiyamah [75]: 36)

Berdasarkan ayat-ayat tersebut jelas bahwa segala sesuatu sebenarnya telah dijelaskan, maka bagaimana mungkin bisa dikatakan terdapat perkara yang tidak diakui (tidak tercakup) oleh syara dan dicampakkannya?

2. Kemaslahatan yang sebenarnya adalah kemaslahatan berdasarkan (dalil) syara. Dimana ada perintah syara maka disana terdapat kemaslahatan. Syara-lah yang menetapkan kemaslahatan. Sedangkan istishlah (menghukumi berdasarkan mashalih mursalah) adalah menghukumi yang didasarkan pada maslahat yang tidak ditetapkan oleh syara. Oleh karena itu mashalih mursalah bukan tergolong hujjah.

3. Membangun suatu hukum atas dasar kemaslahatan yang tidak diakui oleh syara berarti menjadikan akal yang tidak didukung oleh dalil (al-‘aql al-mujarrad) sebagai sebagai hakim. Ini tidak diperbolehkan.

Perlu kami jelaskan bahwa hukum-hukum yang digali dari keempat dali tersebut, oleh para mujtahid yang menganutnya tetap dipandang sebagai hukum syara karena mempunyai syubhat dalil.

Madzhab Shahabi

Mazhab shahabi berarti pendapat para sahabat Rasul. Yang dimaksud para sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukilkan para ulama, baikberupa fatwa maupun ketetapan hokum, sedangkan ayat atau hadis tidak menjelaskan hokum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Setelah Rasulullah SAW wafat, tampillah par sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal ini disebabkan karena merekalah yang paling lama bergaul dengan rausullah SAW. Dan telah memahami alQuran dan hokum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peritiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabit’it-tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentaqwilan fatwa-fatwa mreka. Dianatara mereka ada yangmengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap umber-sumber pembentukan hokum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahn kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada Qiyas, kecuali kalau hanya pendpat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat islam.

Pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bias dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsng dari rasulullah SAW., seperti ucapan Aisyah; “Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.

Keterangan diatas tidaklah sah dijadikan lapangan Ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya benar-bear dari rasulullah SAW. Maka dianggap sebagai sunnah meskipun pada zahirny merupakan ucapan sahabat. Kehujjahan Madzhab Shahaby adalah jika pendapat sahabat tidak bertenatangan dengan sahabat lain biasa dijadikan hujjah oleh umat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW.

Madzhab sahabat sebenarnya bukan merupakan dalil syara’.
Allah Swt berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59)

Dalam ayat ini Allah Swt telah mewajibkan untuk mengembalikan seluruh perkara yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Begitu juga para sahabat telah sepakat atas kebolehan menyelisihi sahabat secara perorangan. Andaikata pendapat seorang sahabat merupakan hujjah maka pasti setiap sahabat wajib mengikuti pendapat sahabat yang lainnya. Tetapi hal seperti ini tidak mungkin terjadi.

Syari’at Umat terdahulu (syar’un man qablana)
Sebenarnya syari’at umat terdahulu (umat Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw) bukan termasuk syari’at bagi kita (umat Nabi Muhammad saw), dan bukan tergolong hujjah (dalil) bagi kita. Allah Swt berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. (TQS. al-Maidah [5]: 48)

Arti dari
ومهيمنا عليه
adalah
ناسخا لـما سبقه
yaitu penghapus kitab-kitab sebelumnya. Oleh karena itu kita sebenarnya tidak diseru untuk melaksanakan syari’at sebelum kita. Kita diseru hanya untuk menjalankan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Reff:
Haroen, Nasrun, Prof. DR. Ushul Fiqh.Logos Wacana Ilmu.Jakarta.2001
Khalil, atho bin.Taisir wushul illa al ushul (Ushul Fiqih praktis karya).Darul Ummah.Beirut.2008



Tidak ada komentar:

Posting Komentar