13 Apr 2017

MURAHAN!

Dear readers, apakah kalian berencana memiliki anak? Atau kalian sudah memiliki anak? Bersekolah kah mereka? Berapa biaya mereka bersekolah? Murah kah? Mahal Kah?

Saya adalah orang yang senang mengamati tingkah laku manusia. Baik yang masih anak-anak ataupun dewasa. Dengan mengamati tingkah lakunya, kadang di kepala saya berseliweran tentang hal-hal yang mereka telah mereka lalui di kehidupannya. Mungkin mereka pernah mengalami ini, pernah mengalami itu. Meski pada akhirnya hampir selalu berakhir di dugaan--yang entah benar atau tidak. Sebagian disertai dengan rasa kagum, sebagian lainnya dengan rasa kasihan.

Melihat anak yang memiliki hafalan quran belasan atau puluhan juz misalnya, saya kemudian membayangkan betapa hari-harinya dipenuhi dengan muraja'ah paling tidak di subuh dan magrib. Terutama bagi anak-anak yang tidak tinggal di pondok pesantren tahfidz quran. Saya kemudian menduga mereka biasa 'setoran' hafalannya pada orang tua mereka. Betapa menjaga dan perhatiannya orangtua mereka. Meskipun itu juga hanya sekedar asumsi.

Sebaliknya, saat saya bertemu dengan anak yang agak kusam tidak terurus atau terlihat "bandel" dalam rangka mencari perhatian, pengamatan saya berakhir dengan pikiran: "bagaimana orangtua memperlakukan mu, nak?"

Di suasana dunia yang semakin hedonis seperti sekarang ini, sebagian orang menaruh standar berharga atau tidak dengan ukuran materi belaka. Ukuran uang. Ratus ribu, juta, puluhan juta, milyar dst. Maka tidak heran ada orang tua yang sampai hati membentak habis-habisan ketika anaknya tanpa sengaja merusak 'barang mahal' semisal gadget. Mereka lupa anak adalah manusia, yang sudah barang tentu lebih mahal dibanding gadget seri terbaru milik mereka. Ada juga yang tega meluluhlantakkan hati anak di depan umum saat tak sengaja memecahkan porselein yang rapuh. Mereka lupa perasaan anak juga rapuh, bisa 'pecah' dan berbekas jika 'dibanting'.

Wahai orang tua! Anak mu adalah penerus nafas di dunia setelah dirimu mati! Salah satu hal dari tiga hal yang berharga saat semua hal di dunia ini tidak ada harganya lagi! Didiklah mereka dengan cara dan proses yang "mahal", jangan cara murahan!

Anak-anak itu butuh orangtua yang "mahal" bukan sekedar disekolahkan di sekolah yang mahal. Jangan berharap banyak jika hanya menyekolahkan anak di sekolah "bagus dan mahal", sedangkan orangtua nya adalah orang tua murahan yang tidak tahu memperlakukan dan membentuk anak sebagai calon manusia baru di masa depan.

Jangan pernah keluar dari mulut kita "saya sudah bayar mahal sekolahkan anak saya di sini, masa hasilnya begini-begini saja". Sekolah itu bukan ember cat yang sekali celup sebuah benda yang diangkat darinya pasti berwarna. Belajar dan pendidikan itu adalah proses sepanjang hari, sepanjang hayat.

Berikanlah harta mahal yang bisa kita bayar untuk mendidik mereka: WAKTU kita. Habis uang puluhan, ratusan juta bisa kita dapat kembali, sedangkan waktu yang kita "berikan" untuk orang, di mana kita bisa mencari?
read more

Karena semua ada ilmu nya

Ayah saya kadang suka berkata dengan nada bercanda, namun kadang di balik kalimat candaannya menyimpan makna filosofis. Salah dua kalimat yang saya ingat adalah "hujan ge aya raat na" (hujan juga ada reda nya) dan "nanaon oge aya elmu na" (semua juga ada ilmu nya).

Kalimat pertama biasanya beliau katakan ketika kami, anggota keluarganya, sedang menunggu antrian yang lama. Saat macet di jalan, dan salah satu diantara kami terlihat sudah tidak sabar, misalnya, beliau biasanya langsung berkata demikian. Biasanya kami kemudian tertawa kecil. Bukan karena kalimat tersebut lucu, tapi karena saking seringya beliau berkata demikian. Ya, agar kami bersabar, karena ada tidak sabar justru akan membuat suasana semakin menyebalkan.

Sedangkan kalimat kedua biasa beliau katakan saat kami anggota keluarganya (terutama anak-anaknya) melihat satu pekerjaan yang menurut kami sulit dikerjakan, namun dikerjakan begitu mudah oleh orang lain. Sama dengan kalimat pertama, sesaat setelah beliau berkata kalimat tersebut, kami akan tertawa kecil. Lagi-lagi, bukan karena lucu, tapi karena seringnya beliau berkata demikian. Klise.

Dari kedua kalimat klise ayah kami tersebut, bagi saya yang menarik adalah kalimat kedua. Beliau mengingatkan kami bahwa segala hal di dunia ini memerlukan ilmu. Bahkan hal-hal remeh temeh semacam mencuci setumpukan gelas dan piring kotor agar bersih sempurna, mengepel lantai agar tak ada kotor lagi, atau menyetrika baju agar tak ada kusut tersisa. Semuanya ada ilmunya. Akan sulit atau tidak terselesaikan secara 'sempurna' jika tidak dibarengi dengan ilmunya.

Termasuk di dalamnya adalah ketika misalkan anda memutuskan hendak menikah. Jangan terburu-buru menikah sebelum memenuhi isi kepala dengan ilmu tentang membangun rumah tangga. Saya tidak mengatakan bahwa menikah di usia muda itu tidak baik. Bukan! Karena usia bukan jadi patokan banyaknya isi kepala, bukan?

Hal yang ayah saya pesankan ini sebenarnya sejalan dengan perkataan seorang ulama Hadits terkemuka, al-Bukhari: “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)”

Dengan ilmu, segala yang kita lakukan akan terarah, tidak serampangan. Lebih dari itu, kita tahu apa yang kita lakukan itu benar.

Sebagai seorang manusia, terlebih sebagai seorang Muslim, harus membekali diri dengan ilmu. Ilmu apapun. Terlebih terkait dengan hal-hal yang hendak dilakukan. Karena setiap perbuatan pasti akan dimintai pertanggungjawabannya, maka tak boleh lengah seorang muslim dalam membekali diri dengan ilmu.

Sekiranya seseroang hendak bertransaksi jual beli, maka ia harus mengetahui tentang boleh atau tidaknya model transaksi semacam itu. Seandainya seseorang hendak memutuskan mengambil atau meninggalkan sesuatu, maka hendaknya dia mengetahui dia diperintahkan untuk mengambil atau meninggalkan sesuatu tersebut. Demikianlah seterusnya. Karena di hari pembalasan kelak, tak ada hal yang tak ditanyakan oleh Sang Raja Semesta.

Ah.. Thank you, daddy!
read more