20 Nov 2010

bulletin #1


1st edition..................
pengennya sih awak ubah ni bulletin jadi Black n white, tapi berasa kurang ashoy ternyata.. :D
kalian aja yang ganti jadi BW nya ya... :p


read more

4 Sep 2010

Hati-hati bermain dengan hati



Bermain hati dengan hati2. coba fikirkan: mengapa "hati" jika dilakukan pengulangan atasnya bermakna "apik dalam melangkah dan mengambil keputusan"? kenapa? Ya, karena "hati" adalah sesuatu yang ringkih dan rapuh. Sesuatu yang harus diperlakukan dengan sangat apik. Dia adalah sesuatu yang akan sulit untuk diperbaiki. Orang bodoh lah yang mempermainkan hati. Orang yang 'tidak punya' hati lah yang mempermainkan hati.


 

Manusia mempunyai hati. Pada hakikatnya 'hati' (baca: persaan) adalah tumpukan dari kerja akal yang direpress ke alam bawah sadar. Ya! Mari kita renungkan. Perasaan2 yang seringkali menghinggap di diri kita sebetulnya seringkali bisa dirasionalkan. Rasa suka, benci, marah, senang, bahkan CINTA, yang sebagian orang berpendapat bahwa ia tidak rasional, bisa dirasionalkan! Hanya saja banyak orang yang tidak mau (jika tidak dikatakan merasa tabu) untuk merasionalkannya. Ada yang merasa suka (orang bilang: cinta) pada orang lain karena dia cantik, ganteng, body abohay, berjanggut lebat (wkwkwk…), berkharisma, tajir, atau hal lainnya. Hanya saja sekali lagi, banyak orang yang tidak mau mengakui bahwa rasa sukanya itu karena hal2 yang rasional tadi. Ada yang berkilah "ah saya sih suka dia saat pandangan pertama aja. Tiba2 suka aja.".


 

Rasulullah saw. pun ternyata punya pertimbangan saat beliau 'memutuskan untuk jatuh cinta' pada Khadijah. Beliau melihat Khadijah sebagai seorang wanita yang berakhlaq mulia. Lagi2 hal yang rasional: karena Khadijah yang berakhlaq mulia.


 

Pada akhirnya kita akan mendapati sisi lain yang seringkali dirasa tabu untuk dinyatakan: manusia selalu mempunya reason dalam setiap tingkahlaku, bahkan "tingkah-hatinya". Hal yang sulit untuk dirasionalkan akan bisa dirasionalkan saat seseorang benar2 "telanjang" dari pembelaan dirinya dari stigma 'tabu'.

Tabik!

read more

25 Jul 2010

belajar dari seorang pengidap schizofren

pernah dicap buruk? diejek? dilabeli dengan sesuatu yang tidak kalian suka? yeah.. pilihlah salahsatunya, saya yakin kalian pernah mengalaminya, setidaknya satu dari yang saya sebutkan tadi; setidaknya satu kali dalam seumur hidup, yakin, kalian pernah mengalaminya..

apapun penyebab dari orang melakukannya, stigmatisasi tentusaja tidak pernah menyenangkan. membuat down, bete, atau apalah, yang pasti membuat buruk suasana hari. saya awalnya berfikiran bahwa stigmatisasi dari oranglain adalah hal paling parah yang dialami seseorang saat melakukan suatu hal, tapi tayangan Rossy tanggal 25 juli mengubah fikiran saya itu. akhirnya saya sadar bahwa sebenarnya hal terburuk yang dialami seseorang bukanlah adanya stigmatisasi, ejekan, atau pelabelan buruk dari lingkungan, tapi stigmatisasi, ejekan, pelabelan buruk dari DIRI KITA SENDIRI!

seseorang bisa saja dinilai ini-itu oleh lingkungan, namun selama dia tidak melabeli dirinya dengan 'ini-itu', maka dia akan tetap berdiri kokoh dengan apa yang dia kerjakan tanpa mengalami down, bete atau apapun perasaan yang mengganggunya.

seorang wanita yang awalnya tidak berkerudung atau berjilbab kemudian 'hijrah' dan diejek "so alim", diejek "bu ustadzah", "munafik" atau apapun tidak akan goyah sedikitpun jika dalam dirinya dia sendiri tidak meng-iya-kan ucapan2 kampring dari lingkungannya itu.

kenapa seperti itu? ya! karena saat kita meng-iya-kan akan ada rasa malu, berat untuk melangkah dsb, sehingga keinginan untuk berubah dan pikiran positif lainnya akan sirna tertutupi stigma dari pikiran kita sendiri!

dalam acara Rossy yang berbicara seperti itu siapa coba? dokter? psikolog? presenter? bukan! dia adalah seorang pengidap Schizofrenia yang sudah membaik, menikah dan berkarir di bidang jurnalistik (kalo gak salah). dia berkata: "stigmatisasi dari dalam diri saya lah yang paling berat untuk saya lawan saat saya ingin sembuh."

kita bisa samakan 'variable' "keinginan untuk sembuh" dengan "keinginan untuk berubah" atau "langkah yang diambil untuk berubah", sehingga harusnya kita mempunyai prinsip yang sama dengan sang penderita schizofrenia itu.


*a little bit confusing, huh? whatever! hehehe.. just try to understand it, bro n sist!*
read more

21 Jul 2010

SYUBHAT DALIL DALAM ‘USHUL FIQH

Islam dengan berbagai keistimewaannya telah memberikan pengaruh secara luas ke berbagai aspek kehidupan. Sehingga dengan Islam bisa menghantarkan ummat Islam mencapai sebuah peradaban tertinggi dan terlama disepanjang sejarah manusia. 

Pengajaran Islam yang dihadirkan dalam bentuk syari'at, memiliki karakter yang komprehensif dan senantiasa relevan dengan jamannya. Karakteristik ini terlihat dari banyaknya dilalah yang bersifat dzhanni dalam nash Al qur'an ataupun Hadits, dibandingkan dilalah yang bersifat qath'i. Adapun lapangan ijtihad hanya berkutat pada nash yang mempunyai dilalah dzhanni saja, karena dalam nash yang bersifat qath'i dilalah para mujtahid tidak bisa untuk memperdebatkannya. Sebagaimana dalam qaidah ushul "Ijtihad tidak dipergunakan, ketika nashnya sudah jelas", maksud nash disini adalah nash yang memiliki qath'i dilalah. Nash yang qath'i yaitu nash yang jelas dan tegas, tidak memiliki pemahaman lebih dari satu. Seperti; kadar pembagian waris, had zina, perintah shalat dll.

Fiqih dapat memiliki metode riset yang jelas dan tajam, dan metode ini disebut para ulama dengan Ushul Fiqih. Secara istilah ushul fiqih diartikan sebagai "Ilmu yang membahas kaidah-kaidah dan dalil-dalil umum, yang dapat menghantarkan pada pengistinbatan fiqih".

Pembagian dalil dipandang dari sepakat dan tidaknya dalam menerima dalil-dalil sebagai sandaran hukum:
1. Al Qur'an da Sunnah.
2. Ijma' dan Qiyas.
3. Dalil-dalil yang ulama berbeda pendapat dalam penetapannya, yaitu: 'Urf, Istishhab, Istihsan, Mashalih Mursalah, Syar'u man Qablana dan Madzhab Sahabi. Sebagian ulama mengatakan bahwa dalil-dalil ini dijadikan sandaran-sandaran hukum, dan sebagian lain menolaknya.

Istidlal menurut bahasa adalah wazan
استفعال dari lafadz (دل) yang berarti mencari dalil; atau jalan yang bisa menghantarkan pada perkara yang dicari. Terkadang kata istidlal diartikan dengan dalil itu sendiri, baik berupa nash (al-Kitab, as-Sunnah), Ijma maupun Qiyas. Terkadang juga diartikan sebagai salah satu dari jenis-jenis dalil, yaitu perkara yang diduga kuat sebagai dalil yang benar padahal sebenarnya bukan dalil.

Perkara yang diduga sebagai dalil padahal bukan dalil ada empat macam yaitu: syari’at umat terdahulu (syar’un man qablana), pendapat sahabat (madzhab sahabat), istihsan, dan mashalih mursalah.

Istihsan
Secara etimologis pengertian Istihsan berarti:
a) Berbuat sesuatu yang lebih baik
b) Mencari yang lebih baik untuk diikuti
c) Mengikuti sesuatu yang lebih baik
d) Memperhitungkan sesuatu sebagai yang lebih baik

Secara istilah/terminollogis: Rumusan definisi Ibnu Subky
a. ﻪﻨﻣ ىﻮﻗأ سﺎﻴﻗ ﻰﻟا سﺎﻴﻗ ﻦﻋ لوﺪﻋ
Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang lebih kuat
b. ﺔﺤﻠﺼﻤﻠﻟ ةدﺎﻌﻟا ﻰﻟا ﻞﻴﻟﺪﻟا ﻦﻋ لوﺪﻋ
Beralih dari penggunaan dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan
c. Istihsan juga dapat diartikan, “pengecualian dari yang umum”, karena adanya
maslahah/kebutuhan”.

Contoh, menurut ketentuan umum, pria tidak boleh melihat aurat wanita, kecuali untuk kebutuhan proses melahirkan anak bagi wanita sedangkan dokternya adalah pria. Akan tetapi kebolehan dokter PRIA melihat aurat wanita Dalam berobat (operasi dan atau melahirkan menurut ketentuan umum (qiyas), Seseorang dilarang melihat aurat orang lain, tetapi dalam kasus ini dibolehkan berdasarkan istihsan.

Secara bahasa kata istihsan mengikuti wazan
استفعال
dari kata al-hasan, yang berarti memandang baik suatu perkara. Lawannnya disebut al-istiqbah (memandang buruk suatu perkara).

Secara istilah istihsan diartikan dengan ‘dalil yang cacat pada benak seoarang mujtahid, dan tidak kuasa untuk menampakannya karena tidak ada dukungan al-ibarah (redaksi) untuk mengungkapkannya’.

Sebagian ulama mendefinisikannya dengan ‘beralih dari konsekwensi suatu Qiyas kepada Qiyas lain yang lebih kuat’. Mereka juga menganggap termasuk bagian dari istihsan adalah ‘beralih dari Qiyas kepada nash, baik al-Kitab, as-Sunnah ataupun adat’. Begitu juga termasuk istihsan adalah ‘mengalihkan suatu permasalahan dari suatu hukum tentang masalah-masalah yang sejenis kepada hukum lain karena adanya aspek yang lebih kuat yang mengharuskan peralihan tersebut’.

Contohnya adalah firman Allah Swt:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)

Mereka (para penganut istihsan) beralih dari konsekwensi keumuman ayat tersebut, yaitu yang berlaku bagi setiap ibu, dengan mengkhususkannya pada ibu yang biasanya tidak suka menyusui anaknya (al-ummu ar-rafi’ah al-munazalah). Mereka mengecualikannya dari hukum pada ayat tersebut.

Begitu juga pada kasus pekerja yang berserikat, seperti para penjahit atau binatu, beralih dari hukum yang dituntut oleh kaidah kulliyyât bahwa pekerja tidak dikenai tanggungan atas barang yang rusak pada tangannya bukan karena kecerobohannya, karena dia adalah pihak yang diberikan amanah, kepada hukum yang dituntut oleh dalil khusus; yakni bahwa si pekerja dikenai tanggungan atas barang yang rusak ditangannya selama kerusakannya bukan karena faktor lain yang memaksa, seperti kebakaran atau tenggelam. Ini dilakukan untuk memberikan ketentraman kepada manusia atas barang mereka yang ada ditangan para pekerja dan mengamankan barang mereka dari kerusakan karena banyaknya kecerobohan maupun pengkhianatan diantara para pekerja.

Istihsan bukan termasuk dalil. Jika istihsan merupakan peralihan kepada dalil yang lebih kuat, maka sebenarnya hal itu termasuk fakta (topik) tentang tarjih di antara dalil-dalil dan fakta tentang kekuatan dalil.
Apabila istihsan merupakan peralihan dari suatu dalil tanpa ada dalil yang mengharuskannya maka sebenarnya (istihsan) bukan merupakan dalil. Karena Allah Swt berfirman: 

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59)

Berdasarkan ayat ini setiap muslim dituntut untuk mengikuti hukum Allah dan Rasul-Nya, atau yang ditunjuk oleh keduanya yaitu Ijma sahabat dan Qiyas. Sedangkan Istihsan yang berarti beralih dari suatu dalil tanpa ada dalil, tidak termasuk mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Para sahabat dalam berbagai keputusannya, meskipun banyak diantara mereka yang tidak menghukumi selain dengan al-Kitab, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas, akan tetapi sedikitpun mereka tidak menghukumi suatu permasalahan berdasarkan istihsan.

Penjelasan di atas merupakan bantahan tentang definisi istihsan yang kedua.
Sedangkan definisi yang pertama maka sangat jelas bahwa definisi tersebut tidak didukung oleh dalil. Karena seorang mujtahid yang memiliki dalil cacat yang tidak didukung oleh al-ibarah (ungkapan redaksi) untuk menampakkannya, -sesuai definisi di atas- sama saja dengan tidak mengetahui apa sebenarnya yang cacat itu, sehingga dia tidak bisa menganggapnya sebagai dalil.

Mashalih al-mursalah
Marsalah Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menetikan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni sesuatu yang sesuai dengan ketentuan yang berdasarkan pada pemeliharaan kemadharatan atau untuk menyatakan sesautu manfaat, maka kejadian tersebut disebut al-marsalah al Mursalah.

Tujuan Utama Marsalah Mursalah adalah kemalahatan: yakni memelihara dari kemadharatan dan menjaga kemanfaatannya. Alasan dikatakan Al–Mursalah adalah, karena syara’ memutlakkannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.
Yang menjadi Objek Al_maslahah Al Mursalah secara umum adalah hal-hal yang berlandaskan hukum syara’ juga hal yang berkaitan dengan adat dan hubungan antara satu manusia dengan manusia yang lain. Lapangan tersebut merupakan objek utama untuk mencapai kemaslahatan. Dengan demikian segi ibadah tidak termasuk dalam lapangan tersebut.

Para ulama penganut mashalih mursalah mendefinisikannya dengan ‘kemaslahatan yang tidak dijelaskan oleh dalil khusus yang mengakuinya atau mencampakannya’. Kemudian kemaslahatan tersebut diambil, padahal tidak ada nash yang mengakuinya, dengan syarat ketika diambil berakibat tertolaknya suatu kesulitan.
Mereka memberikan contoh dengan kasus, jika ada orang yang mendakwa orang lain bahwa dia mempunyai harta pada orang tersebut, sementara dia tidak mampu mampu mendatangkan bukti atas dakwaannya, kemudian terdakwa dituntut untuk bersumpah berdasarkan sabda Rasulullah saw:

Bukti atas penuntut/pendakwa dan sumpah atas orang yang mengingkarinya (terdakwa).
Mereka tidak mewajibkan sumpah pada terdakwa kecuali jika antara terdakwa dan pendakwa terdapat suatu hubungan. Hal ini dilakukan agar orang-orang yang bodoh tidak berani (lancang) kepada kalangan terhormat sehingga akan menyerahkan mereka (kaum terhormat) ke pengadilan dengan dakwaan-dakwaan dusta.

Berdasarkan definisi di atas, jelas sekali bahwa sebenarnya mashalih mursalah bukan termasuk dalil. Menggunakannya dengan menyalahi nash adalah tindakan batil, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
1. Firman Allah Swt:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (TQS. asy-Syura [42]: 10)
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu. (TQS. al-Maidah [5]: 3)
أَيَحْسَبُ اْلإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (TQS. al-Qiyamah [75]: 36)

Berdasarkan ayat-ayat tersebut jelas bahwa segala sesuatu sebenarnya telah dijelaskan, maka bagaimana mungkin bisa dikatakan terdapat perkara yang tidak diakui (tidak tercakup) oleh syara dan dicampakkannya?

2. Kemaslahatan yang sebenarnya adalah kemaslahatan berdasarkan (dalil) syara. Dimana ada perintah syara maka disana terdapat kemaslahatan. Syara-lah yang menetapkan kemaslahatan. Sedangkan istishlah (menghukumi berdasarkan mashalih mursalah) adalah menghukumi yang didasarkan pada maslahat yang tidak ditetapkan oleh syara. Oleh karena itu mashalih mursalah bukan tergolong hujjah.

3. Membangun suatu hukum atas dasar kemaslahatan yang tidak diakui oleh syara berarti menjadikan akal yang tidak didukung oleh dalil (al-‘aql al-mujarrad) sebagai sebagai hakim. Ini tidak diperbolehkan.

Perlu kami jelaskan bahwa hukum-hukum yang digali dari keempat dali tersebut, oleh para mujtahid yang menganutnya tetap dipandang sebagai hukum syara karena mempunyai syubhat dalil.

Madzhab Shahabi

Mazhab shahabi berarti pendapat para sahabat Rasul. Yang dimaksud para sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukilkan para ulama, baikberupa fatwa maupun ketetapan hokum, sedangkan ayat atau hadis tidak menjelaskan hokum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Setelah Rasulullah SAW wafat, tampillah par sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal ini disebabkan karena merekalah yang paling lama bergaul dengan rausullah SAW. Dan telah memahami alQuran dan hokum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peritiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tabit’it-tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentaqwilan fatwa-fatwa mreka. Dianatara mereka ada yangmengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap umber-sumber pembentukan hokum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahn kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada Qiyas, kecuali kalau hanya pendpat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat islam.

Pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bias dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsng dari rasulullah SAW., seperti ucapan Aisyah; “Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.

Keterangan diatas tidaklah sah dijadikan lapangan Ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya benar-bear dari rasulullah SAW. Maka dianggap sebagai sunnah meskipun pada zahirny merupakan ucapan sahabat. Kehujjahan Madzhab Shahaby adalah jika pendapat sahabat tidak bertenatangan dengan sahabat lain biasa dijadikan hujjah oleh umat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW.

Madzhab sahabat sebenarnya bukan merupakan dalil syara’.
Allah Swt berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59)

Dalam ayat ini Allah Swt telah mewajibkan untuk mengembalikan seluruh perkara yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Begitu juga para sahabat telah sepakat atas kebolehan menyelisihi sahabat secara perorangan. Andaikata pendapat seorang sahabat merupakan hujjah maka pasti setiap sahabat wajib mengikuti pendapat sahabat yang lainnya. Tetapi hal seperti ini tidak mungkin terjadi.

Syari’at Umat terdahulu (syar’un man qablana)
Sebenarnya syari’at umat terdahulu (umat Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw) bukan termasuk syari’at bagi kita (umat Nabi Muhammad saw), dan bukan tergolong hujjah (dalil) bagi kita. Allah Swt berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. (TQS. al-Maidah [5]: 48)

Arti dari
ومهيمنا عليه
adalah
ناسخا لـما سبقه
yaitu penghapus kitab-kitab sebelumnya. Oleh karena itu kita sebenarnya tidak diseru untuk melaksanakan syari’at sebelum kita. Kita diseru hanya untuk menjalankan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Reff:
Haroen, Nasrun, Prof. DR. Ushul Fiqh.Logos Wacana Ilmu.Jakarta.2001
Khalil, atho bin.Taisir wushul illa al ushul (Ushul Fiqih praktis karya).Darul Ummah.Beirut.2008



read more

18 Jun 2010

dakwah; kebutuhan dan kewajiban seorang Muslim!

Dakwah adalah misi utama kenabian. dengan dakwahlah Islam yang berasal dari jazirah Arab sampai pada kita di Indonesia. Dakwah diibaratkan sebagai darah di tubuh Islam; yang jika ia terhenti, maka hidup dari Islam menjadi akan hilang pula. Sepenting itulah dakwah hingga banyak ayat dalam Qur’an yang menyeru seorang muslim untuk berdakwah. Diantaranya adalah:

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang maruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana (QS At Taubah : 71)

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan palajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (An Nahl : 125)

Begitu pula dengan Rasulullah Saw. Yang memandang penting dakwah:

“Hendaklah kalian benar-benar menyurh perbuatan yang maruf dan benar-benar melarang perbuatan yang mungkar, atau (bila tidak kalian lakukan) Allah akan menjadikan orang-orang jahat di antara kalian berkuasa atas kalian semua (yang akibatnya banyak sekali kejahatan dan kemungkaran diperbuatnya) lalu orang-orang yang baik di antara kalian berdoa (agar kejahatan dan kemungkaran itu hilang) maka doa mereka (orang-orang baik itu) tidak diterima.”
(HR Al Bazzar dan At Thabrani)

Keharusan hadirnya dakwah Islam di tengah-tengah ummat merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, sehingga apapun yang menjadi factor penunjang bagi dakwah—seperti kutlah dakwah—juga menjadi keniscayaan. Adanya kutlah dakwah juga sebenarnya merupakan perintah Syara’, dalam firman-Nya Allah Swt menyeru:

Hendaklah ada diantara kamu, sekelompok orang yang mengajak kepada kebaikan, menyeru kepada ma’ruf dan mencegah mungkar. Mereka termasuk orang-orang yang beruntung.
(TQS. Ali Imran : 110)

Sungguhpun seringkali ada yang mencoba untuk membenturkan dakwah dengan kehidupan pribadi, maka sesungguhnya itu adalah bodoh. Ada yang berpendapat bahwa dakwah hanya akan menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran; ada yang berkata bahwa dakwah menghambat proses kelulusan (bagi pelajar), namun sesungguhnya hal itu tidaklah benar. Bahkan Allah Swt telah berjanji dalam Quran, bahwa Dia akan menolong bagi siapa saja yang menolong agama-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian (QS Muhammad – 47)

Selain itu, Allah Swt. Juga berjanji—melalui lisan Rasulullah Saw.—bahwa pahala seseorang yang telah menunjuki kebenaran Islam akan terus mengalir sebagai amal shalih.


Siapa saja yang menyeru manusia pada petunjuk (Islam), dia pasti akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala yang diperoleh orang yang mengikuti petunjuk itu tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya.
(HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, an Nasa’I dan Ibn Majah)


Jadi, tidak ada alasan untuk tidak berdakwah..
TABIK!
Wallahu’alam..
read more

27 Mei 2010

Batu buta (?)

Di tengah keterasingan dari hawa yang menggerakkan, aku menjerumuskan diri hingga berada di dasar kebodohan seorang makhluk! Jumud menelikung, sudah pasti hambar langkah menjadi kawan selanjutnya.

Dahulu hujan-malas menyuburkan inspirasi bagi kodok2 tolol untuk mengorek. Kini pun ku rasa tak jauh berbeda! Dia bahkan mencibir mentari yang biasanya membangkitkan generasi baru dalam kehidupan! Akhirnya apa yang aku dapat? Tidak ada. Hanya menjadi bongkahan batu tanpa makna dan rasa.


read more

7 Mei 2010

nationalism is sucks!!













god D**N! gw awalnya ga percaya bahwasannya nasionalisme adalah sebuah ikatan yang bathil..
kenapa? soalanya gw dulu bener2 seorang "nasionalis sejati". lambang nasionalisme Indonesia: bendera merahputih bener2 gw hormatin; ga boleh jatoh lah, ga boleh kena tanah lah, ga boleh didudukin lah, kalo hormat tangan harus 90 derajat ato 30 derajat, kalo upacara bendera ga boleh maen2--diem ga bicara apapun. but hei! setelah gw dapet penjelasan tentang nationalism itu, wew! gw muak! benci!!!!!!!!!!!!!!!! upacara bendera jadi waktu bermain buat gw... ngebrel, hormat asal2an, bahkan ekstrimnya gw kasih liat tuh jari tengah gw.. meskipun pas ada guru di belakang gw pura2 serius lg..hehe

“Tidak tergolong umatku orang yang menyerukan ashabiyah (fanatisme golongan, seperti nasionalisme). [HR. Abu Dawud].

menyebalkannya ada "hadits" yg biasa dipakai buat justivikasi nasionalisme:

"HUBBUL WATHON MINAL IMAN"

padahal taukah saudara2 sekalian bahwa itu adalah hadist maudhu' alias PALSU. mau bukti? bisa liat di:

1. Kitab Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin karya Syaikh Muhammad bin al-Basyir bin Zhafir al-Azhari asy-Syafi’i (w. 1328 H) (Beirut : Darul Kutub al-Ilmiyah, 1999), hal. 109; dan

2. Kitab Bukan Sabda Nabi! (Laysa min Qaul an-nabiy SAW) karya Muhammad Fuad Syakir, diterjemahkan oleh Ahmad Sunarto, (Semarang : Pustaka Zaman, 2005), hal. 226.

Hadits maudhu’ adalah hadits yang didustakan (al-hadits al-makdzub), atau hadits yang sengaja diciptakan dan dibuat-buat (al-mukhtalaq al-mashnu`) yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Artinya, pembuat hadits maudhu` sengaja membuat dan mengadakan-adakan hadits yang sebenarnya tidak ada (Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin, hal. 35; Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 89).

lalu?? bagaimana yang seharusnya??ikatan apakah yg harusnya dipakai? ya Islam, dong!
berbeda dg keumuman orang Indonesia dong?? so what???
berbeda bukan berarti salah bukan??

lupakah kita pada seruan Allah:

Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara.” (Qs. al-Hujuraat [49]: 13).

mulai sekarang mari buang nasionalisme ke tempat sampah dan hanya jadikan Islam sebagai satu2nya ikatan!



Barangsiapa datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian terhimpun pada satu orang laki-laki (seorang Khalifah), dia (orang yang datang itu) hendak memecah kesatuan kalian dan menceraiberaikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.” [HR. Muslim].

pada akhirnya mari kita sama2 menyanyikan lagu koil:

nasionalisme adalah tempat tinggal yang kita bela
nasionalisme untuk negara ini adalah pertanyaan
nasionalisme untuk negara ini menuju kehancuran
nasionalisme menuntun bangsa kami menuju kehancuran
(koil: kenyataan dalam dunia fantasi)

TABIK!
read more

Hadid Sang Pengkelana: Matinya Semangat “ Kasyful Khuthath dan Dharbul Alaqat ”

Syariat Islam jadi isu yang paling hangat akhir-akhir ini, semua kalangan membicarakan isu syariat Islam dari berbagai perspektif. Perspektif atau sudut pandang yang berbeda inilah yang membuat perdebatan tidak kunjung mencapai kesepakatan. Banyak sekali slogan dan ajakan kepada syariat Islam, semuanya memakai istilah ini sesuai dengan perspektifnya masing-masing. Ada yang benar-benar mengajak kepada penerapan syariat Islam secara keseluruhan, ada yang sekedar memasukkan syariat Islam ke sistem yang ada atau hanya masuk ke dalam otda dan perda. Ada juga yang secara terang-terangan menolak formalisasi syariat Islam dalam bentuk apapun, “Islam terlalu suci untuk dibawa-bawa ke dunia politik dan negara”, kilahnya. Para pejuang Islam yang lurus pun akhirnya banyak yang malu-malu dan terjebak kepada penggunaan istilah “syariat Islam” ini. Mereka beralasan dengan mengatakan bahwa syariat Islam pertentangannya jauh lebih sedikit dan lebih mudah diterima masyarakat. Bahkan sebuah gerakan dakwah yang punya slogan “Syariah dan Khilafah” mulai mencoba untuk bermain di ranah abu-abu ini.

Kenapa penggunaan slogan syariat Islam dikatakan abu-abu? Kita bisa melihat sendiri bahwa definisi dan batasan syariat Islam yang beredar dan dimengerti masyarakat semua beragam. Dengan berlindung di balik keberagaman ini atau lebih tepatnya ketidakjelasan alias abu-abu ini banyak pihak yang mulai berani menyuarakannya, dan ada juga pihak yang malah menurunkan ketegasannya ke wilayah abu-abu ini.

Syariah dan khilafah adalah dua istilah yang saling melengkapi tapi berbeda maknanya. Kedua istilah ini bisa digunakan berdampingan bisa juga dipakai sendiri-sendiri, meskipun tentunya akan menghasilkan makna dan persepsi yang berbeda. Istilah syariah dan khilafah ketika digunakan bersamaan tentunya akan memiliki makna yang sangat kuat, yaitu penerapan syariat Islam dalam bingkai Kekhilafahan. Kata khilafah juga memiliki makna yang khas yaitu pemerintahan yang hanya berdasarkan Islam saja, tidak ada satupun pengertian yang dipahami oleh masyarakat selain pengertian tersebut. Sedangkan kata syariah atau syariat Islam memang dimungkinkan untuk ditarik maknanya kearah manapun karena kata tersebut bukanlah kata yang memiliki arti utuh (yaitu syariat Islam keseluruhan).

Batasan-batasan yang disebut sebagai syariat Islam pun sering diselewengkan dan menjadi salah kaprah (pemahaman salah yang sudah dianggap benar) dalam masyarakat. Bahkan dengan sekedar mengadopsi perda syariah saja sebuah daerah sudah dikatakan menjalankan syariat Islam. Ini adalah sebuah bahaya yang entah disadari atau tidak akan menjadi bumerang bagi gerakan Islam secara keseluruhan terutama yang ingin mengembalikan sistem Islam secara paripurna.

Penggunaan kata syariat Islam juga membuat orang berbondong-bondong mempelajari Islam, yang kebanyakan hanya mempelajari sebagian dari syariat Islam. Yang menjadi tren sekarang ini ialah Sistem Ekonomi Islam. Ya, ini merupakan syariat Islam atau tepatnya bagian dari syariat Islam. Kerancuan penggunaan istilah syariat Islam ini mengakibatkan sebagian besar masyarakat berfikir bahwa syariat Islam bisa diterapkan pada sistem apapun. Mungkin juga ini dikarenakan kesalahan memahami bahwa Islam cocok untuk diterapkan di manapun dan kapan pun, termasuk di sini pada sistem apapun.

Banyaknya sentimen positif pada syariat Islam telah membuat gerakan dakwah juga meyeru kepada penguasa yang ada untuk menerapkan (sebagian tepatnya) syariat Islam pada saat terjadi kasus tertentu, misal kelangkaan BBM, bencana alam, pornografi dan lainnya. Bahkan sebagian gerakan Islam juga membuat uraian yang sangat jelas bagaimana syariat Islam yang harus dilaksanakan oleh penguasa yang ada. Semua hal ini membuat masyarakat menganggap bahwa syariat Islam itu memang bisa dan untuk diterapkan dalam sistem yang ada sekarang. Pandangan seperti ini juga diperkuat oleh gerakan-gerakan Islam yang menyeru penguasa untuk mengadopsi dan menjalankan syariat Islam (hanya) pada kasus tertentu (saja).

Sejatinya ada 4 hal yang harus dilakukan oleh gerakan Islam ketika mereka ingin mengembalikan Islam ke dunia ini. Mengedukasi masyarakat (tatsqif jama’i), membina kelompok (tatsqif murakaz), menyingkap keburukan penguasa yang membuat rakyat tidak simpatik kepadanya (kasyful khuthath wa dharbul alaqat), menjelaskan solusi Islam (tabanni mashalih umat). Ya, ini merupakan sebuah ide sangat cemerlang yang layak dilakukan oleh gerakan Islam dimana pun selama mereka berupaya menegakkan Islam dalam bingkai Daulah Khilafah, karena faktanya tidak ada satupun pemerintahan di dunia ini yang pantas disebut sebagai Daulah Khilafah.

Pada praktiknya memang tidak banyak gerakan Islam yang menjalankan langkah-langkah tersebut, terutama langkah nomor tiga yaitu: menyingkap keburukan penguasa yang membuat rakyat tidak simpatik kepadanya (kasyful khuthath wa dharbul alaqat). Penggunaan istilah syariat Islam memang sangat erat kaitannya dengan mulai diabaikan dan ditinggalkannya langkah penting gerakan dakwah ini. Sebagian beralasan melakukan berbagai seruan (kepada penguasa) tentang bagaimana syariat Islam memecahkan masalah yang sedang terjadi ini sebagai bagian dari menjelaskan solusi Islam (tabanni mashalih umat).

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa perbuatan menyeru dengan menjelaskan bagaimana syariat Islam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi ini merupakan bagian dari menjelaskan solusi Islam (tabanni mashalih umat), tapi dengan hanya menggunakan istilah syariat Islam saja akan semakin menjauhkan masyarakat (termasuk penguasa-dalam kapasitas sebagai masyarakat) dari penerapan Islam yang sesungguhnya. Yang seharusnya dilakukan (kepada penguasa) bukanlah hanya menjelaskan solusi Islam (tabanni mashalih umat), tapi yang terpenting ialah menyingkap keburukan penguasa yang membuat rakyat tidak simpatik kepadanya (kasyful khuthath wa dharbul alaqat).

Benar. Hal ini wajib dilakukan. Sebab, dengan menyingkap keburukan penguasa maka tentunya akan membuat rakyat tidak simpatik kepadanya dan juga kepada sistem yang menaunginya. Bukanlah sebuah tindakan yang bijaksana ketika kita memberikan solusi syariat Islam kepada penguasa kufur yang (akan selalu) bermasalah, yang tepat bagi mereka ialah kita jadikan masalah mereka ini sebagai pelajaran bagi masyarakat bahwa adalah sebuah kesalahan mempercayai mereka (para penguasa) dan sistem kufur yang menaunginya.

Inilah sebenarnya esensi menyingkap keburukan penguasa yang membuat rakyat tidak simpatik kepadanya (kasyful khuthath wa dharbul alaqat). Bukan kita malah asyik dengan istilah syariat Islam yang kebetulan juga menjadi sebagian pelarian dari kondisi buruk yang dialami oleh penguasa dan meninggalkan kata yang seharusnya menjadi pasangan kata tersebut yaitu Khilafah Islamiyah. Memang dengan melakuan yang satu ini maka sama saja dengan jelas kita menyatakan menentang penguasa yang ada, tapi mungkin juga itu yang memang dihindari oleh sebagian gerakan dakwah. Wallahu A’lam.

Semoga dengan tulisan ini para pengemban dakwah terbangun dari mimpi indahnya dengan selalu menyatakan bahwa selama para penguasa tidak menerapkan syariat Islam dalam bentuk Khilafah Islamiyah maka kita para pengemban dakwah menjadi yang terdepan dalam menghancurkan mereka, menghancurkan kepercayaan masyarakat atas mereka, dan menghancurkan sistem yang menaungi mereka. Jangan sampai kita memberi solusi Islam atas mereka (tanpa menghancurkan sistem yang sedang mereka terapkan), karena dengan hal tersebut kita malah membantu mereka mempertahankan sistem kufur tersebut. Semoga Allah Swt. meluruskan dan memudahkan jalan kita semua dalam perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah ini.

wallahu ' alam bishawwab ... akhukum Hadid

pirated from: http://www.facebook.com/notes/hadid-sang-pengkelana/__-matinya-semangat-kasyful-khuthath-dan-dharbul-alaqat-____/10150197745415433
read more

6 Mei 2010

some design that publised




read more
hoi! entah kata apa lagi yang pantas untuk mengawali perjumpaan selain salam: SALAM'ALAYKUM!!

selamat berjumpa di blog iseng yang kadang berisi catatan2 ngigau saya.. semoga bisa membantu mengantarkan pada pencerahan.. :)
tabik!
read more