1. Apa yang disebut Khilafah..?
Jawab: Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim untuk 
menerapkan syariat Islam di dalam negeri dan mendakwahkannya ke luar 
negeri.
2. Apa yang menjadi substansi dari gagasan Khilafah tersebut?
Jawab: Pertama, kehidupan yang di dalamnya diterapkan syariat Islam 
dalam seluruh sendi kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga maupun 
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang menyangkut aspek ibadah, 
makanan, minuman, pakaian, akhlak maupun muammalat serta ‘uqubah. Kedua 
adalah bersatunya kembali umat Islam yang kini bercerai berai dalam 
lebih dari 50 negara, di bawah naungan Khilafah Islamiyah dengan seorang
 Khalifah sebagai pemimpinnya.
3. Apakah Khilafah ada dalam al-Quran?
Jawab: Tentu. Khilafah berasal dari kata al-Khalfu (khalafa – yakhlufu) 
yang berarti belakang. Lalu berkembang menjadi: Khalfun, khalifah, 
khilafah, khalaif, khulafa, dan ikhtilaf. Di dalamnya terkandung makna 
pengganti, generasi, pemimpin dan pewaris bumi. Ada 127 ayat yang 
mengandung kata dan turunan Khilafah. Misal, al-Baqarah 11 kali, Ali 
Imran 7 kali, an-Nisa 3 kali, dan lain-lain
Kha–la–fa juga berarti kepemimpinan. Misalnya, terdapat dalam makna:
    * Generasi pengganti (al-A’raf: 169, Maryam: 59)
    * Suksesi generasi dan kepemimpinan (al-An’am: 165, Yunus: 14 dan 73, Fathir: 39)
    * Proses dan janji pemberian mandat kekuasaan dari Allah (an-Nuur: 55)
    * Pemegang mandat kekuasaan dan kewenangan dari Allah (al-Baqarah: 30, Shad: 26)
Jadi, kata Khalifah/Khilafah dalam arti kepemimpinan jelas ada dalam al-Quran.
4. Bagaimana makna Khilafah menurut as-Sunnah?
Jawab: Ada hadist-hadist yang secara keseluruhan diriwayatkan oleh 25 
shahabat, 39 tabi’in dan 62 tabi’it tabi’in. Dalam hadist disebutkan 
khilafah atau imamah, pemimpinnya disebut khalifah, imam, atau amirul 
mukminin. Semuanya mengandung arti yang sama; yakni kepemimpinan umum 
bagi kaum Muslimin untuk menerapkan Islam di dalam negeri dan 
mendakwahkannya ke luar negeri.
5. Pendapat ulama tentang Khilafah?
Jawab: Seluruh ulama sepakat tentang wajibnya Khilafah, termasuk kalangan ulama dari kalangan ahlu sunnah wal jama’ah. Misalnya:
    * Imam al-Juwaini, “Imamah (khilafah) adalah kepemimpinan menyeluruh
 serta kepemimpinan yang berhubungan dengan urusan khusus dan umum dalam
 kaitannya dengan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia” 
(al-Juwaini, Ghiyats al-Umam hal: 5)
    * “Khilafah membawa semua urusan kepada apa yang dikehendaki oleh 
pandangan dan pendapat syar’I tentang berbagai kemaslahatan akhirat dan 
dunia yang rojih bagi kaum Muslim. Sebab, seluruh keadaan dunia, 
penilaiannya harus merujuk kepada asy-Syari’ (Allah SWT) agar dapat 
dipandang sebagai kemaslahatan akhirat. Jadi Khilafah, pada hakikatnya 
adalah Khilafah dari Shahib asy-Syari’, yang digunakan untuk memelihara 
agama dan mengatur urusan dunia” (Ibn Khaldun, Muqaddimah hlm: 190)
    * “Jumhur ulama telah bersepakat bahwa wajib ada seorang imam 
(khalifah) yang menegakan sholat jumat, mengatur para jamaah, 
melaksanakan hudud, mengumpulkan harta dari orang kaya untuk dibagikan 
kepada orang miskin, menjaga perbatasan, menyelesaikan perselisihan di 
antara manusia dengan hakim-hakim yang diangkatnya, menyatukan kalimat 
(pendapat) umat. menerapkan hukum-hukum syariah, mempersatukan 
golongan-golongan yang bercerai-berai, menyelesaikan berbagai problem, 
dan mewujudkan masyarakat yang utama” (Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib 
al-Islamiyah hal: 88)
    * “Khilafah merupakan kedudukan agama terpenting dan selalu 
diperhatikan oleh kaum Muslimin. Syariah Islam telah menetapkan bahwa 
mendirikan Khilafah adalah satu kewajiban mendasar di antara 
kewajiban-kewajiban agama. Bahkan dia adalah kewajiban terbesar 
(al-Fardh al-A’zham). Sebab, padanyalah bertumpu/bergantung pelaksanaan 
seluruh kewajiban lainnya” (ar-Rais, al-Islam wa al-Khilafah hal: 99)
    * “Para ulama telah sepakat bahwa imamah (Khilafah) adalah fardlu 
dan adanya imam merupakan keniscayaan; kecuali sekte an-Najadat 
(al-Khawarij) – pendapat mereka sesungguhnya telah menyalahi ijma’ 
“(Imam al-Hafizh Muhamad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri, Maratib 
al-Ijma’ hal: 1/124). Pernyataan Ibn Hazm di atas juga dikuatkan oleh 
Imam asy-Syaukani, Nayl al-Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar, XIII/290
    * “Mewujudkan Imamah (Khilafah) adalah fardlu kifayah, sebagaimana 
peradilan” (Imam al-Hafidz abu Yahya Zakaria al-Anshori, Fath al-Wahab 
bi Syarhi Minhaj ath-Thullab, II/268)
    * Pendapat senada juga terdapat dalam beberapa kitab lain, di 
antaranya: Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfadz al-Minhaj (XVI/287); 
Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj (XXXIV/159); Nihayah al-Muhtaj ila 
Syarh al-Minhaj (XXV/419); Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umayrah (XV/102)
6. Tapi, bukankah Khilafah itu hanya 30 tahun saja, selebihnya kerajaan?
Jawab: Memang ada hadist yang seakan-akan menunjukan hal itu. Misalnya hadist:
“Setelah aku, khilafah yang ada pada umatku hanya berumur 30 tahun, 
setelah itu adalah kerajaan” (HR. Imam ahmad, Tirmidzy dan Abu Ya’la 
dengan isnad hasan)
Namun sebenarnya yang 30 tahun itu bukan khalifah secara keseluruhan 
melainkan Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwwah. Hal ini jelas bila 
dihubungkan dengan hadist:
“Sesungguhnya awal dari agama ini adalah nubuwwah dan rahmat, setelah 
itu akan tiba masa Khilafah dan rahmat, setelah itu akan datang masa 
raja-raja dan para diktator. Keduanya akan membuat kerusakan di 
tengah-tengah umat. Mereka telah menghalalkan sutra, khamer dan 
kefasidan. Mereka selalu mendapatkan pertolongan dalam mengerjakan 
hal-hal tersebut; mereka juga mendapatkan rizki selama-lamanya, sampai 
menghadap kepada Allah SWT” (HR. Abu Ya’la dan al-Bazar dengan isnad 
hasan)
Al-Hafidz Ibn Hajar dalam fath al-Bariy berkata, “Yang dimaksud Khilafah
 pada hadist ini adalah Khilafah an-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan 
sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu’awiyyah dan 
khalifah-khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya 
raja-raja. akan tetapi tetap mereka tetap dinamakan sebagai khalifah”. 
Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang dituturkan 
oleh Imam Abu Dawud,
“Khilafah nubuwwah itu berumur 30 tahun”. (HR. abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud No.4646, 4647)
Jadi, awalnya negara nubuwwah dan rahmah pimpinan Rasulullah Saw., 
dilanjutkan selama 30 tahun oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan 
Ali. Itulah Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwwah. Berikutnya, para penguasa 
yang kadang mengalami penyimpangan tapi tetap menjalankan syariat Islam 
dan diangkat memalui bai’at. Mereka tetap Khalifah. Dan kelak akan ada 
lagi Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwwah.
7. Mungkinkah menerapkan syariat Islam tanpa Khilafah?
Jawab: Kalau bersifat individual atau kelompok mungkin saja. Misalnya, 
shalat, shaum, dan lain-lain bisa dilakukan tanpa perlu menunggu adanya 
Khilafah. Tapi, bersatunya kaum mukmin, pembelaan terhadap umat Islam 
yang dibantai, mengambil lagi harta kekayaan yang dirampas negara 
penjajah, menyediakan kebutuhan pokok, menjamin kesehatan dan pendidikan
 warga, dan lain-lain, mutlak memerlukan Khilafah. Sebab, kalau bukan 
Khilafah yang menjadi benteng (seperti kata Nabi), lalu apa? Jadi, 
penerapan Islam kaffah mengharuskan adanya Khilafah.
8. Apa kerugian bila tidak ada Khilafah?
Jawab: Banyak sekali, di antaranya umat Islam kehilangan:
    * Keridloan Allah SWT. Keridloan Allah SWT dapat dicapai dengan 
mengikuti seluruh hukum dan aturan-NYA dengan penuh ketaatan sebagaimana
 dipraktekan oleh Nabi kita Muhammad Saw. Dengan kata lain menegakan 
Khilafah Islam yang merujuk pada syariat baik urusan di dalam negeri 
maupun luar negeri pada setiap aspek kehidupan.
    * Hilangnya Imam atau Khalifah atau Amirul Mukminin, di mana 
dibai’at kepadanya merupakan suatu yang amat vital bagi setiap Muslim. 
Rasulullah Saw bersabda:
      “Barangsiapa yang mati sedangkan dipundaknya tidak ada bai’at, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyyah”
      Saya ingin anda membayangkan bagaimana berdosanya kaum Muslim 
sejak runtuhnya Khilafah Utsmani tahun 1924 M/1342 H yang merupakan 
Khilafah terakhir. Akhirnya secara spontan banyak yang hilang ketika 
kaum Muslim kehilangan legitimasi kepemimpinan ini dan kehilangan 
lainnya menyusul seperti bola salju.
    * Hilangnya rasa aman dan jaminan keamanan yang menyebabkan ketakutan.
    * Hilangnya ilmu pengetahuan, pendidikan dan kepedulian yang lahir 
dari kepribadian Islam. Hal ini disebebkan oleh dominannya kebodohan dan
 buta huruf yang diakibatkan oleh kemiskinan dan kepribadian yang goyah.
    * Hilangnya kekuatan dan jihad yang disebebkan kelemahan dan kekalahan.
    * Hilangnya kekayaan yang disebabkan kemiskinan.
    * Hilangnya pencerahan dan pedoman yang benar dan disebabkan kegelapan dan pedoman yang salah.
    * Hilangnya kehormatan dan martabat yang disebabkan penghinaan.
    * Hilangnya kedaulatan dan ketergantungan dalam membuat keputusan 
politik akibat ketundukan kepada negara-negara penjajah kafir barat dan 
timur.
    * Hilangnya keadilan yang disebabkan penindasan dan ketidakadilan.
    * Hilangnya keimanan dan keikhlasan yang disebabkan pengkhianatan penempatan orang yang salah pada tempat yang salah.
    * Hilangnya sikap dan moral yang teruji yang menyebabkan kejahatan dan sikap yang tercela.
    * Hilangnya negeri-negeri Islam dan tempat tinggal, tidak hanya 
Palestina, tetapi juga Andalusia (sekarang yang disebut Spanyol dan 
Portugal), wilayah yang luas di Asia Tengah dan Timur Jauh, Kosovo, 
Bosnia, Kashmir, dan yang lainnya, yang menyebabkan jutaan imigran, 
gelombang pengungsian dan pendeportasian.
    * Hilangnya tempat suci dan akibatnya adalah kaum Muslim dilarang 
shalat di Masjid al-Aqsha selama 50 tahun sampai saat ini. Kami juga 
menyesalkan untuk mengatakannya kepada anda bahwa dua masjid lainnya pun
 ; yaitu Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi tidak di dalam kondisi 
yang diinginkan.
    * Hilangnya kesatuan dan integritas yang diakibatkan terpecahnya 
negeri kaum Muslim menjadi 56 bagian yang tidak sah, dan AS tengah 
bekerja keras menciptakan bagian ke 57 di Palestina, ke 58 di gurun 
Afrika Barat dan ke 59 di Timor Timur.
9. Benarkah Khilafah itu otoriter?
Jawab: Tidak Benar. Sebab, rakyat baik secara sendiri-sendiri atau 
bersama-sama wajib melakukan koreksi (muhasabah). Kalau menyimpang dari 
Islam, Khalifah diluruskan. Bahkan, bila melakukan kekufuran yang nyata 
dapat diperangi.
10. Bagaimana kebijakan Khilafah tentang penyelesaian kemiskinan?
Jawab: Khilafah menjamin kebutuhan pokok. Tolak ukur kesejahteraan 
rakyat sangatlah sederhana, misalnya, berapa banyak orang yang tidak 
punya rumah, pengemis, pengangguran, sakit dan tak mampu berobat, dan 
lain-lain. Jadi, sandang, pangan dan papan dijamin. Tidak boleh ada yang
 kelaparan sehingga rakyat makan aking dan gaplek. Pendidikan dan 
kesehatan pun gratis.
11. Bagaimana Khilafah memperlakukan warga negaranya yang non muslim?
Jawab: Dalam kehidupan pribadi, implementasi syariat Islam terhadap 
warga dilakukan secara berbeda mengikuti agama yang dianut. Bagi seorang
 Muslim tentu ia harus mengikuti syariat. Ia wajib melaksanakan ibadah, 
menjaga makanan minuman halal, selalu menutup aurat dan berakhlak mulia.
 Sementara, bagi non muslim dia tidak wajib mengikuti syariat Islam, 
tapi mengikuti ajaran agamanya masing-masing. Menyangkut masalah 
pakaian, makanan atau minuman dan ibadah, pendek kata semua yang 
berkenaan dengan keyakinan agama, mereka tidak wajib mengikuti syariat 
Islam karena dalam Islam memang tidak boleh ada paksaan.
Dalam kehidupan publik, baik menyangkut aspek ekonomi, politik, sosial, 
pendidikan, dan sebagainya –warga muslim maupun non muslim—semuanya 
wajib mengikuti syariat Islam. Larangan bermuamalah secara ribawi atau 
larangan berzina, menjual makanan minuman haram, mencuri, melakukan 
tindak kriminal, dan sebagainya, semua itu berlaku untuk muslim maupun 
non muslim. Termasuk misalnya bila dalam kehidupan Islam itu berhasil 
diwujudkan pendidikan bebas biaya, layanan kesehatan murah dan bermutu 
atau kegiatan bisnis yang kondusif serta kehidupan yang aman, damai dan 
sejahtera, serta infrastruktur transportasi, telekomunikasi, penerangan 
dan tata kota yang canggih, semua itu juga akan dinikmati oleh muslim 
maupun non muslim tanpa kecuali. Di sinilah rahmat Islam bagi sekalian 
alam yang dijanjikan itu akan terwujud.
12. Sejarah menunjukan bahwa ke-Khilafahan penuh dengan sejarah buruk?
Jawab: Perlu disadari, catatan sejarah buruk bukan hanya monopoli 
sejarah kaum Muslim di bawah Khilafah Islamiyyah. Penggalan sejarah 
buruk merupakan keniscayaan dalam sejarah manusia. Semua itu ada dan 
terjadi di semua sejarah bangsa dan umat manusia. Dalam sejarah 
nasionalisme dan nation-state sangat banyak sejarah buruk yang bahkan 
lebih buruk dari apa yang terjadi dlm sejarah kaum Muslim. Demikian pula
 dalam sejarah Sosialisme-Komunisme; apalagi Kapitalisme. Meski di sisi 
lain tercapai kemajuan sains dan teknologi, keburukan malah menjadi 
bagian tak terpisahkan dari perjalanan kedua idiologi itu & terjadi 
secara terus-menerus. Jika terhadap sistem Khilafah Islamiyyah, catatan 
buruk dlm sejarahnya dijadikan dalih untuk menjelekkan dan menghina 
serta menolak sistem Khilafah, mengapa hal yang sama tidak dilakukan 
terhadap demokrasi kapitalisme, dan sebagainya; padahal di dalam 
sejarahnya banyak terdapat catatan yang jauh lebih buruk? Kemiskinan dan
 kelaparan di Dunia Ketiga, kesenjangan ekonomi antara negar-negara maju
 dengan negara dunia ketiga, konflik & perang antara bangsa yang 
terus menerus, dan terutama penjajahan negara-negara kapitalis besar 
seperti AS dan sekutunya atas negara lain, khususnya negeri-negeri Islam
 justru terjadi & tidak pernah berhenti hingga detik ini ketika 
idiologi kapitalisme dan demokrasi mendominasi dunia.
Jika semata karena adanya catatan buruk dlm sejarah lantas sistemnya 
ditolak, bahkan dihina, maka seluruh sistem yang ada dan pernah dikenal 
harus ditolak pula. Jelas, hal demikian tidak bisa diterima oleh akal 
sehat. Karenanya, menjadikan catatan buruk sejarah Khilafah untuk 
menolak sistem Khilafah jelas tidak pada tempatnya dan hanya dalih yang 
dicari-cari.
Sejarah Khilafah adalah catatan ttg penerapan dari konsepsi sistem 
Khilafah. Konsepsi ttg Khilafah sendiri merup pemikiran dan hukum ttg 
sistem Khilafah yang digali dari dalil2 syariah. Jadi, sangat jelas 
bahwa sejarah bukanlah konsepsi sistem Khilafah itu sendiri. Sejarah itu
 hanyalah obyek pemikiran, yaitu obyek yang hendak dinilai berdasarkan 
sumber pemikiran atau dalilnya. Dengan menganalisis sejarah khilafah dan
 membandingkannya dengan konsepsi Khilafah, mk akan bisa disimpulkan 
bahwa sejarah itu merup pelaksanaan atau sebaliknya; penyimpangan dari 
konsep Khilafah. Pelaksanaannya pun masih bisa dinilai apakah sebagai 
pelaksanaan yang baik dan ideal dari konsepsinya; atau sebaliknya. 
Sejarah buruk itu merup penyimpangan atau pelaksaan buruk dari sistem 
Khilafah Islamiyyah. Itu hanya sebagian dari sejarah Khilafah. Karena 
itu, menolak sistem Khilafah dengan alasan penggalan sejarah buruk yang 
pernah terjadi berarti telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya; 
yaitu menempatkan obyek menjadi sumber pemikiran atau dalil. Jelas ini 
sikap seorang pengecut atau sikap yang tidak fair.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal" (TQS Yunus [12]: 111)
Ayat ini memerintahkan agar kita mengambil pelajaran dari perjalanan 
umat-umat terdahulu. Mengambil pelajaran dari perjalanan kaum Muslim 
tentu lebih utama. Karena itu, membincangkan atau memperdebatkan sejarah
 buruk itu semata merup sikap yang tidak produktif. Sikap yang 
seharusnya sesuai dengan ayat di atas adl mengambil pelajaran darinya. 
Hal itu bisa dilakukan dengan mendalami dan menganalisis peristiwanya, 
kemudian menilainya dan mendudukkan perkaranya sesuai dengan ketentuan 
syariah, selanjutnya mencegah agar kesalahan serupa tidak terulang lagi 
ketika Khilafah Islamiyyah berdiri kembali.
Juga, banyak di sisi lain khilafah yang justru gemilang.
Paul Kennedy dalam The Rise and Fall of The Great Powers: Economic 
Change an Military Conflict from 1500 to 2000, menulis tentang 
kekhilafahan utsmani dengan: “Imperium Utsmani, lebih dari sekedar mesin
 militer. Dia telah menjadi penakluk elite yang mampu membentuk kesatuan
 iman, budaya dan bahasa pada sebuah area lebih luas dari yang dimiliki 
imperium Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih besar” (Lihat juga 
pendapat senada dari William Durant)
13. Bagaimana Khilafah mempersatukan umat yang sudah tersekat-sekat nasionalisme dan nation state?
Jawab: Dulu, berbagai kabilah di Jazirah Arab yang selama itu tidak 
pernah akur, dapat disatukan oleh Nabi dan para Khalifah sesudahnya.
Pertama, tanamkan kekuatan ruhiyah. Orang Arab tidak lebih baik dari non
 Arab; begitu juga sebaliknya. Jadi, siapapun siap bersatu dengan 
dipimpin oleh siapapun. Kalau selama ini suku-suku di Indonesia siap 
dipimpin oleh orang dari Jawa, semestinya siap juga dipimpin oleh bangsa
 apapun dan memimpin bangsa apapun.
Kedua, secara realitas, dunia makin menjadi dusun kecil. Istilah 
globalisasi telah menjadi kenyataan yang tidak dapat ditawar lagi. Dunia
 islam pun dalam kenyataannya ‘menyatu’ dalam sistem dunia. Mulai dari 
moneter, standar mata uang, hingga penanganan flu burung dilakukan 
secara global. Jadi, kenyataannya, dunia tengah menyatu. Karenanya, 
persoalannya bukan pada bersatunya, melainkan pada apakah kapitalisme 
global akan tetap dijadikan dasar akan kebersatuan dunia itu atau Islam 
dengan kekhilafahannya.
Ketiga, salah satu kewajiban kita adalah bersatu. Kaum Muskmin 
bersaudara laksana satu bangunan dan satu tubuh, dan haram berpecah 
belah. Bukankah Tuhan kita sama: Allah SWT; kitabnya sama: al-Quran; 
Rasulnya sama: Muhammad Saw; kiblatnya sama: Baitullah? Semua itu 
merupakan kekuatan ruhiyah yang akan menyatukan umat melewati 
batas-batas nasinalisme. Bila dengan alasan material Uni Eropa dapat 
bersatu, maka dengan alasan umat Islam adalah umat yang satu (ummah 
wahidah) semestinya umat Islam dapat bersatu melebihi mereka.
14. Tapi bukankah setiap negara Islam memiliki national interest yang berbeda-beda?
Jawab: Kalaulah setiap negara muslim berpikir seperti para pemimpin 
negara-negara Eropa saat ini, persoalan itu mudah saja diatasi. Bukankah
 negara-negara Eropa itu juga memiliki national interest masing-masing? 
Kenapa kemudian mereka bisa mudah melebur dalam Uni Eropa? Sekarang 
mereka terus bergerak. Di bidang Imigrasi, bahkan sudah diperbolehkan 
satu visa untuk 14 negara; mungkin sekarang sudah lebih. Mata uang sudah
 satu. Sebentar lagi mungkin pertahan dan militer, kemudian parlemen. 
Nanti akan ada pemilu untuk Eropa dan sebagainya. Jadi kenapa umat Islam
 tidak bisa begitu? Umat Islam lebih punya dasar teologis dan historis. 
Secara teologis, jelas sekali dalil yang mewajibkan kita mewujudkan dan 
menjaga persatuan umat. Secara historis, kita tinggal meneruskan apa 
yang sudah umat Islam alami di masa lalu, di masa kejayaan kekhilafahan 
Islam.
15. Bagaimana menyatukan keragaman?
Jawab: Keragaman tidak selalu harus disatukan. Beberapa ayat al-Quran 
dan as-Sunnah, termasuk pada masa Rasulullah Saw dan para shahabat, 
menunjukan kehidupan di dalam kekhilafahan membiarkan keragaman. 
Keragaman budaya, adat, etnis dan lain-lain dipandang sebagai alami agar
 manusia saling mengenal (lihat quran surat al-Hujurat: 13). Bahkan, 
tidak sedikit pernikahan antar etnis terjadi. Wali Songo yang kebanyakan
 dari Timur Tengah menikah dengan puteri Jawa. Agama2 yang beraneka 
ragam diberi kebebasan hidup, karena tidak ada paksaan bagi non Muslim 
untuk berpindah menganut Islam (lihat quran surat al-Baqarah: 256). 
Beraneka madzhab pun berkembang. Dulu, ada puluhan madzhab, sekalipun 
yang banyak dikenal hingga kini hanya empat saja. Keragaman yang 
disatukan hanyalah keragaman yang apabila dibiarkan akan 
memporakpandakan tatanan masyarakat. Jadi, keragaman, bukanlah merupakan
 kesulitan dalam penegakan Khilafah.
16. Bagaimana mekanisme pemilihan Khalifah di tengah perbedaan etnik, mazhab dan kepentingan politik?
Jawab: Dari sisi pemahaman harus sama bahwa siapapun yang yang memenuhi 
syarat in’iqad, boleh menjadi Khalifah; tanpa membedakan etnis dan 
mazhab. Syarat keturunan Quraisy bukanlah syarat utama, melainkan syarat
 keutamaan (afdloliyah). Adanya kekhilafahan Umayyah, Abbasiyah, dan 
Utsmaniyyah menunjukkan hal ini. Realitas pun menunjukkan, Cina dapat 
mengurus rakyat yang jumlahnya 1,5 milyar dengan berbagai keragamannya, 
maka sejatinya umat Islam pasti lebih bisa mengurus kaum Muslim dunia 
sebesar itu juga.
Pada sisi lain, mekanisme pemilihan Khilafah melalui pemilihan, baik 
langsung maupun lewat perwakilan Majelis Umat/MU (ahlul halli wal aqdi).
 Dengan merujuk jejak pada Khulafaur Rasyidin dapat dilaksanakan 
mekanisme berikut. Di daerah di lakukan pemilihan para anggota Majelis 
Wilayah/MW (wakil umat di daerah) langsung oleh rakyat daerah 
masing-masing. Yang dipilih adalah bukan gambar partai atau organisasi; 
melainkan langsung orangnya. MW benar-benar menjadi representasi 
daerahnya. Lalu, para anggota MW memilih sejumlah orang di antara mereka
 untuk menjadi MU. Jadi, MU pun merasakan representasi umat secara 
keseluruhan. Persoalan etnik dan mazhab tidak akan menjadi masalah 
karena dapat diselesaikan dengan mekanisme tersebut.
Sementara itu, kepentingan politik ditampung dengan dibiarkan adanya 
partai-partai politik dan organisasi. Tidak perli izin, cukup 
pemberitahuan kepada pemerintah. Syaratnya, dasar oraganisasi adalah 
Islam dan untuk kepentingan Islam. Partai/organisasi ini dapat 
menyiapkan kader-kadernya untuk menjadi MW, MU atau khalifah, yang 
beradu kualitas dalam pemilihan.
17. Bagaimana cara menuju tegaknya Khilafah?
Jawab: Inti dari persoalan ini adalah kesadaran masyarakat. Masyarakat 
yang sadar akan kewajiban penerapan syariah dan menyatu dalam khilafah 
akan berupaya untuk mewujudkannya. Bila masyarakat ini didukung oleh 
ahlu quwwah (militer dan lain-lain), lalu memberikan kekuasaannya kepada
 pemimpin Islam untuk menjadi Khalifah, maka tidak ada siapapun yang 
dapat menghalanginya. Sebab, kekuasaan ada di datang rakyat. Hanya saja,
 memang negeri-negeri kaum Muslimin harus melepaskan diri dari 
kungkungan dan penjajahan negara-negara besar. Untuk itu, perlu ada 
upaya di tiap negeri Muslim untuk menggerakan umat bersatu dalam 
Khilafah. Perlu gerakan TRANSNASIONAL.
Pada awalnya gerakan Khilafah Islmiyyah tetaplah merupakan sebuah unit 
negara. Proses berikutnya, dia akan mengembangkan wilayah dan 
pengaruhnya itu ke negara-negara lain yang penduduknya mendukung gagasan
 penyatuan negara mereka ke dalam Khilafah. Misalnya, khilafah berdiri 
tegak di Mesir, maka khalifah akan berusaha menyatukan wilayah 
disekitarnya, entah itu Libya, Sudan, Aljazair, Maroko, atau bahkan 
wilayah yang lebih jauh seperti Palestina, Syiria, Yordanisa, Irak, 
Iran, dan lain-lain.
18. Kita ini lemah, padahal ada negara besar siap menghadang?
Jawab: Alasan ini memang bukan isapan jempol. G.W. Bush menegaskan akan 
menyerang siapapun yang mengiginkan pendirian kembali kekhilafah Islam 
di Timur Tengah; sebagai bagian dari “perang melawan teror”. Realitas 
ini bukanlah perkara baru. Rasulullah Saw. sejak awal dikepung dan 
diusir. Setelah berhasil menegakkan daulah nubuwwah wa rahmah pimpinan 
Nabi, mereka siap diserbu oleh kaum kafir Quraisy serta menghadapi 
tantangan dari dua negara besar kala itu; Persia dan Romawi. Tapi, hal 
ini justru menjadi pintu kemenangan yang lebih besar. “(Yaitu) 
orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul-NYA) yang kepada mereka ada 
orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan 
pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka 
perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah 
Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung” 
(lihat quran surat Ali ‘Imran ayat 173). Jadi, secara I’tiqodi dan 
historis ancaman tersebut merupakan sunnatullah. Tapi, kemenangan Islam 
dan umatnya pun merupakan janji dari Allah Pencipta Alam Semesta. Lalu, 
sebenarnya kita. Masalahnya, karena kita tidak bersatu, maka banyak di 
antara kaum Muslim yang merasa lemah. Bayangkan, Indonesia saja 
membentang dari Inggris hingga Turki dan dari Polandia/Jerman hingga 
Yogaslavia, atau membentang dari Maroko sampai Yaman, dan dari Chad 
samapi Tunisia.
19. Ada yang menilai konteks kekhilafahan ini tidak cocok bagi Indonesia?
Jawab: Boleh saja siapapun memberikan pendapat itu. Tapi, justru kita 
harus mempertanyakan ketidakcocokan itu di mana? Inti dari Khilafah itu 
adalah syariah dan yang kedua adalah persatuan (ukhuwah). Syariah itu 
kita perjuangkan dengan keinginan mendalam untuk menggantikan 
Sekulerisme yang telah memimpin Indonesia selama 60-an; akan tetapi 
tidak memberikan apa-apa kecuali berbagai persoalan. Sementara persatuan
 bukan hanya kewajiban melainkan tuntutan fitrah manusia. Sekedar 
menambahkan referensi tentang keterkaitan Indonesia dengan Khilafah, 
bisa dibaca di sini.
20. Bagaimana dengan Pancasila?
Jawab: Harus diakui, Pancasila hanya merupakan sekumpulan 
prinsip-prinsip dasar yang sangat umum sehingga dapat ditarik 
kesana-kemari; tergantung penguasanya. Lihatlah perjalan negeri kita 
dari Orde Lama hingga Orde Reformasi. Dalam realitasnya untuk 
menyelesaikan masalah kemiskinan, kebodohan, kezhaliman, ketidakadilan, 
penjajahan, dan lain-lain, Pancasila tidaklah memadai. Tidak 
operasional. Karenanya, perlu ada yang operasional. Itulah syariat dan 
sistem Khilafahnya. Jadi, gagasan syariat dan Khilafah merupakan solusi 
yang dapat membebaskan Indonesia dan umat secara keseluruhan dari krisis
 multidimensi. Sosialis-Komunis terbukti gagal, Kapitalisme justru 
menghasilkan tatanan penuh krisis seperti sekarang. Kalau bukan syariat 
dan Khilafah yang diperintahkan al-Quran dan as-Sunnah, lalu apa?
21. Ada sejumlah kalangan berpendapat, ide Khilafah ini akan mengancam NKRI?
Jawab: Mengancam dari sisi mana? Khilafah dan syariah itu akan 
menggantikan sekulerisme. Di mana sekulerisme sudah membuat celaka 
negeri kita; justru yang mengancam itu sekulerisme dan kapitalisme 
global. Fakta sudah nyata. Ukhuwah justru akan mensolidkan negara dari 
ancaman separatisme yang mengancam. Bentuk separatisme, seperti RMS dan 
Papua Merdeka, itu yang mengancam, dan bukannya Khilafah. Khilafah malah
 akan menyelamatkan NKRI dari kehancuran.
Apakah belum tahu bahwa para pejuang syariah dan Khilafah sangat concern
 pada usaha menjaga NKRI? Tatkala Timtim lepas, para pejuang syariah dan
 Khilafah menyampaikan pada media massa, bahwa kami akan mengambil 
kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh 25 
tahun! Saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki dan tatkala kalangan 
tentara khawatir dengan hasil Perjanjian Helnsinki, para pejuang syariah
 dan Khilafah-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari NKRI
 dan agar NKRI jangan berada di bawah ketiak pihak asing! Bahkan 
kalangan militer sampai melihat para pejuang syariah dan Khilafah ‘lebih
 nasionalis’ dari organisasi dan partai-partai nasional… Salah seorang 
pejuang syariah dan Khilafah pernah berkata kepada Perwira Mabes AD yang
 mewakili KSAD, bahwa kami tidak hanya ingin memelihara keutuhan wilayah
 NKRI, bahkan ingin agar wilayah NKRI lebih besar daripada yang ada 
sekarang ini! Dengan sistem Pemerintahan syariah, yakni Khilafah 
Islamiyyah, hal itu sangat mungkin terwujud.
22. Tapi, ‘kan ide Khilafah meniscayakan adanya perubahan NKRI?
Jawab: NKRI mana yang tidak boleh dirubah..? Dari segi sistemnya, UUD 
1945, saat diproklamasikan, masih memuat pembukaan yang menyebut, 
“dengan menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lalu pada 18
 Agustus tujuh kata tersebut dicoret. Kemudian muncul UUD RIS. Lalu 
lahir UUD 1950, yang bersifat demokrasi parlementer. Setelah itu, 
kembali lagi pada UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 1959 sebagai tanda 
dimulanya era Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya muncul Orde Baru yang 
membawa Demokrasi Pancasila. Orde Demokrasi Pancasila itupun tumbang 
dengan lahirnya Orde Reformasi. Selanjutnya, muncul era demokratisasi 
pasca reformasi yang ditandai dengan perubahan UUD 1945 secara 
besar-besaran sehingga dominasi neolibnya sangat menyengat.
Sayangnya, meski sudah bongkar pasang, hasilnya nihil! Yang terjadi 
justru krisis multidimensi yang semakin menjadikan kedaulatan negeri ini
 berada di bawah telapak kaki kaum Neolib. Nah, dalam situasi seperti 
ini, tawaran konsep Khilafah sebagai suatu sistem syariah dalam sektor 
pemerintahan mestinya dianggap sebagai wacana pencerahan yang bisa diuji
 kebenaran dan kemampuan problem solving-nya secara konseptual!
Itu dari segi sistem. Dari segi teritorial, faktanya, Timtim lepas dari NKRI dengan ‘restu’ PBB pasca jajak pendapat tahun 1999.
Nah, kenapa takut dengan perubahan sistem?
23. Adakah kaitan antara Khilafah dengan demokrasi?
Jawab: Inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Inti gagasan ini 
bertentangan dengan syariat Islam. Sebab, jelas sekali Islam mengajarkan
 kedaulatan itu di tangan Allah (di tangan syariat). Kehendak yang 
paling tinggi itu ada di tangan syariat. Ke sanalah rakyat dan seluruh 
elemen negara itu wajib tunduk. Dalam al-Quran tertulis: “Innama kaan 
kaula al-Mu’minina idza du’u ilallahi wa rasulihi liyahkuma baynahum 
ayyakulu sami’na wa atho’na” (Kami mendengar dan kami taat). Itu 
menunjukan bahwa syariat menempati posisi yang paling tinggi. Begitu 
syariat Islam menyatakan sesuatu, menyuruh sesuatu atau melarang 
sesuatu, mereka tunduk; sami’na wa atho’na. Itu jelas sekali.
Ditegaskan dalam ayat lain, wa ma kaana limu’minin wa la mu’minatin idza
 qodlo allahu wa rasulahu amran ayyakuna lahumul khiyaratu min amrihim. 
Jadi, kalau Allah dan Rasul-NYA sudah menetapkan keputusan hukum, maka 
tidak pantas bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan untuk mencari 
keputusan hukum selain yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-NYA. 
Ini menunjukan bahwa yang memiliki kehendak paling tinggi adalah Allah 
dan Rasul-NYA. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, syariat. 
Karenanya, syariat itu semestinya bukan option (pilihan), tapi 
obligation (kewajiban). Dalam sistem demokrasi di negeri-negeri Muslim 
termasuk Indonesia, syariat itu masih sekedar option, bukan obligation. 
Di situlah kita wajib menolak, bukan pilihan, yang semestinya diterapkan
 sebagai satu-satunya sistem hukum yang mengatur tatanan kehidupan 
masyarakat dan bernegara. Jadi, Khilafah tidak terkait dengan demokrasi.
24. Mungkinkah Khilafah dapat ditegakkan melalui proses demokrasi..?
Jawab: Tergantung. Kalau yang dimaksud adalah harus mempertahankan 
kedaulatan di tangan rakyat sehingga halal-haram, baik-buruk, 
benar-salah, dan terpuji-tercela ditetapkan oleh wakil rakyat, maka 
tidak mungkin khilafah dapat tegak dalam sistem demikian. Tapi, bila 
yang dipegang adalah kekuasaan ada di tangan rakyat baik langsung maupun
 tidak langsung, maka sangat mungkin. Asal rakyat mau dan didukung oleh 
pemilik kekuatan (ahlu quwwah), maka sangat mungkin terjadi.
25. Lalu, arah dakwah seperti apa yang bisa menjadi peluang tegaknya Khilafah; Ishlah atau Taghyir?
Jawab: Untuk menentukan dengan tepat aktifitas dakwah kita, mesti 
memiliah terlebih dahulu sasaran-sasaran dakwah kita. Sasaran dakwah 
dapat dipilih menjadi dua; individu dan masyarakat.
Ketika sasaran dakwah kita individu, maka kita bisa memilahnya lagi 
menjadi dua kelompok, Kafir atau Muslim. Apabila sasaran dakwah kita 
adalah orang kafir, maka kita mesti melakukan aktifitas dakwah yang 
bersifat taghyir (mengubah secara radikal) bukan ishlah (perbaikan yang 
sifatnya parsial). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa asas kehidupan 
orang kafir bukanlah aqidah Islam, dan aqidah selain Islam adalah aqidah
 bathil. Jika aqidahnya bathil, maka seluruh pemikiran cabang maupun 
hukum yang lahir dari aqidah tersebut, bathil pula. Dalam kondisi 
semacam ini, perbaikan yang wajib dilakukan adalah mengganti asas yang 
bathil tersebut dengan asas yang shahih; yaitu aqidah Islam. Lalu, jika 
mereka telah menjadikan aqidah Islamsebagai asas hidupnya, selanjutnya 
kita ajarkan kepada mereka hukum-hukum Islam. Pengajaran ini dilakukan 
agar mereka terikat dengan hukum-hukum Islam, sebagai konsekuensi logis 
dari aqidah Islam yang ia peluk.
Apabila sasaran dakwah adalah orang Muslim, maka kita hanya mengubah 
hal-hal yang cabang atau membersihkan asas – yakni aqidah Islam yang 
pada dasarnya masih melekat erat pada dirinya. Oleh karena itu, 
aktifitas dakwah yang mesti dilakukan bagi orang Muslim haruslah 
bersifat ishlah, bukan taghyir.
Di atas adalah perbaikan individu. Lantas, bagaimana dengan perbaikan 
masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita mesti 
membahas definisi masyarakat. Menurut Syeikh Taqiyyudin an-Nabhany, 
masyarakat adalah: “kumpulan manusia yang di dalamnya terdapat interaksi
 yang bersifat terus menerus”. Interaksi tersebut terjadi karena ada 
kesamaan kepentingan yang ingin mereka raih; baik kepentingan tersebut 
bersifat mendatangkan kemashlahatan, maupun menolak kemudlorotan. Dalam 
menunaikan kepentingannya, manusia berbeda dengan hewan. Hewan tidak 
berjalan pada aturan-aturan tertentu dalam memenuhi kepentingannya. 
Sedangkan manusia selalu berjalan berdasarkan tatacara (kaifiyyah) 
tertentu yang muncul dari mafahimnya tentang kehidupan. Mafahim itu pula
 yang membentuk perasaan-perasaan (masyaa’ir), serta tatacara dalam 
melakukan aktifitas. Selanjutnya berdasarkan mafahim serta 
perasaan-perasaan tersebut manusia mengarungi kehidupan. Dengan begitu, 
terjadilah interaksi antar manusia di atas landasan pemikiran-pemikiran 
(yang membentuk mafahim), perasaan-perasaan, dan aturan yang diterapkan.
 Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan, bahwa unsur pembentuk 
masyarakat ada empat, yaitu: manusia, pemikiran-pemikiran, 
perasaan-perasaan, dan aturan yang diterapkan.
Inilah realitas masyarakat. Atas dasar itu, masyarakat Islam pada masa 
Rasul Saw. adalah masyarakat yang terdiri dari kaum Muslim – yang di 
dalamnya ada ahlu adz-Dzimah, yang dibangun atas landasan aqidah Islam 
dan pemikiran-pemikiran cabang yang lahir dari aqidah Islam, masya’ir 
Islam (perasaan Islam), dan hukum yang berlaku adalah adalah syariat 
Islam; baik yang diterapkan secara individu maupun yang diterapkan 
melalui negara.
Kalau kita cermati secara jernih dan mendalam, maka masyarakat yang 
hidup di bawah naungan Khilafah Islamiyyah yang kurang lebih 12 abad 
lamanya adalah masyarakat yang sama dengan masyarakat pada masa Nabi 
Saw.; yakni, masyarakat Islam. Sebab, masyarakatnya terdiri dari kaum 
Muslim – di dalamnya ada ahlu adz-Dzimmah, landasan kehidupan masyarakat
 adalah aqidah Islam sebagai pemikiran asasi, serta pemikiran-pemikiran 
cabang lain, perasaan mereka adalah perasaan Islami dan hukum yang 
berlaku adalah syariat Islam. Oleh karena itu, jika di dalam masyarakat 
Islam seperti ini terjadi penyimpangan atau keteledoran dalam penerapan 
syariat Islam, maka aktifitas dakwah yang mesti dilakukan adalah dakwah 
yang bersifat ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial). 
Misalnya, ketika Khilafah Islamiyyah melalaikan jihad, maka yang 
dilakukan adalah memberikan nasihat pada Khalifah untuk kembali 
menjadikan jihad sebagai aktifitas utama daulah dalam menyebarkan Islam,
 dan bukan dengan menghancurkan daulah, lalu mendirikan daulah yang 
baru.
Dalam konteks sekarang, ketika masyarakat di mana kita hidup bukanlah 
masyarakat Islam, walaupun mayoritas penduduknya adalah Muslim, maka, 
fokus aktifitas dakwah kita bukanlah ishlah al-Juz’i (perbaikan yang 
sifatnya parsial); akan tetapi haruslah aktifitas taghyir al-Judzri 
(perubahan yang sifatnya menyeluruh). Yakni, mengubah masyarakat yang 
tidak Islami menjadi masyarakat Islam.
26. kalau begitu, bagaimana jalan menuju Khilafah?
Jawab: Melalui jalan dakwah yang ditempuh dengan mengikuti thariqah dakwah Rasulullah Saw, yaitu:
    * Dimulai dengan pembentukan kader yang ber-syakhsiyyah islamiyyah, 
melalui pembinaan intensif (halqah murakkazah) dengan materi dan metode 
tertentu.
    * Pembinaan umat (tatsqif jama’i) untuk terbentuknya pendapat masyarakat (al-Wa’yu al-Amy) tentang Islam.
    * Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh jamaah 
(tanmiyatu jizmi al-Hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum 
dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik
 (al-Quwwatu as-Siyasiya)
    * Penegakan syariah dan khilafah memerlukan kekuatan politik. 
Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memiliki kesadaran politik 
Islam (al-Wa’yu al-Siyasi al-Islamy), yakni kesadaran bahwa kehidupan 
bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariah Islam. Maka 
harus ada upaya penyadaran politik islami masyarakat secara terus 
menerus yang dilakukan oleh kader. Makin banyak kader, makin cepat 
kesadaran terbentuk sehingga kekuatan politik juga makin cepat terwujud.
    * Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah Islam.
    * Di dukung oleh ahlu quwwah (semisal polisi, militer, politisi, 
orang kaya, tokoh masyarakat, dan sebagainya) yang melalui pendekatan 
intensif, setuju mendukung perjuangan syariah dan khilafah. Kekuatan 
politik yang didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan 
terbendung.
    * Rakyat menuntut tegaknya sistem syariah dan kekuasaan Khilafah atau penyatuan ke dalam Khilafah Islamiyyah.
pirated from: 
here