3 Jun 2011

Seperti yang tidak percaya Allah saja!


Yeah! Kata2 itu belakangan ini makin nyaring dan sering saja bergema di ruang antara dua telinga ini.

Mungkin terdengar ekstrem di telinga, tapi sungguh kata2 itu memang muncul di kepala saya saat saya digelitik oleh fakta2 yang 'lucu'.

Let the contemplation begin!

Manusia—meskipun didaulat sebagai makhluk yang menduduki predikat sebaik2 makhluk—secara fitrah memiliki keterbatasan2. Mulai dari kondisi fisik, kondisi mental, maupun dari segi kognitif; itulah mengapa manusia "merasa harus" menggantungkan diri pada 'sesuatu lain' Yang Maha Sempurna dan tidak berkekurangan.

Dari segi kondisi fisik, manusia jelas2 memiliki keterbatasan. Adanya sakit, kematian sebagian sel, dan kematian organ2 manusia secara keseluruhan merupakan tanda2 kelemahan dan keterbatasan manusia.
Dari segi kognitif, manusia terbatasi hanya 3 hal yang dapat dijangkaunya: manusia, alam dan kehidupan. Meskipun ada banyak orang (terutama filusuf) yang secara serampangan mengatakan mereka mampu menjangkau Dzat Allah dengan memikirkanNya.

Dari sisi kondisi mental, secara alami manusia dibekali dengan rasa takut dan putus asa, yang dalam kadar ekstrem—saat manusia tidak sanggup lagi meregulasinya dengan rasionalisasi dan defense lainnya—maka dia akan mengharapkan 'sesuatu' untuk dapat menjawab rasa takut dan menjawab keputusasaannya. Ada anekdot menarik tentang keputusasaan dan kepercayaan pada Allah; dikisahkan dalam suatu penerbangan duduk berdampingan 3 orang: seorang atheis, seorang ustadz, serta seorang pendeta. Di tengah perjalanan, ternyata kapal menghadapi situasi yang berbahaya, hingga para pramugari meminta penumpang untuk mengenakan sabuk pengaman. Setelah beberapa lama, ternyata kapal semakin terjebak pada keadaan darurat hingga sang pilot mengumumkan bahwa kapal yang mereka tumpangi kehilangan kendali, sehingga para penumpang dipersilahkan untuk berdoa. Ustadz tentu saja berdoa dengan bahasa Arab dan sambil beristighfar, Pendeta kemudian terlihat memegangi salibnya dan kemudian mulai berdoa dengan caranya, namun sang atheis kebingungan! Dia celingak-celinguk ketakutan! Saat oranglain berdoa, dia bingung harus melakukan apa! Pada akhirnya sang Atheis pun ikut2an komat-kamit pura2 berdoa seperti yang lainnya.
Aduhai, membahas manusia memang menarik, bukan?! Nanti kita bahas lagi lah tentang manusia di artikel lain.

Kejadian akhir2 ini bagi saya menguji hingga batas "ekstrem" rasa percaya pada Allah (setidaknya bagi saya :p).

Semuanya bermula dari perjumpaan kawan saya dengan masalah yang dia ciptkan sendiri, kemudian saya yang mengetahui ada yang kurang pas antara apa yang "dia lakukan" dengan "yang seharusnya" tidak terlalu banyak mengingatkan, namun cenderung mendiamkan karena kawan saya ini saya nilai sudah tahu harus bagaimana cara menyelesaikannya. Perlahan tapi pasti, masalah yang dihadapi makin membesar layaknya bola salju yang menggelinding (kayak lagu Sule aja. hehe). Hari ke hari, kawan yang punya masalah itu meminta bantuan saya untuk menyelesaikan masalahnya. Saya pun menyanggupinya karena saya pikir saya harus mampu mengeluarkan dia dari masalah ini.

Singkat cerita, lama kelamaan masalah kawan saya ini malah memberatkan otak saya. Saya terlibat terlalu jauh hingga pada akhirnya saya baru sadar bahwa saya menjadi bagian dari masalah ini.

Setiap kali saya berfikir tentang pemecahan masalah, maka kebuntuan yang pada akhirnya saya temui. Dunia anak muda yang katanya menyenangkan dan merupakan kewajaran jika 'sedikit liar' tidak nampak di hari-hari saya. Kemurungan serta putus harapan menjadi penghias dunia saya saat itu.

Pada akhirnya tiba lah saya di titik nadir keputusasaan. Saya memikirkan akan lebih mudah jika saya 'menghilang dengan cepat' dan permanen hingga tidak perlu ada keadaan mengerikan seperti ini lagi di masa depan, karena saya menghapuskan masa depan. Suicide. Entah setan dari comberan mana yang berani membisiki sampai saya terbersit untuk melakukan hal bodoh seperti itu.

Percaya atau tidak, pikiran seperti itu bertahan berhari-hari hingga akhirnya ada yang berbisik di otak saya kata-kata sakti ini: "SEPERTI YANG TIDAK PERCAYA ALLAH SAJA!"

Seperti yang saya jabarkan di atas bahwa mekanisme normal manusia saat menghadapi kebuntuan dan tidak dapat ditolong lagi oleh rasionalisasi dan defense mechanism lainnya adalah dia akan menuju 'Sesuatu' Yang Tidak Terbatasi Kekurangan, namun itu pun jika secara sadar kita mengakui bahwa ada Allah Yang Tidak Terbatasi Kekurangan. Jika memilih tidak mengakui adanya Allah, maka dzat seperti apa yang akan kita mintai pertolongannya??

Hari-hari setelah saya mendapati kata-kata itu, saya menjadi tercerahkan dan mendapati kata baru dalam hidup saya: Ar-Roja!

Mulai hari ini saya berjanji bahwa setiap saya merasa terlalu lelah dan merasa lebih baik "menghilang permanen", maka saya akan senantiasa meneriakkan kalimat ini: "SEPERTI YANG TIDAK PERCAYA ALLAH SAJA!"
Tabik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar