4 Mar 2025

Merayakan


Apa yang sebenarnya manusia rayakan dari pergantian angka? Ada yang potong kue dan meniup lilin. Bertambah usia katanya. Ada yang tiup terompet dan menyulut kembang api. Tahun baru katanya.

Ah, pernahkah sekali saja kita berfikir lebih dalam tentang perayaan-perayaan tersebut?

Manusia memang makhluk penuh dengan simbol. Sebut saja bahasa. Untaian kata yang kita pakai ini adalah dalam rangka mengejawantahkan isi pikiran. Terkadang bahasa sulit untuk mendeskripsikan isi pikiran yang sebenarnya. Rasa sakit misalnya. Perasaan seolah dunia berputar dan bergoyang-goyang dideskripsikan bahasa Indonesia sebagai "pusing". Padahal rasa sesungguhnya belum tentu tepat dengan yang orang tersebut rasakan.

Meskipun bahasa terkadang tidak presisi untuk mendeskripsikan keadaan yang sesungguhnya, kita sebagai manusia tetap membutuhkan bahasa untuk bisa membantu menggambarkan keadaan yang dialami. Karena sekali lagi kita adalah makhluk penuh simbol. 

Lalu, bagaimana dengan perayaan? Bukankah ini juga bentuk simbol? Dengan meniup lilin, apakah artinya seseorang itu ingin mengucapkan selamat datang kepada usia baru? Dengan kembang api, apakah artinya mereka berusaha menyalakan harapan di tahun yang baru? Tetapi, apakah benar makna itu tertuang dalam hati setiap mereka yang merayakan? Atau jangan-jangan hanya sekadar formalitas budaya yang diwariskan? Tanpa sadar?

Manusia kadang lupa bahwa perayaan tidak sama dengan pesta, tetapi adalah tentang kesadaran dan refleksi. Bukan tentang terompet dan kue, tetapi tentang renungan—tentang perjalanan waktu yang sudah dilalui dan arah tujuan yang akan dituju. 

Hal-hal kecil—yang sesungguhnya besar—apakah tidak pantas untuk 'dirayakan'? Seperti saat pagi datang dan oksigen masih mengalir ke paru-paru kita, atau kebahagiaan sederhana saat menyelesaikan tugas yang lama tertunda. Bukankah setiap detik yang berlalu sebenarnya layak 'dirayakan'? Lantas, mengapa manusia menjadikan patokan tahun atau momen tertentu saja untuk di-simbolisasi?

Karena pada akhirnya, merayakan bukan tentang riuhnya suasana. Tetapi tentang bagaimana hati kita benar-benar hadir dalam setiap momen. Menghargai setiap tarikan napas, menyambut setiap kesempatan, dan menerima setiap perubahan dengan lapang dada. Seperti doa yang terbisik lirih di sela malam yang tenang. Bukankah selembut itu seharusnya perayaan kita pada hidup?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar