29 Apr 2014

お父さん

 Tidak begitu jelas saya ingat, tapi jika tidak salah saat itu hari Ahad. Hari saya biasa pulang ke kampuang halaman yang hanya berjarak 1,5 atau maksimal 2 jam perjalanan dari "perantauan" saya. Bukan jarak yang jauh untuk dikatakan sebagai perantauan memang. Tapi agenda-agenda di kota 'perantauan' yang menahan untuk bertatap dengan orang rumahlah yang membuat jarak 2 jam perjalanan terasa lebih jauh. Meski bukan masalah besar karena teknologi selalu membuat saya bisa sering pulang. Adakalanya hingga dua-tiga kali sepekan. Hebat, ya?

Ah, saya hampir saja lupa menceritakan tentang hari Ahad itu. Iya, hari itu seperti hari Ahad lain, hari bertemu orang hebat dalam hidup saya: orangtua. Kenapa dikatakan hebat? Karena mereka mampu membuat saya hidup hingga saya bisa bertemu kalian melalui tulisan yang entah apa ini. hehe

Lalu apa spesialnya hari Ahad itu hingga saya merasa perlu menuliskannya? Sabar.. Sabar..


Pagi-pagi saat sedang bersatai bersama ayah saya ditemani kotak elektronik--yang katanya bernama tv--secara tiba-tiba ayah saya berbicara dengan nada serius. 
"Dek," begitu saya--yang dilahirkan urutan kedua--biasa dipanggil "Ayah bukannya larang untuk berorganisasi dan berpemahaman Islam, tapi ayah lihat gerakan yang ade dan kakak ikuti itu adalah gerakan yang menantang negara. Jaman Ayah masih kuliah dulu juga ada gerakan mirip. Ayah ingat betul perlakuan pemerintah saat itu terhadap mereka."
Pembicaraan serius yang tiba-tiba itu membuat saya mengubah cara duduk saya yang tadinya santai jadi sedikit tegap. Terbawa suasana. Beliau kemudian melanjutkan bicaranya dengan suara agak terbata-bata.
"Setiap gerakan yang menentang negara, pasti akan dimatikan dengan berbagai cara. Kebanyakan dari mereka ditangkap, atau minimal di-blacklist. Ayah khawatir ade-kakak alami itu."
Saya lihat ayah saya agak mengusapkan tangan tepat di depan bagian matanya. Saya semakin duduk tegak. Seingat saya baru pertama kali beliau mengajak bicara hingga suasananya seperti ini.
"Di masa depan, in syaa Allah adek dan kakak akan berkeluarga, memiliki putera, dan berkehidupan sepertihalnya ayah sekarang. Ayah cuma minta, tolong jangan terlalu ada di bagian 'depan'. Ayah gak mau nasib kehidupan anak-anak ayah kondisinya tertekan dan tidak baik."
Kalian tahu apa yang bisa saya lakukan saat itu? Cuma diam dan kemudian mendekat beliau. Awalnya saya hendak merespon barang satu kata, namun pada akhirnya saat itu saya lebih memilih untuk jadi pendengar saja. "Ingin mendengar kekhawatiran ayah", pikir saya. Iya, dari lontaran-lontaran kalimat yang beliau sampaikan, saya menyimpulkan itu bentuk kekhawatiran seorang ayah pada anaknya. Tidak lebih dari itu.

Namun beberapa waktu setelah itu ada kecamuk fikiran yang hadir menari di kepala. Sempat terfikirkan apakah ini memang tanda untuk agak "mengatur posisi kuda-kuda"? Terlalu berada di depan kah saya (kami)?

Pikiran aneh itu saya biarkan berlalu-lalang sampai mengendap. Hingga satu waktu, saya membaca Kekasih-kekasih Allah dan teringat kembali. Membaca buku tersebut mengingatkan saya pada kisah para Sahabat Rasul saw.; generasi terbaik Kaum Muslim. Hidup mereka bukanlah kehidupan yang mudah, namun... Maa syaa Allah, indahnya perjuangan yang mereka lalui.

to be continued~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar