Secara umum ghibah memang diharamkan dalam Islam, dalilnya adalah: 
- “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al Hujuraat[49]: 12)
 - “Ketika saya di Mi’rajkan saya telah melihat suatu kaum yang berkuku tembaga digunakan untuk mencakar muka dan dada mereka sendiri, maka saya bertanya kepada Jibril: Siapakah mereka itu? Jawabnya: Mereka yang makan daging orang dan mencela kehormatan orang (yakni Ghibah)” (H.R Abu Dawud dari Anas ra.)
 - “Barang siapa mencegah ghibah yang menyinggung kehormatan saudaranya, maka Allah akan membebaskannya dari neraka” (H.R Imam Ahmad)
 - “Barang siapa mencegah ghibah yang dilakukan oleh saudaranya, maka Allah akan mencegahnya dari neraka pada hari kiamat” (H.R At Tirmidzi)
 
Namun ternyata ada beberapa pengecualian. Berikut ini enam sebab (kondisi) dibolehkannya ghibah:
1.)  Mengadukan kezaliman orang kepada hakim (qadli),  penguasa (khalifah) atau siapa saja yang  mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan  mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”
2.)  Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan  pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan:  “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan  itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi  menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka  hukumnya tetap haram.
3.) Meminta fatwa. Seperti dengan  mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.”  atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.”  Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan  mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan  perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”
4.)  Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam  rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan  saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin,  bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.
5.)  Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam  melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan  khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat  kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya  tersebut dan bukan yang lainnya.
6.) Untuk memperkenalkan jati  diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer  dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma  (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila  diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada  ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang  lebih utama (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh  Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah)
Dalil-dalil diperbolehkannya ghibah semacam itu:
Imam Nawawi menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:
Imam Nawawi menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:
1.  Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang  lelaki yang meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Maka beliau bersabda:
ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ
“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)
Imam  Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan  bolehnya mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.
2. Dari ‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِين
“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari) Laits bin Sa’ad salah seorang perawi hadits ini berkata: “Kedua orang ini termasuk kalangan orang munafiq.”
3.  Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Aku  mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku katakan:
إَنَّ  أَبَا جَهْمٍ و مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا  مَالَ لَهُ أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ (متفق عليه).  وفى رواية لمسلم: “وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ”  وهو تفسير لرواية: ” فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ”. وقيل معناه  كثير الأسفار
“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah  melamarku maka bagaimana?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia itu miskin tidak berharta. Sedangkan  Abul Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari  pundaknya.” (Muttafaq ‘alaih). 
Dalam  riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun Abul Jahm adalah lelaki yang sering  memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran dari ungkapan, “tidak pernah  meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa  maksud ungkapan itu adalah: orang yang banyak bepergian.
4. Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
خرجنا  مع رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم في سفر أصاب الناس  فيه شدة فقال عبد اللَّه بن أبي: لا تنفقوا على من عند رَسُول اللَّهِ حتى  ينفضوا، وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل، فأتيت  رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فأخبرته بذلك، فأرسل إلى  عبد اللَّه بن أبي فاجتهد يمينه ما فعل، فقالوا: كذب زيد رَسُول اللَّهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فوقع في نفسي مما قالوه شدة حتى أنزل  اللَّه تعالى تصديقي (إذا جاءك المنافقون:) المنافقين
 (ثم دعاهم النبي  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ليستغفر لهم فلووا رؤوسهم (مُتَّفَقٌ  عَلَيْهِ)
Kami pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wa sallam menempuh suatu perjalanan. Pada saat itu orang-orang  mengalami kondisi yang menyulitkan, maka Abdullah bin Ubay berkata:  “Janganlah kalian berinfak membantu orang-orang yang ada di sisi  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka mau bubar.” Dia  juga mengatakan, “Seandainya kita pulang ke Madinah, maka orang-orang  yang kuat akan mengusir yang lemah.” Maka aku pun menemui Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu kepada beliau.  Kemudian beliau pun mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada  Abdullah bin Ubay.
Maka dia justru berani bersumpah dengan serius  kalau dia tidak pernah mengatakannya, maka mereka pun mengatakan, “Zaid  telah berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka  ucapan mereka itu membuatku diriku susah dan tersakiti sampai akhirnya  Allah menurunkan firman-Nya untuk membuktikan kejujuranku, “Apabila  orang-orang munafiq datang kepadamu.” (QS. Al-Munafiquun: 1) Kemudian  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka supaya meminta  beliau berdoa memintakan ampun bagi mereka akan tetapi mereka justru  memalingkan kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)
5. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم، قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hindun  isteri Abu Sufyan mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,  “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang pelit, dia tidak  memberikanku sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku  kecuali yang sengaja kuambil sendiri darinya dalam keadaan dia tidak  tahu, lantas bagaimana?.” Beliau bersabda, “Ambilah sebanyak yang bisa  mencukupimu dan anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘alaihi) (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/100 dan 104)
wallahu'alam.. 
re-arranged from: Mriki (di sini) 





