monologofmonochrome
a blog that can make you angry, enlightened, or anything else.
10 Apr 2025
Why You?
4 Mar 2025
Merayakan
Apa yang sebenarnya manusia rayakan dari pergantian angka? Ada yang potong kue dan meniup lilin. Bertambah usia katanya. Ada yang tiup terompet dan menyulut kembang api. Tahun baru katanya.
Ah, pernahkah sekali saja kita berfikir lebih dalam tentang perayaan-perayaan tersebut?
Manusia memang makhluk penuh dengan simbol. Sebut saja bahasa. Untaian kata yang kita pakai ini adalah dalam rangka mengejawantahkan isi pikiran. Terkadang bahasa sulit untuk mendeskripsikan isi pikiran yang sebenarnya. Rasa sakit misalnya. Perasaan seolah dunia berputar dan bergoyang-goyang dideskripsikan bahasa Indonesia sebagai "pusing". Padahal rasa sesungguhnya belum tentu tepat dengan yang orang tersebut rasakan.
Meskipun bahasa terkadang tidak presisi untuk mendeskripsikan keadaan yang sesungguhnya, kita sebagai manusia tetap membutuhkan bahasa untuk bisa membantu menggambarkan keadaan yang dialami. Karena sekali lagi kita adalah makhluk penuh simbol.
Lalu, bagaimana dengan perayaan? Bukankah ini juga bentuk simbol? Dengan meniup lilin, apakah artinya seseorang itu ingin mengucapkan selamat datang kepada usia baru? Dengan kembang api, apakah artinya mereka berusaha menyalakan harapan di tahun yang baru? Tetapi, apakah benar makna itu tertuang dalam hati setiap mereka yang merayakan? Atau jangan-jangan hanya sekadar formalitas budaya yang diwariskan? Tanpa sadar?
Manusia kadang lupa bahwa perayaan tidak sama dengan pesta, tetapi adalah tentang kesadaran dan refleksi. Bukan tentang terompet dan kue, tetapi tentang renungan—tentang perjalanan waktu yang sudah dilalui dan arah tujuan yang akan dituju.
Hal-hal kecil—yang sesungguhnya besar—apakah tidak pantas untuk 'dirayakan'? Seperti saat pagi datang dan oksigen masih mengalir ke paru-paru kita, atau kebahagiaan sederhana saat menyelesaikan tugas yang lama tertunda. Bukankah setiap detik yang berlalu sebenarnya layak 'dirayakan'? Lantas, mengapa manusia menjadikan patokan tahun atau momen tertentu saja untuk di-simbolisasi?
Karena pada akhirnya, merayakan bukan tentang riuhnya suasana. Tetapi tentang bagaimana hati kita benar-benar hadir dalam setiap momen. Menghargai setiap tarikan napas, menyambut setiap kesempatan, dan menerima setiap perubahan dengan lapang dada. Seperti doa yang terbisik lirih di sela malam yang tenang. Bukankah selembut itu seharusnya perayaan kita pada hidup?
23 Sep 2024
"Kutukan" Informasi
Informasi--disadari ataupun tidak--akan menjadi bekal bagi kita untuk menilai. Lebih dari menilai, kita akan menentukan bagaimana sikap dan perilaku yang muncul dari informasi yang dimiliki. Orang yang kita mendapatkan informasi tentangnya bahwa dia adalah orang jahat, maka akan kita sikapi dan perlakukan sebagai orang jahat. Begitu pula sebaliknya jika kita mendapat informasi tentang orang baik.
Sebegitu pentingnya informasi, itulah mengapa dis-informasi (fitnah dan hoax) dinilai sebagai perbuatan buruk. Begitu pentingnya informasi, sampai penyampaian informasi yang benar (pun jika infonya benar) dilarang untuk disampaikan karena terkategori sebagai perbuatan ghibah.
Menjadi orang yang dipercaya mendengar dan terlibat dalam peristiwa dengan kategori informasi privat bukanlah hal yang mudah. Anda akan perlu pandai-pandai memosisikan diri sebagai orang yang mengetahui info privat tersebut. Akan ada kondisi dimana anda berfikiran "iya, saya sudah pernah dengar info ini", atau bahkan "yang anda tahu (tentang keburukan) itu belum semuanya. Saya tahu dia lebih parah dari yang anda ceritakan!"
Anda akan terjebak dalam lingkaran dillema, penyampaian yang menyeluruh tentang keadaan yang anda ketahui vs menjaga informasi yang anda tahu itu tidak layak untuk dikonsumsi untuk halayak. Pada akhirnya anda akan perlu memilihkan posisi mana yang anda akan ambil.
'Ala kulli hal, posisi mana pun yang akan dipilih, sebijak-bijaknya manusia adalah yang paham di konteks mana dia perlu untuk ada di posisi mana.
“Cukup seseorang dikatakan dusta, jika ia menceritakan segala apa yang ia dengar.” (HR. Muslim no. 5)
Mimpi dan Kinerja Otak
- Kerja otak kita sebenarnya mampu untuk menayangkan kejadian, meng-generate-gambar, dan mengolah rasa sangat cepat. Buktinya adalah saat mimpi kita mampu melakukan itu. Hal berbeda terjadi ketika kita ada dalam keadaan tidak tidur (baca: sadar). Pikiran kita dibatasi dengan kecepatan tertentu. Kenapa dibatasi? Nampaknya memang secara sengaja otak kita memang dibatasi kecepatannya. Saya bayangkan keterbatasan ini justru menjaga manusia agar tetap waras dan berhubungan dengan realitas.
- Kalaulah pikiran kita mampu untuk sebegitu cepatnya, maka bukan hal aneh ketika Allah menyampaikan mampu menghisab kita dengan cepat.
7 Okt 2021
Lelah Bertanya Lelah
Hari ini 27 September 2021 adalah kesekian kalinya saya merasakan Lelah yang tidak biasa. Lelah yang berujung pada asa yang terputus. Merasa tidak berdaya dan di ujung usaha. Serasa daya tak lagi bisa diperas karena tak ada lagi sisa.
Jika dipermisalkan sebagai jalan, saya merasa bahwa berada di jalan
buntu. Tembok besar menjulang yang tak ditemukan pintu. Sayangnya saat menoleh
untuk berbalik, jalan yang sudah dilalu tak ada lagi tersisa. Hanya gelap yang
terindera.
Ingin rasanya teriak meminta tolong, tapi siapa yang akan meminjamkan
tangan untuk memecah semua kebuntuan ini? Saya tahu masih ada Tuhan semesta
alam yang terus memantau, tapi saya tahu bantuan akan diberikan pada yang layak
untuk diberikan. Dia pun berfirman bahwa yang tidak berpangku tanganlah yang
akan diulurkan bantuan. Sedangkan saya? Saya merasa sudah menghabiskan seluruh
kekuatan untuk hantaman. Alih-alih minta tolong, saya hanya terdengar seperti
anjing tenggelam yang melolong.
Saya tak memungkiri ada kekasih hati yang selalu menemani. Tak kenal Lelah
menyemangati dengan lantunan kata indah dengan hati penuh terisi. Tapi saya adalah empunya jalan,
bagaimana mungkin tega menimpanya dengan tambahan beban. Menyeretnya sebagai
teman dalam jalan berliku saja membuat saya merasa merasa malu.
Untuk diri saya yang entah akan dalam kondisi bagaimana anda pada saat
membaca tulisan ini lagi, beginilah anda ketika ada ditanggal 27 ini. Saya tak
mampu membayangkan apa lagi upaya yang anda lakukan setelah menulis tulisan ini
untuk diri sendiri. Saya hanya berharap anda baik-baik saja.
Ah, apa ini yang Namanya penyesalan? Tidak! Saya tidak menyesal karena
saya pernah menjalani ini, tapi saya hanya menyesal kenapa banyak kesempatan
yang pernah saya sia-siakan. Duh, manusia memang penuh dengan keluh kesah.
Harusnya saya berkeluh pada Pencipta saya, namun lagi-lagi saya banyak
melewaatkan kesempatan itu.
Saya menjuluki diri dengan gelar Mumtaz. Sebuah doa agar saya
benar-benar menjadi seorang yang cerdas, cerdik, tak kehilangan akal saat
berhadapan dengan tantangan. Itu doanya, namun kadang saya berfikir apakah saya
terlalu tinggi mendoakan diri?
Hal lain yang ada di fikiran saya adalah apakah saya terlalu tinggi
menyimpan impian dan cita-cita dan tidak melihat kapasitas diri? Over-expectation,
kira-kira itukah kata yang tepat? Apa kapasitas yang saya kira itu adalah
kapasitas saya sebenarnya hanya cita-cita yang tidak mungkin dicapai?
Apakah saya sebenarnya sedang berusaha menerjang bidang yang sebenarnya
saya bukan di situ tempatnya? Ikan yang sedang keluar dari air dan memaksa
bertahan hidup di dalamnya—itukah saya sekarang?
Saya saat ini tidak tahu. Saya hanya bertanya pada tuts keyboard di
laptop yang bukan milik saya ini, dan juga pada anda yang saat ini membaca
tulisan saya. Entah ada jawaban atau anda pun tidak tahu sama sekali?
Baiklah, lagipula saya (mungkin) tidak perlu jawaban.
31 Jan 2021
Oh~ Pen...
Semalam aku harusnya memulai menulis.
Thesis yang telah ditunggu anak keduaku belum juga rampung.
Padahal semester yang sudah mengejar untuk dibayar, tak bisa ditawar.
Oh.. Pendidikan~
Namanya sekolah tinggi.
Dulu aku penasaran apanya yang tinggi?
Ternyata bayarannya.
Oh.. Penagihan~
Sejak SMA aku dikabari mahasiswa ilmunya tinggi.
Aku pun percaya. Mereka terlihat mempesona.
Teriak lantang di podium, lanjutkan rezim zhalim katanya sambil bakar ban.
Oh.. Itu pendidikan~?
Isi kepala diakomodir, dibimbing sampai berhasil katanya.
Tapi terlihat jelas mereka bawa alat pemangkas.
Lucunya, mimbar tarung fikir malah jadi sarung fakir.
Oh.. Pendudukan~
Aku harus akhiri kegiatan eh kegilaan ini.
"Kemerdekaan haqiqi yang kamu cari bukan di sini." Dia yang ternyata aku sendiri, membisiki fikir.
Ini hanya satu sungai yang mengantarkan pada samudera semesta. Aku harus bersegera.
Oh.. Pendakian~
1 Nov 2020
Menulis Untuk (si)apa?
Kalian pernah bertanya-tanya gak sih tentang tulisan-tulisan saya di blog ini? Kenapa saya buat tulisan-tulisan di sini? Untuk senjata pemikat kah? Dalam rangka apa saya nulis di blog ini? Dalam rangka memperingati hari kerupuk-kulit internasional kah? Hari encok sedunia kah? Hal yang paling mendasar adalah: kenapa dibuat blog ini? Kenapa dinamai "monologofmonochrome", bukan misalkan pakai nama saya sendiri sepertihalnya yang dibuat oranglain, atau apalah yang bisa diingat.
Saya ingat dahulu ketika pertama kali membuat blog ini saya justru bingung dengan konten apa yang hendak saya tulis. akhirnya saya isi dengan sapaan umum. entah untuk siapa. hehe. Saya memang tidak menyengaja untuk menyapa siapapun secara khusus.