27 Sep 2016

Belajar

Bagi sebagian orang menganggap bahwa belajar artinya duduk di dalam kelas, dengan baju seragam, diabsen tiap pagi, serta menggunakan bangku kayu yang kalau kau duduk lama di situ niscaya pantat mu kesemutan. Hehehe

Bukan begitu, saudara. Belajar bukan hanya ada di dalam kelas. Tak melulu mesti ada guru yang berseru. Pelajaran itu tersebar di seluruh bumi Allah. Berserak di jalanan. Tersebar di seluruh penjuru mata angin.

Suatu waktu mungkin kau melihat ada anak belajar bersepeda. Jatuh dia berkali kali, tapi tak ada terpikir untuk berhenti. Darinya kau bisa belajar untuk terus keras kepala jika memang perlu.

Di hari lain kau bertemu anak ingusan yang tak henti untuk menjelajah. Lihat betapa dia bersemangat untuk mengamati (dengan caranya sendiri tentu saja) hal baru yang dia belum ketahui. Belajarlah darinya bahwa belajar hal baru itu menyenangkan. Tentu saja harusnya kita juga bersemangat saat belajar hal baru; hal yang kadang mungkin kita lupa.

Pada satu kesempatan, menyengajalah mengamati tukang becak yang tidur di becaknya. Kau akan dapati pelajaran bahwa nikmat nya tidur tidak selalu berbanding lurus dengan seberapa empuk & luasnya tempat tidur.

Ah... Kau lihat kan betapa banyak hal yang bisa kita pelajari? Bukan hanya di dalam kelas, tapi juga di luar kelas. Jauh dari kata formal, dipimpin oleh banyak "guru", dengan jumlah pelajaran yang sulit dihitung jumlahnya.

Jadi mulai dari sekarang, belajarlah di manapun. Dari hal apapun. Pada siapapun. 
Mari belajar.. :-)

Nb: namun yang perlu diingat, wahai saudara, bahwa memang ada pelajaran-pelajaran khusus dengan ilmu khusus, memang yang harus kita belajar di waktu khusus. Tentu dengan guru khusus pula. Tak bisa sembarang mengambil guru dan mengambil waktu. 
read more

23 Agu 2016

Nasihat

Dari Abu Ruqayah Tamim bin Aus Ad Daary sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Agama itu nasehat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, KitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin dan umumnya mereka” (HR. Bukhari, Muslim)

Dengar lah nasihat. Jangan pernah bosan mendengar nasihat, Hatta anda sudah pernah mendengarnya berulang kali. Baik dari orang yang sama atau pun orang yang berbeda. Diulang puluhan kali, atau pun ratusan kali.

Jangan pernah menyela saat anda dinasihati, apalagi mencela orang yang memberi nasihat.

Tidak usah menunjukkan tingkah sudah tahu saat dinasihati, Apalagi berkata "iya saya sudah tahu" atau perkataan semisal.

Nasihat itu bukti perhatian. Nasihat itu wujud sayang.

Tatap lah mata orang yang memberi nasihat. Anda akan temukan binar sayang yang meneduhkan. Ia tak ingin anda celaka. Dia tak ingin anda rasa derita.

Jika diberi nasihat tentang hal yang anda tidak tahu maka anda akan dapat 2 kebaikan: dilimpahi rasa sayang pemberi nasihat, dan mendapatkan ilmu yang anda belum tahu.

Jika diberi nasihat tentang hal yang anda sudah tahu, maka anda pun akan dapatkan 2 kebaikan: dihujani rasa sayang pemberi nasihat, dan mendengar kembali untaian kalimat penuh kebaikan.

Satu hal lagi. Terkadang seseorang enggan menyampaikan nasihat nya karena 'khawatir' tak diterima nasihat nya, maka sering lah bertanya & meminta nasihat dari orang2 terdekat. Iya, yang paling tahu keburukan-keburukan mu. Karena mereka lah cermin di hidup.

*hai.. sudah lama tidak posting di blog ini..
read more

16 Agu 2015

Menikah Adalah....

Bagi sebagian orang menikah hanyalah soal tentang memilih dan mencari orang yang disukai, menyukai dirinya, dan elok parasnya. Sebagian besar dari mereka lupa bahwa suka bisa berubah menjadi tidak suka. Sebagian mereka juga lupa eloknya paras bisa terkelupas. Karena waktu bisa membalikkan keadaan yang tadinya siang menjadi malam, benderang menjadi temaram.

Sebagian lainnya yang menganggap menikah hanyalah soal menggugurkan status lajang menjadi berpasang. Tak mau 'terhina' olok-olok orang karena menganggap paras tak elok sehingga tak kunjung berdua. Sebagian besar mereka lupa bahwa belum berdua bukan hal yang hina. Mereka juga lupa bahwa berdua tidak selalu menghantarkan pada hal yang mulia. Mereka lupa  ada ulama besar yang membujang hingga ajal menjelang.

Ada juga sebagian menganggap bahwa menikah hanyalah soal pemuas birahi. Mencukupkan diri dengan menunjuk tanpa peduli asalkan mampu memuaskan dahaga diri. Sebagian besar mereka lupa bahwa dahaga ada batasnya. Mencukupkan pilihan dengan yang bisa memuaskan dahaga birahi akan mengantarkan pada keinginan 'tak terbatas' hingga pada akhirnya kita akan sadar bahwa ini bukanlah yang kita ingini; bosan.

Ah, ijinkan lah saya tuangkan gelisah saya tentang menikah yang (mungkin) banyak diantara kalian menaruh syak atasnya.

Menikah adalah mengajak berkumpul senantiasa dalam kebaikan. Menjaga pasangan agar terus taat pada pemilik nyawa. Memberikan makanan dan pakaian di jalan taqwa.

Menikah adalah tentang investasi masa depan. Memilih orang untuk bertarung dengan kehidupan di hadapan, jadi pilihlah mereka yang kau lihat akan membuatmu lebih tangguh, bukan yang sering mengeluh.

Menikah adalah tentang investasi masa depan. Mencari orang yang mampu memahami bahwa kita semua akan mati, sehingga harus  dicetak generasi hebat yang mampu bertarung dengan maksiat yang terus datang menghantu, bukan yang sering bergerutu.

Bagi wanita menikah adalah mencari guru. Menentukan pilihan pada yang luas ilmu, mengajarkan dengan keteladanan, kesabaran, agar sifat bengkok yang disemat tidak senantiasa condong pada maksiat.

Bagi lelaki menikah adalah mencari guru. Menetapkan hati pada yang berkapasitas utama sebagai pengajar di madrasah pertama bagi generasi selanjutnya.

Menikah adalah investasi masa depan. Mencetak generasi gemilang untuk peradaban, memastikan mereka berkontribusi bagi kaum muslimin dan menjadi bagian dari  kalangan shaalihiin.
read more

13 Jul 2014

A Letter For My Son(s)

Anak ku, jika nanti abah pergi dipanggil lebih dahulu daripada kalian, jangan sampai terlintas sekalipun dalam pikiran kalian, rasa khawatir berkehidupan yang sempit.

Ingatlah selalu oleh kalian bahwa yang melapangkan dan menyempitkan penghidupan bukanlah abah. ALlah-lah yang berhak dan memiliki kekuatan untuk memberi atau menahan rizqi, ALlah-lah yang meninggikan dan merendahkan derajat seseorang, ALlah lah yang memberi & mencabut rasa aman dalam dada, ALlah lah yang memiliki hak untuk memancangkan dan melemahkan keteguhan keyakinan, ALlah lah yang memiliki kekuatan untuk mematikan dan menghidupkan makhluk. Iya, cuma ALlah yang punya semua itu, bukan makhluk, termasuk abah.

Karenanya wahai cucu Khalid bin Walid, jangan takut celaan orang yang suka mencela, jangan mundur karena ancaman yang orang berikan, jangan menjadi peragu seandainya seisi semesta mengatakan tidak sedangkan ALlah mengatakan HARUS & PASTI BISA.

Kau tahu tentang sosok Khadijah ra.? Jika engkau dari kalangannya, semampu mu, berusahalah menjadi seperti dirinya: menjadi manusia yang percaya meski banyak orang mendustakan.

Anakku, ikat-eratlah dalam ingatan tentang sabda Rasul saw yang mulia bahwa kelak di penghujung zaman akan ada segolongan manusia yang diasingkan dari kebanyakan orang. Terjauhkan dari keumuman, disingkirkan dari kebanyakan orang. Kau tahu mereka dipanggil apa? Mereka disebut sebagai "al ghurabaa", orang yang terasing.

Mereka memegang islam sepertihalnya memegang bara api. Kamu pasti tau bagaimana rasanya api, nak. Panas dan membuat kulit melepuh. Namun mereka tetap pegang bara islam itu. Kenapa? Karena itu adalah sebuah kemestian, nak. Iya, kemestian sebagai makhlukNya. Supaya kita tidak dicap sebagai bajingan pembangkang Rabb pencipta alam semesta.

Nak, wahai pengagum sosok mush’ab bin umair. Engkau boleh saja tumbuh menjadi anak ‘bengal’, tapi dengarkan abah, bahwa kita ini adalah manusia yang dipuji oleh ALlah di kalam-Nya sebagai “ummat terbaik” di antara kalangan manusia lain di dunia. Hanya saja ada syarat yang mau tidak mau kita harus ambil, yaitu menjadi orang yang melakukan ‘amr ma’ruf nahyi munkar. Karenanya ambillah jalan kemulian itu, dan jadikanlah dirimu sosok manusia yang dikenang karena kebaikannya seperti mush’ab bin umair.

Duhai anakku, pewaris ketegasan Ummar bin Al-khaththab. Abah belum tahu tatanan hidup masyarakat seperti apa yang akan engkau hadapi. Sudahkah hadir seorang Khalifah di tengah-tengah ummat saat kau membaca tulisan ini? Ah, sudah atau pun belum abah ingin kau bertumbuh menjadi sosok tegas sepertihalnya ummar. Tidak melakukan kompromi dengan kebathilan apapun taruhannya. Tegakkanlah kepalamu saat engkau berada di sisi kebenaran. Namun tertunduk dan menangislah jika engkau melakukan kesalahan dan bertaubatlah.

Terakhir, wahai darah-daging ku, jadilah engkau penolong Diin yang tinggi ini. Berkawanlah dengan orang-orang shalih. Kelak, jadikanlah Hizqi Hajjaaj ‘Alwaan salah seorang di antara sahabat dekatmu, yang kalian saling menjaga dalam kebaikan. Berdua dengannya, jadilah sepertihalnya Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudair dari kalangan kaum Anshar: orang-orang yang bertaruh kepala demi kemenangan dakwah Islam.

Dari (orang yang akan menjadi) abah mu,
@dhanialmumtaz
*selesai ditulis pada 6 ramadhan 1435 H/ 04 Juli 2014
read more

29 Apr 2014

Memories

Mendadak saya ingin menulis. Iya, sekedar menuliskan apa yang tadi tiba-tiba melompat-lompat di kepala sore tadi saat di atas motor. Seperti biasa, mungkin bukan hal yang penting untuk dituliskan, tapi tetap saja saya tuliskan. Ya.. Namanya juga blog suka-suka saya. hehe

Sore ini hujan turun lebat. Tidak lama memang, bahkan tidak lebih dari jarak separuh perjalanan saya dari kosan menuju daerah kampus. Selepas melepas dahaga rerumputan, hujan mulai menghilang bersama dengan gumpalan awan. Saya tetap meneruskan perjalananan dengan keadaan basah kuyup.

Di kecepatan sekitar 60 km/jam saya tiba-tiba merasakan suasana yang serasa tidak asing: mendung di sore hari dengan matahari yang hendak tenggelam. Tiba-tiba rasa rindu menyergap. Iya, rindu. Jangan lempar pertanyaan: "pada siapa", karena saya merindu suasana, bukan "hanya" pada orang-orang yang ada di sana.

Semasa usia 3 bulan hingga 13 tahun, saya dibesarkan di kota (yang dahulunya) kecil. Bukan tempat kelahiran memang, namun penuh dengan kenangan. Di kota kecil itu saya tinggal di komplek yang tidak begitu besar dengan hamparan lapang yang luas. Tempat kami semua, anak komplek Bumi Asih, menghabiskan energi dengan bermain bola. Tentu tanpa alas kaki.

Kami bermain nyaris tanpa ada jeda hari di setiap sore, termasuk di hari itu; hari saat hujan lebat turun sesaat. Bak pejalan kaki yang menemukan oase di gurun Sahara, kami menghambur ke lapang yang digenangi air di bagian tengahnya. Wangi rerumputan diterpa angin agak kencang mengantarkan hingga sampai di indera penghindu. Sejurus kemudian pandangan saya tertuju ke arah langit sore yang masih disesaki awan hitam sambil ditemani matahari. Tak lama dari itu, saya pun berteriak "aaaaa!!" pertanda rasa senang tidak terkira karena kami akan bermain bola dengan keadaan lapangan basah sambil kotor-kotoran: kebahagiaan sederhana yang hampir semua anak kecil biasa rasakan.

Hujan lebat sesaat di sore hari dengan matahari yang hendak tenggelam dan harum tanah yang menerpa indra penghindu itulah yang menghantarkan pada rasa rindu tak terkira pada rasa senang saat itu, pada kota tempat saya bermain bola, dan pada semua suasana saat itu.

Pernahkah kalian merindu seperti itu? Mungkin pernah. Bukan! Bukan merindu pada orang belaka, namun pada keadaan dan suasana.

Lebih dari itu, mampukah kita membuat orang lain merasa rindu dengan keadaan yang kita ciptakan? Mampukah kita memaksa orang lain mengatakan 'tanpa sadar': "rindu saat bersama fulan", "rindu ditegur fulan saat saya hampir berbuat maksiyat", "rindu saat ber-halqah dengan fulan".

Iya, saya sedang bertanya pada diri sendiri. Bisakah membuat orang merasa rindu dengan hadirnya saya? Bisakah membuat orang merasa rindu dengan peringatan yang saya berikan? Bisakah membuat orang merasa rindu dengan per-halqah-an yang saya pimpin?

Entahlah~

                                                                                                 
Ditulis saat rasa rindu pada kota Serang Banten memenuhi kepala.
read more

お父さん

 Tidak begitu jelas saya ingat, tapi jika tidak salah saat itu hari Ahad. Hari saya biasa pulang ke kampuang halaman yang hanya berjarak 1,5 atau maksimal 2 jam perjalanan dari "perantauan" saya. Bukan jarak yang jauh untuk dikatakan sebagai perantauan memang. Tapi agenda-agenda di kota 'perantauan' yang menahan untuk bertatap dengan orang rumahlah yang membuat jarak 2 jam perjalanan terasa lebih jauh. Meski bukan masalah besar karena teknologi selalu membuat saya bisa sering pulang. Adakalanya hingga dua-tiga kali sepekan. Hebat, ya?

Ah, saya hampir saja lupa menceritakan tentang hari Ahad itu. Iya, hari itu seperti hari Ahad lain, hari bertemu orang hebat dalam hidup saya: orangtua. Kenapa dikatakan hebat? Karena mereka mampu membuat saya hidup hingga saya bisa bertemu kalian melalui tulisan yang entah apa ini. hehe

Lalu apa spesialnya hari Ahad itu hingga saya merasa perlu menuliskannya? Sabar.. Sabar..

read more

8 Jan 2014

Nyali

Banyak yang bertanya kenapa saya belum mengambil langkah begini, kenapa saya belum begitu; kenapa masih begini, tidak begitu. Selain itu biasanya mereka menyandingkan pertanyaan "kenapa" tadi dengan "padahal". Kurang lebih redaksinya begini "kenapa belum begitu padahal kamu kan bla bla bla"; "Kenapa masih begini padahal kau bla bla bla".

Dari penyandingan kata "kenapa" dan "padahal" itu, saya menyimpulkan beberapa hal. Pertama, orang lain mempunyai ekspektasi tinggi pada saya. Mereka melihat saya bisa mencapai pencapaian yang lebih dari yang saya capai sekarang. Saya anggap itu sebagai sanjungan. Kalaulah bukan sanjungan, anggaplah saya yang kegeeran. Kalau benar begitu, yasudahlah.

Kedua, jikalau benar bahwa saya sebenarnya bisa mencapai pencapaian yang lebih dari sekarang, maka saya sadari ada hal yang hilang dari diri saya: NYALI!

Mungkinkah saya telah hilang nyali untuk memilih "itu" dengan segudang kebaikannya, nyali untuk mengambil resiko yang ditanggung bersama, nyali untuk siap dikritik. Ah, mungkin itu juga yang buat saya menahan 23 tulisan yang belum dipublikasikan di draft blog ini. Mungkinkah saya juga sudah lupa caranya berani maju dan menahan malu saat diolok-olok?

Entah kapan terakhir saya bertemu kamu, nyali? Sudikah kembali menyertai laju kehidupan? Iya, bergandeng bersama. Ayolah, nyali!!

-08_01_14-
read more

25 Sep 2013

tentang lemahnya hadits ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

Berikut ini hasil sy bertanya pada ust yang concern di masalah 'ulumul hadits. Semoga bisa menambah ilmu kita semua.

bismillah..
tadz, ada yang mempertanyakan tentang sanad Hadits riwayat Ahmad tentang Khilafah:
....ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
dikatakan seperti ini:

"Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut Imam Bukhari, “fihi nazhar”. Inilah sebabnya imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tsb. Di samping itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis’ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tsb. Sehingga “kelemahan” sanad hadis tsb tidak bisa ditolong.Rupanya Habib bin salim itu memang cukup “bermasalah.” Dia membaca hadis tsb. di depan khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz untuk menjustifikasi bahwa kekhilafahan ‘Umar bin Abdul Aziz merupakan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bahwa Habib mencari muka di depan khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan: “Setelah kenabian akan ada khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, lalu akan muncul para raja.”
Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh Thabrani (dan dari penelaahan saya ternyata sanadnya majhul). Saya duga hadis Thabrani ini muncul pada masa Mu’awiyah atau Yazid sebagai akibat pertentangan politik saat itu.

Berikut ini penjelasannya:
Benarkah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tersebut dha’if? Benarkah Habib bin Salim Al-anshari tidak tsiqah? Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib al-Hafizh berkata, “Abu Hatim menyatakan tsiqah. Al-Bukhari menyatakan, fihi nadzar (Beliau m
asih harus diteliti). Abu Ahmad bin Adi, Laisa fi mutuni ahaditsihi haditsun munkar bal qad idhtharaba fi asanidi ma ruwiya 'anhu (Pada matan-matan haditnya tidak terdapat hadits munkar, tetapi ada beberapa sanadnya yang mudhtharib, dan diriwayatkan darinya).” Kemudian al-Hafizh berkata, “Saya tegaskan, bahwa al-Ajiri berdasarkan penuturan Abu Dawud menyatakan tsiqah, dan Ibn Hibban memasukannya dalam kitab ats-Tsiqqat. Dalam kitab Taqribut Tahdzib, beliau menyatakan, La ba'tsa bihi (Tidak ada masalah dengan beliau).

Ungkapan lebih lengkap Imam al-Bukhari di atas terdapat dalam kitab at-Tarik al-Kabir. Pada point ke 2606 tercatat, Habib bin Salim Maula an-Nu'man bin Basyir al-Anshari dari Nu'man, telah meriwayatkan darinya Abu Basyir, Basyir bin Tsabit, Muhammad al-Muntasyir, Khalid bin Urfuthah dan Ibrahim bin Muhajir dan beliau adalah sekretaris an-Nu'man fihi nadzar. Pada point ke 3347, ketika al-Bukhari menyatakan bahwa Yazid bin an-Nu'man bin Basyir sebagai sahabat Umar bin Abdul Aziz, beliau mengutip pernyataan Habib bin Salim (yang beliau nilai dengan ungkapan fihi nadzar). Perlu dicatat, bahwa Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu rijal dalam shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadits tentang bacaan pada shalat Ied dan Jum'ah dari an-Nu'man bin Basyir, melalui sanad Yahya bin Yahya, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ishaq, dari Jarir, berkata Yahya telah memberitahu kami Jarir, dari Ibrahim bin Muhamad bin al-Muntasyir dari bapaknya dari Habib bin Muslim Maula an-Nu'man bin Basyir dari an-Nu'man bin Basyir. Artinya menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam mukaddimah kitab Shahih-nya. Maka, bisa dimengerti mengapa al-Hafizh dalam Taqribut Tahdzib menyatakan, La ba'sa bihi (Tidak ada masalah dengan beliau). Ungkapan La ba'sa bihi, menurut ulama' ilmu ushul hadits, sebagaimana yang diungkapkan oleh as-Sakhawi dalam Fathul Mughits, secara umum adalah tingkat paling rendah untuk menggolongkan perawi sebagai perawi yang tsiqah. Ibnu Mu'in, sebagaimana yang dinukil oleh al-Hafizh ibn Katsir, juga mengungkapkan hal yang senada.

Untuk memahami pernyataan Imam al-Bukhari, fihi nadzar, al-Hafizh ibn Katsir dalam kitab al-Ba'its al-Hatsits fikhtishari Ulumi al-Hadits menjelaskan, apabila al-Bukhari berkata tentang rajul (hadits), Sakatu anhu atau fihi nadzar artinya fainnahu yakunu fi adna al-manazili wa arda'iha indahu, lakinnahu lathiful ibarah fit-tajrih (menurut beliau itu ada pada tingkat terendah, tapi beliau menggunakan ungkapan tajrih dengan cara yang halus). Itulah yang dimaksudkan oleh Imam al-Bukhari dengan ungkapan fihi nadzar. Agar lebih diskriptif, mari kita perhatikan apa yang disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi (IV/54), tentang hadits seorang laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan budak istrinya. Beliau berkata hadits an-Nu'man di dalam isnad-nya terjadi idhtirab. Beliau juga berkata, saya mendengar Muhammad (maksudnya al-Bukhari) berkata bahwa Qatadah tidak mendengar dari Habib bin Salim hadits ini, tapi dia meriwayatkan dari Khalid bin Urfuthah. Sedangkan dalam kitab Aun al-Ma'bud disebutkan bahwa at-Tirmidzi berkata, saya bertanya pada Muhammad bin Isma'il (maksudnya al-Bukhari) tentang Khalid bin Urfuthah, maka beliau berkata saya menahan diri terhadap hadits ini. Penjelasan at-Tirmidzi ini bisa kita gunakan untuk memahami arah ungkapan Imam al-Bukhari di atas. Maka, sangat akal kalau kemudian Imam Muslim, salah satu murid Imam al-Bukhari, mencantumkan dalam kitab shahih beliau, hadits yang diriwayatkan dari Habib bin Salim.

Bagaimana dengan pernyataan Imam Ibnu Adi, Laisa fi mutuni ahaditsihi haditsun munkar bal qad idhtharaba fii asanidi ma ruwiya anhu? Dalam kitab al-Kamil fi Dhua'afa'ir Rijal. Ibn Adi berkata: "…dan untuk Habib bin Salim hadits-hadits yang didektekan untuknya, sanadnya memang berbeda-beda, meski pada matan haditsnya bukan hadits munkar, tetapi terjadi idhtirab pada sanad-sanadnya sebagaimana yang diriwayatkan darinya oleh Habib bin Abi Tsabit…". Itulah ungkapan Ibnu Adi tentang Habib bin Salim. Dengan demikian tidak ada alasan yang kuat untuk mendhaifkan Habib bin Salim al-Anshari. Adapun indikasi idhtirab yang disampaikan oleh beliau juga bisa dijelaskan dari pernyataan at-Tirmidzi di atas. Al-Hafizh al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir menjelaskan dengan mengutip pernyataan al-Hafizh sungguh Habib bin Salim itu ma'ruf (popular) dalam riwayat dan beliau adalah tabi'in yang ma'ruf. Al-Hafizh al-Iraqi dalam kitab Mahajjatu al-Qarbi ila Mahabbati al-Arab menegaskan, bahwa hadits ini shahih. Ibrahim bin Dawud al-Wasithi di-tsiqah-kan oleh Abu Dawud at-Thayalisi dan Ibnu Hibban, dan rijal lainnya (termasuk) yang dibutuhkan dalam (kitab) shahih.

Oleh karena itu, Ibn Hajar al-Haitsami, dalam Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid (V/188), menyatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ini rijal-nya tsiqqah. Selain itu, tidak benar bahwa bisyarah nabawiyyah akan datangnya khilafah tersebut hanya didasarkan pada hadits riwayat Imam Ahmad dan al-Bazzar. Masih banyak hadits-hadits lain yang maknanya sama dengan hadits tersebut. Misalnya hadits tentang akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (VII/68), Ahmad (V/288), at-Thabrani (Musnad Syamiyyin,VI/149), al-Baihaqi (IX/169) dan Al-hakim (XIX/186).

Jadi, keliru sekali, kalau ada yang menganggap perjuangan untuk menerapkan hukum melalui Khilafah hanya didasarkan pada hadits dha'if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang akan datangnya khilafah adalah shahih. Masih banyak hadits-hadits lain yang bil ma'na menegaskan hal yang sama.

Tentang ungkapan bahwa hadits khilafah hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan tidak didukung oleh kitab-kitab hadits yang lain yang masyhur. Ungkapan ini justru lebih menegaskan keawaman mereka di bidang Musthalah al-Hadits. Di kalangan ulama' hadits muta'akhirin memang telah sepakat untuk menetapkan lima kitab induk, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan an-Nasa'i dan Sunan at-Tirmidzi. Sebagian ulama' muta'akhirin yang lain, al-Hafizh Abu Fadhl bin Thahir menggolongkan satu kitab lagi sehingga menjadi Kutub As-sittah. Beliau memasukkan Sunan Ibnu Majah. Pendapat ini diikuti oleh al-Hafizh al-Maqdisi, al-Mizzi, Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Khazraji.

Jadi ini merupakan ikhtiar para ulama Hadits untuk menentukan grade kualitas kitab-kitab hadits secara umum. Tentu klasifikasi tersebut tidak mutlak, dan tidak otomatis menafikan kitab-kitab yang tidak termasuk Kutub al-Khamsah atau Kutub as-Sittah. Seperti as-Sunan al-Kubra karya al-Hafizh al-Kabir Imam al-Baihaqi, Shahih Ibn Huzaimah, Shahih Ibnu Hibban, dan lain-lain.
read more