Tampilkan postingan dengan label Uswah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Uswah. Tampilkan semua postingan

29 Apr 2014

お父さん

 Tidak begitu jelas saya ingat, tapi jika tidak salah saat itu hari Ahad. Hari saya biasa pulang ke kampuang halaman yang hanya berjarak 1,5 atau maksimal 2 jam perjalanan dari "perantauan" saya. Bukan jarak yang jauh untuk dikatakan sebagai perantauan memang. Tapi agenda-agenda di kota 'perantauan' yang menahan untuk bertatap dengan orang rumahlah yang membuat jarak 2 jam perjalanan terasa lebih jauh. Meski bukan masalah besar karena teknologi selalu membuat saya bisa sering pulang. Adakalanya hingga dua-tiga kali sepekan. Hebat, ya?

Ah, saya hampir saja lupa menceritakan tentang hari Ahad itu. Iya, hari itu seperti hari Ahad lain, hari bertemu orang hebat dalam hidup saya: orangtua. Kenapa dikatakan hebat? Karena mereka mampu membuat saya hidup hingga saya bisa bertemu kalian melalui tulisan yang entah apa ini. hehe

Lalu apa spesialnya hari Ahad itu hingga saya merasa perlu menuliskannya? Sabar.. Sabar..

read more

9 Jun 2013

The Brocure


Menjadi kebiasaan di hari Jumat, seorang Imam masjid dan anaknya yang berumur 11 tahun membagi brosur di jalan-jalan dan keramaian, sebuah brosur dakwah yg berjudul “Thariiqun ilal jannah” (jalan menuju jannah). Tapi kali ini, suasana sangat dingin ditambah rintik air hujan yang membuat orang benar-benar malas untuk keluar rumah.

Si anak telah siap memakai pakaian tebal dan jas hujan untuk mencegah dinginnya udara, lalu ia berkata kepada sang ayah, “Saya sudah siap, Ayah!” “Siap untuk apa, Nak?” “Ayah, bukankah ini waktunya kita menyebarkan brosur ‘jalan menuju jannah’?” “Udara di luar sangat dingin, apalagi gerimis.” “Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!” “Saya tidak tahan dengan suasana dingin di luar.” “Ayah, jika diijinkan, saya ingin menyebarkan brosur ini sendirian.” Sang ayah diam sejenak lalu berkata, “Baiklah, pergilah dengan membawa beberapa brosur yang ada.”

Anak itupun keluar ke jalanan kota untuk membagi brosur kepada orang yang dijumpainya, juga dari pintu ke pintu. Dua jam berjalan, dan brosur hanya tersisa sedikit saja. Jalanan sepi dan ia tak menjumpai lagi orang yang lalu lalang di jalanan. Ia pun mendatangi sebuah rumah untuk membagikan brosur itu. Ia pencet tombol bel rumah, namun tak ada jawaban. Ia pencet lagi, dan tak ada yang keluar. Hampir saja ia pergi, namun seakan ada suatu rasa yang menghalanginya. Untuk kesekian kali ia kembali memencet bel, dan ia ketuk pintu dengan lebih keras. Ia tunggu beberapa lama, hingga pintu terbuka pelan. Ada wanita tua keluar dengan raut wajah yang menyiratkan kesedihan yang dalam Wanita itu berkata, “Apa yang bisa dibantu wahai anakku?”

Dengan wajah ceria, senyum yang bersahabat si anak berkata, “Nek, mohon maaf jika saya mengganggu Anda, saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda, dan saya membawa brosur dakwah untuk Anda yang menjelaskan bagaimana Anda mengenal Allah, apa yang seharusnya dilakukan manusia dan bagaimana cara memperoleh ridha-Nya.” Anak itu menyerahkan brosurnya, dan sebelum ia pergi wanita itu sempat berkata, “Terimakasih, Nak.”

Sepekan Kemudian Usai shalat Jumat, seperti biasa Imam masjid berdiri dan menyampaikan sedikit taushiyah, lalu berkata, “Adakah di antara hadirin yang ingin bertanya, atau ingin mengutarakan sesuatu?”

Di barisan belakang, terdengar seorang wanita tua berkata, “Tak ada di antara hadirin ini yang mengenaliku, dan baru kali ini saya datang ke tempat ini. Sebelum Jumat yang lalu saya belum menjadi seorang muslimah, dan tidak berfikir untuk menjadi seperti ini sebelumnya. Sekitar sebulan lalu suamiku meninggal, padahal ia satu- satunya orang yang kumiliki di dunia ini. Hari Jumat yang lalu, saat udara sangat dingin dan diiringi gerimis, saya kalap, karena tak tersisa lagi harapanku untuk hidup. Maka saya mengambil tali dan kursi, lalu saya membawanya ke kamar atas di rumahku. Saya ikat satu ujung tali di kayu atap. Saya berdiri di kursi, lalu saya kalungkan ujung tali yang satunya ke leher, saya memutuskan untuk bunuh diri. Tapi, tiba-tiba terdengar olehku suara bel rumah di lantai bawah. Saya menunggu sesaat dan tidak menjawab, “paling sebentar lagi pergi”, batinku. Tapi ternyata bel berdering lagi, dan kuperhatikan ketukan pintu semakin keras terdengar. Lalu saya lepas tali yang melingkar di leher, dan saya turun untuk sekedar melihat siapa yang mengetuk pintu. Saat kubuka pintu, kulihat seorang bocah berwajah ceria, dengan senyuman laksana malaikat dan aku belum pernah melihat anak seperti itu. Ia mengucapkan kata-kata yang sangat menyentuh sanubariku, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.”

Kemudian anak itu menyodorkan brosur kepadaku yang berjudul, “Jalan Menuju Jannah.” Akupun segera menutup pintu, aku mulai membaca isi brosur. Setelah membacanya, aku naik ke lantai atas, melepaskan ikatan tali di atap dan menyingkirkan kursi. Saya telah mantap untuk tidak memerlukan itu lagi selamanya. Anda tahu, sekarang ini saya benar-benar merasa sangat bahagia, karena bisa mengenal Allah yang Esa, tiada ilah yang haq selain Dia. Dan karena alamat markaz dakwah tertera di brosur itu, maka saya datang ke sini sendirian utk mengucapkan pujian kepada Allah, kemudian berterimakasih kepada kalian, khususnya ‘malaikat’ kecil yang telah mendatangiku pada saat yang sangat tepat. Mudah-mudahan itu menjadi sebab selamat saya dari kesengsaraan menuju kebahagiaan jannah yang abadi. Mengalirlah air mati para jamaah yang hadir di masjid, gemuruh takbir. Allahu Akbar. Menggema di ruangan. Sementara sang Imam turun dari mimbarnya, menuju shaf paling depan, tempat dimana puteranya yang tak lain adalah ‘malaikat’ kecil itu duduk. Sang ayah mendekap dan mencium anaknya diiringi tangisan haru. Allahu Akbar!”

Lihatlah bagaimana antusias anak kecil itu tatkala berdakwah, hingga dia mengatakan “Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!” Ia tidak bisa membiarkan manusia berjalan menuju neraka. Ia ingin kiranya bisa mencegah mereka, lalu membimbingnya menuju jalan ke jannah. Lihat pula bagaimana ia berdakwah, menunjukkan wajah ceria dan memberikan kabar gembira, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.” Siapa yang tidak trenyuh hati mendengarkan kata-katanya? Berdakwah dengan apa apa yang ia mampu, juga patut dijadikan teladan. Bisa jadi, tanpa kita sadari, cara dakwah sederhana yang kita lakukan ternyata berdampak luar biasa. Menjadi sebab datangnya hidayah bagi seseorang. Padahal, satu orang yang mendapat hidayah dengan sebab dakwah kita, lebih baik baik bagi kita daripada mendapat hadiah onta merah. Wallahu a’lam bishawab.


read more

19 Agu 2011

Ghibah yang Boleh Dalam Islam

Secara umum ghibah memang diharamkan dalam Islam, dalilnya adalah:
  1. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al Hujuraat[49]: 12) 
  2.  “Ketika saya di Mi’rajkan saya telah melihat suatu kaum yang berkuku tembaga digunakan untuk mencakar muka dan dada mereka sendiri, maka saya bertanya kepada Jibril: Siapakah mereka itu? Jawabnya: Mereka yang makan daging orang dan mencela kehormatan orang (yakni Ghibah)” (H.R Abu Dawud dari Anas ra.)
  3. “Barang siapa mencegah ghibah yang menyinggung kehormatan saudaranya, maka Allah akan membebaskannya dari neraka” (H.R Imam Ahmad)
  4. “Barang siapa mencegah ghibah yang dilakukan oleh saudaranya, maka Allah akan mencegahnya dari neraka pada hari kiamat” (H.R At Tirmidzi) 

Namun ternyata ada beberapa pengecualian. Berikut ini enam sebab (kondisi) dibolehkannya ghibah:
1.) Mengadukan kezaliman orang kepada hakim (qadli), penguasa (khalifah) atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”

2.) Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka hukumnya tetap haram.

3.) Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”

4.) Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.

5.) Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.

6.) Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah)

Dalil-dalil diperbolehkannya ghibah semacam itu:

Imam Nawawi menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:
1. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:

ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ

“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)

Imam Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.

2. Dari ‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِين

“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari) Laits bin Sa’ad salah seorang perawi hadits ini berkata: “Kedua orang ini termasuk kalangan orang munafiq.”

3. Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku katakan:

إَنَّ أَبَا جَهْمٍ و مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ (متفق عليه). وفى رواية لمسلم: “وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ” وهو تفسير لرواية: ” فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ”. وقيل معناه كثير الأسفار

“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku maka bagaimana?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia itu miskin tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun Abul Jahm adalah lelaki yang sering memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran dari ungkapan, “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa maksud ungkapan itu adalah: orang yang banyak bepergian.

4. Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

خرجنا مع رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم في سفر أصاب الناس فيه شدة فقال عبد اللَّه بن أبي: لا تنفقوا على من عند رَسُول اللَّهِ حتى ينفضوا، وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل، فأتيت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد اللَّه بن أبي فاجتهد يمينه ما فعل، فقالوا: كذب زيد رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فوقع في نفسي مما قالوه شدة حتى أنزل اللَّه تعالى تصديقي (إذا جاءك المنافقون:) المنافقين
(ثم دعاهم النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ليستغفر لهم فلووا رؤوسهم (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Kami pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh suatu perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami kondisi yang menyulitkan, maka Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah kalian berinfak membantu orang-orang yang ada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka mau bubar.” Dia juga mengatakan, “Seandainya kita pulang ke Madinah, maka orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah.” Maka aku pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian beliau pun mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada Abdullah bin Ubay.

Maka dia justru berani bersumpah dengan serius kalau dia tidak pernah mengatakannya, maka mereka pun mengatakan, “Zaid telah berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ucapan mereka itu membuatku diriku susah dan tersakiti sampai akhirnya Allah menurunkan firman-Nya untuk membuktikan kejujuranku, “Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu.” (QS. Al-Munafiquun: 1) Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka supaya meminta beliau berdoa memintakan ampun bagi mereka akan tetapi mereka justru memalingkan kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)

5. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم، قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Hindun isteri Abu Sufyan mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang pelit, dia tidak memberikanku sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali yang sengaja kuambil sendiri darinya dalam keadaan dia tidak tahu, lantas bagaimana?.” Beliau bersabda, “Ambilah sebanyak yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘alaihi) (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/100 dan 104)
wallahu'alam..
re-arranged from: Mriki (di sini)

read more

7 Agu 2011

adab berdiskusi dan debat dalam Islam, dikutip dari kitab min muqawimmat nafsiyah islamiyah (pilar-pilar pengokoh nafsiyah Islam)

Al-Jadal adalah At-Tahâwur (berdiskusi atau berdialog), seperti firman Allah:

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal-jawab antara mereka antara kamu berdua.” (TQS. al-Mujadalah [58]: 1)

Dalam ayat ini Allah menyebut al-jadal (berdebat) dengan istilah at-tahâwur (berdiskusi). Definisi al-jadal  (berdebat) adalah penyampaian hujjah atau yang diduga sebagai hujjah oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya untuk membela pendapat atau madzhabnya, membatalkan hujjah lawan, dan mengubahnya kepada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.
Berdebat termasuk perkara yang diperintahkan syara’ untuk menetapkan kebenaran dan membatalkan kebatilan. Dalilnya adalah firman Allah Swt:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (TQS. an-Nahl [16]:125)

 Firman Allah Swt:

“Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar’” (TQS. al-Baqarah [2]: 111)

Rasulullah saw. juga telah mendebat kaum Musyrik Makkah, Nasrani Najran, dan Yahudi Madinah. Pengemban dakwah akan senantiasa menyeru kepada kebaikan (Islam), amar makruf nahyi munkar, dan memerangi pemikiran yang sesat. Karena berdebat telah ditentukan sebagai uslub dalam semua aktivitas yang wajib tersebut, maka berdebat menjadi suatu kewajiban pula berdasarkan kaidah (ushul): 
"Suatu kewajiban yang tidak sempuran (pelaksanaannya) tanpa sesuatu, maka sesuatu itu (hukumnya) wajib."
 
Di antara perdebatan ada satu jenis perdebatan yang dicela secara syar’i, sehingga menjadi satu bentuk kekufuran, seperti mendebat Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah berfirman:

"Dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah , dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksaan-Nya." (TQS. ar-Ra’du [13]: 13)

"Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir." (TQS. Ghâfir [40]: 4)

Orang yang kufur adalah orang yang mengingkari (kebenaran), bukan orang yang membenarkan (kebenaran). Sebab, orang yang ingkar akan berdebat dalam rangka untuk membantah kebenaran. Sedangkan orang yang menetapkan kebenaran (al-mutsbit) akan berdebat untuk memastikan kebenaran dan melenyapkan kebathilan. Allah berfirman:

“Mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu.” (TQS. Ghâfir [40]: 5)
“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (TQS. az-Zukhruf [34]: 58)

Berdebat tentang al-Quran untuk menetapkan bahwa al-Quran bukan mukjizat atau bukan berasal dari Allah juga merupakan suatu kekufuran. Ahmad telah meriwayatkan hadits marfu’ dari Abû Hurairah; Rasulullah saw. bersabda:

“Berdebat tentang al-Quran adalah kufur.” (Ibnu Muflih berkata, “Hadits ini isnadnya baik dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir”)

Ada juga perdebatan yang makruh, seperti mendebat kebenaran setelah jelas dan tampak sebagai kebenaran. Allah Swt. berfirman:

“Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu)” (TQS. al-Anfâl [8]: 6)

Berdebat bisa dilakukan dengan hujjah (dalil) atau dengan syubhat dalil. Adapun berdebat dengan menggunakan selain keduanya merupakan syaghab dan takhlith. Definisi syubhat adalah sesuatu yang dibayangkan oleh suatu madzhab dalam bentuk hakikat, padahal kenyataannya tidak demikian. Ini adalah definisi Ibnu Aqil. Ibnu Hazm telah mendefinisikan asy-syaghab adalah merekayasa hujjah yang batil dengan menggunakan suatu premis atau premis-premis yang rusak, yang akan menggiring kepada kebatilan. Disebut juga al-safsathah (mengelabuhi). Ibnu Aqil berkata, “Siapa saja yang suka menempuh metodologi ahli ilmu, maka ia hanya dibenarkan berbicara dengan hujjah (dalil) atau syubhat dalil. Sedangkan asy-syaghab adalah merupakan pencampuradukan yang dilakukan oleh ahli debat. Dari paparan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa asy-syaghab adalah berdebat tanpa menggunakan dalil atau syubhat dalil.

Di antara adab dan aturan berdebat yang telah diwasiatkan oleh para ulamadengan sebagian tambahanadalah :
a.    Mengedepankan ketakwaan kepada Allah, bermaksud taqarrub kepada-Nya, dan mencari ridha-Nya dengan menjalankan perintah-Nya.
b.    Harus diniatkan untuk memastikan kebenaran sebagai kebenaran dan membatilkan yang batil. Bukan karena ingin mengalahkan, memaksa, dan menang dari lawan.
Asy-Syafi’I berkata, “Aku tidak berbicara kepada seorang pun kecuali aku sangat suka jika ia mendapatkan taufik, berkata benar, dan diberi pertolongan. Ia akan mendapatkan pemeliharaan dan penjagaan dari Allah. Aku tidak berbicara kepada seorang pun selamanya kecuali aku tidak memperhatikan apakah Allah menjelaskan kebenaran melalui lisanku atau lisannya.” Ibnu Aqil berkata, “Setiap perdebatan yang tidak bertujuan untuk membela kebenaran maka itu menjadi bencana bagi pelakunya.”
c.    Tidak dimaksudkan untuk mencari kebanggaan, kedudukan, meraih dukungan, berselisih, dan ingin dilihat.
d.    Harus diniatkan untuk memberikan nasihat kepada Allah, agama-Nya, dan kepada lawan debatnya. Karena agama adalah nasihat.
e.    Harus diawali dengan memuji dan bersyukur kepada Allah dan membaca shalawat kepada Rasul-Nya saw.
f.     Harus memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar diberi taufik terhadap perkara yang diridhai-Nya.
g.    Harus berdebat dengan metode yang baik dan dengan pandangan dan kondisi yang baik. Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:

Sesungguhnya petunjuk yang baik, cara yang baik, dan tidak berlebih-lebihan adalah satu bagian dari dua puluh lima bagian kenabian(HR. Ahmad dan Abû Dawud. Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa hadits ini isnadnya hasan).
h.   Singkat dan padat dalam berbicara. Yaitu berbicara sedikit, menyeluruh, dan fasih (sesuai dengan yang dimaksudkan). Terlalu banyak bicara akan mengakibatkan kebosanan. Disamping juga lebih berpeluang menimbulkan kekeliruan, kelemahan, dan kesalahan.
i.    Harus sepakat dengan lawan debatnya terhadap dasar yang menjadi rujukan keduanya. Dengan orang kafir dasar yang dijadikan sebagai rujukan adalah akal semata-mata, sedangkan jika berdebat dengan seorang muslim, dasar rujukannya adalah akal dan naql. Akal menjadi rujukan pada perkara-perkara yang bersifat rasional. Sedangkan pada perkara-perkara yang bersifat syar’i, naql-lah yang menjadi dasar rujukannya, sebagaimana Firman Allah:

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.(TQS. an-Nisa [4]: 59)

j.    Orang kafir tidak boleh didebat dalam perkara cabang syariat. Sebab, ia tidak beriman kepada perkara pokok syariah. Karenanya, hendaknya tidak berdebat dan berdiskusi dengan mereka mengenai pernikahan dengan empat isteri, kesaksian wanita, jizyah, hukum waris, haramnya khamr, dan sebagainya.
k.   Tidak mengeraskan suaranya kecuali sebatas untuk bisa didengar oleh orang yang ada di sekitarnya. Dikisahkan ada seorang lelaki dari Bani Hasyim yang bernama Abd ash-Shamad berbicara di hadapan Khalifah al-Ma’mun dengan mengeraskan suaranya. Kemudian al-Ma’mun berkata, “Wahai Abd ash-Shamad, janganlah engkau mengeraskan suaramu. Karena sesungguhnya kebenaran terdapat pada yang paling tepat, bukan yang paling keras.” (Al-Khatib dalam al-Faqih wa al-Mutafaqqih).
l.    Tidak boleh merendahkan lawan diskusi dan meremehkan persoalannya.
m. Harus bersabar atas penyimpangan lawan diskusi, bersikap sabar, dan memaafkan kesalahannya, kecuali orang itu memang pandir. Maka kita harus menjauhkan diri dari berdiskusi dan berdebat dengannya.
n.   Harus menjauhi al-hiddah dan al-dhajjar. Ibnu Sirin berkata, “al-hiddah merupakan kiasan dari kebodohan.” Maksudnya adalah bodoh dalam berdiskusi.
o.   Apabila berdebat dengan orang yang lebih banyak pengetahuannya maka hendaknya tidak mengatakan, “Engkau salah,” atau, “Perkataan anda keliru,” melainkan harus mengatakan, “Bagaimana pendapat anda jika ada orang yang mengatakan,” atau membantah dengan menggunakan redaksi orang yang meminta petunjuk, seperti berkata, “Bukankah yang benar itu pernyataan demikian?”
p.   Berusaha memikirkan dan memahami perkara yang disampaikan oleh lawan diskusi dan tidak boleh cepat-cepat berbicara sebelum lawan diskusi selesai berbicara. Dari Ibnu Wahab ia berkata; Aku mendengar Malik pernah berkata, “Tidak ada kebaikan pada jawaban sebelum dipahami terlebih dahulu. Bukan termasuk adab yang baik jika seseorang memutuskan pembicaraan lawannya.” Adapun jika lawan diskusi adalah hanya ingin berdebat, keras kepala, banyak membicarakan yang tidak bermanfaat, maka yang menjadi sikap asal adalah tidak berdiskusi dengannya jika hal itu telah diketahui ada pada dirinya. Apabila baru terungkap di tengah-tengah diskusi, maka ia harus menasihatinya. Apabila ia tidak bisa menjaga diri maka putuskanlah pembicaraan.
q.   Hendaknya menghadapkan wajahnya kepada lawan diskusi, dan tidak berpaling kepada orang-orang yang hadir di forum diskusi untuk meremehkan lawan diskusinya. Jika lawan diskusi melakukan hal itu, maka harus dinasihati. Apabila ia tidak mau menghentikannya, maka hentikanlah diskusi.
r.    Tidak boleh berdebat dengan merasa hebat dan takjub terhadap pendapatnya. Sebab, orang yang ujub tidak akan menerima pendapat dari orang lain.
s.   Tidak boleh berdebat di forum-forum yang ditakutkan, seperti berdiskusi di tempat terbuka dan di forum-forum umum. Kecuali jika ia merasa tenteram dengan agamanya, tidak takut karena Allah terhadap caci maki orang yang mencaci, siap menanggung risiko dari pembicaraannya, baik berupa penjara atau bahkan pembunuhan. Apabila ia tidak bias meneguhkan dirinya bersama Hamzah (tidak mampu mengatakan hak di hadapan penguasa yang dzalim), maka sikap diam lebih utama. Karena dalam kondisi seperti itu (dikhawatirkan) ia akan meremehkan agama dan ilmu. Dalam kondisi ini, bisa diingat kembali bagaimana sikap para ulama terdahulu semisal Imam Ahmad dan Imam Malik. Juga sikap para ulama masa kini seperti para ulama yang mendebat Muamar Kadafi ketika mengingkari as-sunah.
t.    Tidak boleh berdebat dengan orang yang tidak disukai. Baik kebencian ini berasal dari dirinya atau datang dari lawannya.
u.   Tidak berpanjang lebar dalam pembicaraan, khususnya pada perkara-perkara yang sudah diketahui lawan diskusi. Melainkan harus berbicara dengan singkat, namun tidak merusak maksud.
v.   Tidak boleh berdiskusi dengan orang yang meremehkan ilmu dan ahlinya, atau di hadapan orang-orang pandir yang meremehkan diskusi dan orang-orang yang sedang berdiskusi. Imam Malik berkata, “Termasuk merendahkan dan meremehkan ilmu jika seseorang membicarakan ilmu di hadapan orang yang tidak mentaati ilmu itu.”
w.  Tidak boleh merasa rendah untuk menerima kebenaran ketika kebenaran itu tampak pada lisan lawannya. Karena sesungguhnya kembali kepada kebenaran lebih baik daripada terus menerus dalam kebatilan. Juga supaya termasuk ke dalam golongan orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling benar.
x.   Tidak boleh mengacaukan jawaban, yakni dengan memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan. Seperti:

Penanya             : Apakah Arab Saudi itu Daulah Islam?
Penjawab            : Peradilan di sana Islami.

Jawaban ini adalah mughalathah (kacau atau tidak sesuai pertanyaan). Jawaban yang seharusnya adalah mengatakan ya, tidak, atau saya tidak tahu. Jawaban mana pun dari ketiga jawaban ini termasuk jawaban yang muthabiqah (sesuai pertanyaan).
y.    Tidak mengingkari perkara-perkara penting sehingga menjadi penentangnya. Seperti orang mengingkari permusuhan orang-orang kafir terhadap kaum Muslim. Atau mengingkari bahwa system yang diterapkan di negeri-negeri Islam adalah sistem kufur, yakni tidak berhukum dengan Islam.
z.    Tidak menghindarkan diri dari membuang argumentasinya dalam setiap masalah yang cocok dengannya. Seperti memperbolehkan membeli rumah-rumah di Barat dengan riba yang didasarkan pada al-hajah al-khasshah (kebutuhan khusus) yang diturunkan dan dari ad-dharurah al-khashah (darurat khusus), kemudian tidak memperbolehkan kebutuhan-kebutuhan lain seperti makanan, pakaian, dan pernikahan dengan riba. Maka sesungguhnya memperbolehkan suatu kebutuhan berarti telah memubahkan banyak hal yang haram, meskipun tidak menghilangkan argumentasi dan kaidahnya dalam setiap kebutuhan, maka sungguh telah bertentangan.

download terjemah buku/kitab Min Muqawimat an-Nafsiyah al-Islamiyah (pilar-pilar pengokoh nafsiyah Islam part 1
download terjemah buku/kitab Min Muqawimat an-Nafsiyah al-Islamiyah (pilar-pilar pengokoh nafsiyah Islam part 2
read more

7 Jan 2011

CAPTAIN BARBAROSA

Oleh: Alwi Alatas (Penulis buku "Khairuddin Barbarossa: Bajak Laut atau Mujahid?". Master di bidang Sejarah Universitas Islam Antarbangsa, Malaysia)

(Sumber: Sabili No. 13 TH. XVI 15 Januari 2009 / 18 Muharram 1430, hal 124-132 [Edisi Khusus "The Great Muslim Traveler"])

Di Barat, namanya tercatat sebagai bajak laut kejam berjenggot merah yang menguasai lautan luas. Tapi dalam sejarah Islam, namanya harum sebagai laksamana penjaga wilayah Khilafah Utsmani Turki yang perkasa.


John Perkins, dalam bukunya yang berjudul The Secret History of The American Empire (diterbitkan oleh Ufuk Press dengan judul Pengakuan Bandit Ekonomi), menjelaskan citra pelaut-pelaut Bugis di mata orang -orang Eropa. Ketika pergi ke Sulawesi, ia menjelaskan bahwa pulau ini merupakan "Rumah bagi suku Bugis yang keji… mereka dianggap sebagai bajak laut paling kejam, paling haus darah di dunia. Di kampung halaman, orang-orang Eropa… mengancam anak-anak mereka yang tidak patuh bahwa jika mereka tidak bersikap manis, orang Bugis akan menculik kalian."


Terlepas dari bayang-bayang kekejaman bajak laut Bugis di masa lalu itu, sudut pandang Perkins mulai berubah ketika ia berkawan dengan seorang Bugis selama tinggal di Sulawesi. Teman Bugisnya ini tidak memandang diri mereka sebagai bajak laut. Kenyataannya, mereka hanya mempertahankan tanah air mereka dari para pengacau dan penjarah Eropa. Kisah singkat ini memperlihatkan sebuah contoh bagaimana suatu sudut pandang bisa mengubah sebuah penilaian secara diametrikal, dari bajak laut menjadi pembela negara, atau sebaliknya dari pahlawan menjadi penjahat.


Era kolonial, sejak awal hingga akhir, memperlihatkan ironi-ironi semacam ini. Orang-orang Eropa menaklukkan dan menjajah negeri-negeri Muslim dan mendefinisikan lawan menurut sudut pandang dan kepentingan mereka. Label -label negatif akan segera dilekatkan pada pihak-pihak yang menentang serta pihak yang dijajah secara umum. Jika perlawanan itu terjadi di laut, maka nama yang biasa mereka berikan kepada para pembela tanah air itu adalah bajak laut.


Hal yang sama juga pemah terjadi di awal kebangkitan Eropa dan petualangan mereka menaklukkan berbagai belahan dunia. Tak lama setelah berhasil mengusir orang-orang Islam dari pijakan terakhimya di Granada, Spanyol, pada tahun 1492, orang-orang Portugis dan Spanyol, para conquistador yang haus kekuasaan ini, segera menyerbu pantai-pantai Afrika Utara. Raja-Raja Maghrib, Tunisia, dan sekitarya yang lemah tak punya cukup kemampuan dan kemauan untuk mengusir orang-orang Kristen yang penuh semangat ini dari tanah-tanah mereka. Orang-orang Spanyol merebut tempat-tempat strategis, seperti Ceuta di Maroko dan Aljir di Aljazair, dan membangun benteng yang menyulitkan penguasa-penguasa Muslim setempat untuk merebut kembali tempat-tempat itu. Pada masa-masa ketidakberdayaan penguasa Muslim setempat inilah muncul para 'pejuang swasta' yang dimotori Barbarossa bersaudara di perairan Mediterania. Mereka tampil menghadapi ancaman penjajah Kristen Eropa. Dan sebagaimana orang-orang Bugis di Indonesia, orang-orang Eropa pun menamai Barbarossa dan kelompoknya sebagai bajak laut.


Barbarossa atau si Janggut Merah, lama-kelamaan berkembang menjadi sosok yang menakutkan orang-orang Eropa. Kendati pada awalnya hanya berjuang dengan satu kapal dan tak mendapat dukungan dari pemerintahan Muslim mana pun, mereka mampu men...gembangkan armada mereka menjadi sebuah kekuatan yang harus diperhitungkan di Mediterania, Laut Tengah. Negeri-negeri di Selatan Eropa, seperti Spanyol, Italia dan Yunani, membangun benteng-benteng pertahanan di wilayah pesisir mereka untuk mengantisipasi serangan Barbarossa. Orang-orang Italia menamai Barbarossa dengan sebutan Il Diavolo atau si Setan. Para ibu di Eropa menakut-nakuti anak mereka yang nakal dan sulit diatur dengan menyebut nama Barbarossa. Dan seorang penyair menggelarinya sebagai 'pemilik segala kejahatan' dan 'perompak yang tak ada bandingannya di dunia'.


Kenyataannya, Barbarossa bersaudara adalah pejuang-pejuang Muslim yang tidak menyerang kecuali kapal-kapal Eropa yang memerangi negeri-negeri Islam. Tulisan ini akan menguraikan figur pejuang yang sangat tangguh ini lebih jauh.


Barbarossa bersaudara adalah dua orang kakak beradik bernama Aruj dan Khidr. Keduanya dilahirkan di Pulau Lesbos (Mytilene/Madlali), di wilayah Turki, dari seorang ayah yang merupakan veteran perang pada masa kekuasaan Sultan Muhammad al-F...atih dan seorang ibu penduduk asli pulau itu. Ayah mereka, Ya'kub bin Yusuf, menetap di Lesbos tak lama setelah penaklukkan pulau itu oleh pasukan al-Fatih di tahun 1462. Ia mengisi masa pensiunnya dengan membuka sebuah kedai dan membina keluarga. Dari pernikahannya lahir empat orang putra, Ishak, Aruj, Khidr, dan Ilyas. Keempat anak ini, khususnya Aruj dan Khidr, tumbuh dalam budaya pesisir dan kelak muncul sebagai pelaut-pelaut yang tangguh.


Putra-putra Ya'kub ini tumbuh pada salah satu era paling menentukan dalam sejarah umat manusia. Mereka hidup di tengah benturan peradaban yang keras di wilayah Mediterania. Benturan peradaban antara Timur dan Barat, antara Islam dan Kristen. Hanya sekitar satu atau dua dekade sebelum kelahiran anak anak ini, peradaban Islam terpenting saat itu, Turki Utsmani, di bawah pimpinan Muhammad al-Fatih pada tahun 1453, telah berhasil menaklukkan kota Konstantinopel. Kejatuhan kota yang merupakan ibukota Romawi Timur, Byzantium, sekaligus pusat Kristen Ortodoks itu menimbulkan jeritan putus asa dan kemarahan di belahan Eropa lainnya. Sebaliknya, hal itu meningkatkan semangat jihad dan kebanggaan di belahan dunia Isla mengingat Nabi Muhammad saw sendiri telah meramalkan kejatuhan kota itu dalam haditsnya.


Aruj, Khidr, dan saudara-saudaranya tentunya juga ikut merasakan semangat dan gejolak kebanggaan ini, karena ayah mereka merupakan salah satu anggota pasukan Sultan al-Fatih, Sang Penakluk. Hanya saja di pengujung abad itu wila yah Mediter...ania juga menyaksikan pembalasan orang-orang Eropa Kristen pada kaum Muslimin. Pada tahun 1492, Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Spanyol menaklukkan Granada, benteng terakhir kaum Muslimin yang kaya raya di ujung Selatan Andalusia. Namun, berbeda dengan al-Fatih yang bersikap toleran dan membuka pintu Konstantinopel pasca penaklukkan bagi orang-orang non -Muslim, penguasa baru Kristen di Andalusia segera membatalkan perjanjian yang mengharuskan mereka memelihara toleransi. Kaum Muslimin Andalus pun menjadi korban pemurtadan massal yang diiringi dengan penyiksaan inkuisisi serta pengusiran besar-besaran. Setelah penaklukkan Granada, kapal-kapal Spanyol dan Portugis segera meneror perairan Mediterania dan pesisir Afrika Utara.


Ketegangan di Mediterania dan terancamnya pelaut-pelaut Muslim oleh gangguan kapal-kapal Kristen, serta ketidakberdayaan penguasa-penguasa Afrika Utara dalam memberikan perlindungan, tak urung melahirkan perlawanan sipil yang belakangan di...tuding pihak Eropa Kristen sebagai aksi-aksi bajak laut. Aruj, putra Ya'kub, pernah merasakan pengalaman buruk dengan pelaut-pelaut Kristen Eropa. Kapal dagang Aruj pernah dibajak oleh ordo militer Saint John dan ia sendiri tertawan oleh mereka. Namun, ia berhasil meloloskan diri. Peristiwa ini menguatkan tekadnya untuk bangkit melawan orang-orang Eropa itu. Ia mengajak adiknya, Khidr (yang belakangan berganti nama menjadi Khairuddin), untuk ikut serta dalam perjuangan itu. Aruj dan Khidr (Khairuddin) memulai 'karir' jihad mereka dengan sebuah kapal dan persenjataan terbatas. Namun, keterampilan keduanya menjadikan kekuatan mereka tumbuh semakin kuat dan muncul sebagai armada yang ditakuti di perairan Mediterania. Jenggot mereka yang berwarna merah kemudian membuat mereka lebih dikenal dengan nama yang menggetarkan: Barbarossa, Si Janggut Merah.


Kedua pejuang ini terus mengonsolidasikan kekuatan mereka dan mulai menjalin hubungan dengan beberapa penguasa setempat. Mereka menjadikan beberapa pulau yang strategis di perairan Mediterania sebagai pangkalan rahasia mereka, di antaranya Pulau Jarbah di Teluk Gabes yang diberikan oleh Sultan Tunis dengan imbalan Kerajaan Tunis akan menerima seperlima dari rampasan perang Barbarossa bersaudara. Pulau Giglio di Barat Laut kota Roma juga disebut-sebut sebagai salah satu markas angkatan laut Barbarossa. Dari basis-basis pertahanan rahasia tersebut kedua bersaudara dan para anak buahnya berhasil mengacaukan pelayaran kapal-kapal Kristen di Mediterania serta menyerang wilayah-wilayah Afrika Utara yang mereka duduki. Sepanjang tahun 1510-an, armada di Janggut Merah berhasil membebaskan beberapa kota penting di pesisir Aljazair, seperti Aljir, Bajayah, dan Jaijil. Pada masa-masa ini mereka juga berhasil membantu orang-orang Andalus yang melarikan diri dari kekejaman orang- orang Spanyol. Tidak sedikit dari kaum pelarian ini yang kemudian bergabung dengan armada Barbarossa bersaudara.


Hubungan kedua bersaudara ini dengan para sultan Afrika Utara yang wilayahnya mereka bantu bebaskan tidak sepenuhnya mulus. Sebagian dari para sultan ini rupanya merasa terancam dengan kekuatan Barbarossa yang semakin lama semakin besar. Sultan Salim al-Toumy, penguasa Aljazair, mulai merasa terganggu dengan aktivitas Aruj dan Khairuddin dalam membebaskan Aljir dan beberapa kota pantai Aljazair lainnya. Sang Sultan kemudian mengusir Aruj dan anak buahnya dari Aljazair pada tahun 1516. Pengusiran tersebut menyebabkan Aruj mengambil sebuah keputusan penting. Ia menganggap Aljazair terlalu penting sebagai basis perjuangan melawan Spanyol dan para sekutunya, sementara sultan negeri itu tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap kaum Muslimin. Maka ia pun menggulingkan Sultan al-Toumy dan bertindak sebagai penguasa Aljazair. Tahun ini menandai era baru perjuangan Barbarossa bersaudara, dari perjuangan yang sepenuhnya bersifat militer, kini mulai merambah wilayah politik dan kenegaraan.


Pada tahun yang sama di Eropa, cucu Ferdinand yang bernama Charles, diangkat menjadi Raja Spanyol. Walaupun pada saat itu usianya baru 16 tahun, ia segera akan menjadi penguasa terpenting di Eropa, sekaligus menjadi musuh utama Turki Utsmani dan Barbarossa bersaudara. Keadaan di Mediterania semakin memanas pada tahun-tahun berikutnya. Pada 1517, Sultan Salim mengirim pasukan Turki Utsmani memasuki Mesir dan merebut wilayah itu dari kekuasaan Dinasti Mamluk. Sementara itu, Barbarossa bersaudara mulai menjalin hubungan dengan pihak Turki dalam jihad mereka menghadapi orang-orang Eropa Barat.


Pada tahun 1518, Aruj dan pasukannya bergerak ke Tlemcen (Tilmisan) untuk menghadapi penguasa setempat yang berhasil dihasut oleh pihak Spanyol. Khairuddin, sang adik, diperintahkan oleh kakaknya untuk memimpin Aljir selama kepergiannya. Aruj dan anak buahnya berhasil merebut Tlemcen selama beberapa waktu, tapi mereka segera dikepung oleh tentara Spanyol dan penduduk wilayah itu. Aruj dan pasukannya berhasil meloloskan diri. Namun, pejuang yang biasa dipanggil Baba Aruj oleh anak buahnya ini akhirnya gugur sebagai syuhada dalam pertempuran menghadapi musuh di tempat yang tak terlalu jauh dari kota itu. Kini Khairuddin Barbarossa, sang adik, terpaksa memimpin armada dan pasukan yang telah mereka bangun selarna beberapa tahun tanpa sang kakak.


Ketiadaan Aruj ternyata tidak melemahkan Khairuddin. Ia segera memperlihatkan kepiawaiannya dalam memimpin. Sejak masa mug'padanya ia telah memperlihatkan kepribadian yang menonjol. Sebagaimana kakaknya, fisik Khairuddin sangat kuat. Ia berani sekaligus penuh perhitungan. Selain itu, ia juga cerdas dan mampu berbicara dalam berbagai bahasa yang biasa digunakan di Mediterania, seperti bahasa Turki, Arab, Yunani, Spanyol, Italia, dan Perancis. Setelah Aruj gugur di medan pertempuran, Khairuddin mempertimbangkan lebih serius hubungan dengan kesultanan Turki. Masyarakat Aljazair dan sekitarnya memang mengharapkan kehadiran Khairuddin dan pasukannya, tapi beberapa penguasa setempat cenderung memusuhinya. Maka ia meminta penduduk Aljazair untuk mengalihkan loyalitas mereka pada Sultan Turki. Masyarakat Aljazair setuju, dan suatu misi diplomatik pun diutus ke Istanbul. Misi tu berjalan dengan baik. Pada tahun 1519, Khairuddin Barbarossa secara resmi ditetapkan menjadi semacam gubernur Turki di Aljazair. Pada tahun berikutnya, Sultan Salim meninggal dan digantikan oleh Sulaiman The Magnificent yang kemudian dikenal sebagai salah satu sultan terbesar Turki Utsmani. Hubungan Barbarossa dengan Turki menjadi semakin erat pada masa Sulaiman yang memerintah selama empat puluh enam tahun.


Kendati telah ditetapkan sebagai penguasa Aljazair, Khairuddin Barbarossa lebih sering berjuang di lautan sebagaimana masa-masa sebelumnya. Ia dan armadanya sempat menyelamatkan tujuh puluh ribu Muslim Andalusia yang tertindas di bawah pemerintahan Charles V. Orang-orang Islam ini dipaksa masuk Kristen dan diancam dengan penyiksaan inkuisisi yang sangat kejam sehingga terpaksa melarikan diri ke gunung dan melakukan perlawanan. Kekuatan mereka jelas sangat tidak seimbang dibandingkan kekuatan pasukan Charles. Maka mereka pun meminta bantuan Barbarossa yang segera menolong dan memindahkan mereka secara bertahap ke Aljazair.


Pada tahun 1529, Khairuddin Barbarossa berhasil merebut kembali Pulau Penon yang terletak di seberang Aljir dan selama bertahun-tahun dikuasai oleh tentara Spanyol. Ia dan pasukannya membombardir benteng pulau itu selama dua puluh hari. Dua puluh ribu tentara Spanyol yang berlindung di balik benteng itu berhasil ditawan dan dipekerjakan untuk membangun benteng di pesisir Aljir. Tujuh kapal Spanyol yang kemudian datang untuk memberikan bantuan akhirnya juga jatuh ke tangan Barbarossa. Pada tahun yang sama, Sultan Sulaiman menyerang dan mengepung kota Wina, Austria, untuk yang kedua kalinya. Walaupun serangannya yang kedua ini juga gagal sebagaimana sebelumnya, hegemoni tentaranya di darat, bersama dengan kekuatan armada Barbarossa di Laut Tengah, telah menimbulkan tekanan dan kekhawatiran yang besar di Eropa Barat.


Pada tahun 1533, Khairuddin diundang ke Istanbul oleh Sultan Turki. Ia pun berang kat dengan 40 kapal, dan sempat berpapasan dan memenangkan pertempuran melawan armada Habsburg di perjalanan ke Istanbul. Setibanya di ibu kota Turki Utsmani ...itu ia disambut dengan meriah dan diangkat sebagai Kapudan Pasha (Grand Admiral), posisi tertinggi di angkatan laut Turki. Ia menyandang gelar itu hingga tahun kematiannya, 1546. Tentu saja ini merupakan sebuah puncak karir yang luar biasa untuk seorang 'bajak laut'. Tapi Barbarossa memang dianggap sangat layak untuk posisi itu oleh para petinggi Turki Utsmani. Kemampuannya di bidang angkatan laut sangat diperlukan untuk membangun armada Turki yang tangguh. Bahkan seorang konsul Perancis menyatakan bahwa puncak kesuksesan Dinasti Umayah di lautan telah dimulai ketika Khairuddin menghentakkan kakinya di pelabuhan Istanbul.


Ketegangan dengan pihak Spanyol semakin serius setelah itu. Pasukan gabungan Spanyol yang sangat besar jumlahnya berhasil merebut Tunisia dari tangan Barbarossa pada tahun 1535. Barbarossa kemudian membalasnya dengan menyerang Puerto de Mahon di Kepulauan Baleares, Spanyol, dan merebut beberapa kapal Spanyol dan Portugis yang baru saja kembali dari benua baru Amerika dengan membawa emas dan perak yang telah mereka rampas dari penduduk setempat.


Tiga tahun setelah itu, terjadi sebuah pertempuran besar antara armada Kristen dan Muslim di Preveza, Yunani. Armada Kristen yang terdiri dari 600 kapal Spanyol, Holy Roman Empire, Venesia, Portugis, Genoa, Vatikan, Florence, Malta, dan negara-negara Eropa lainnya yang dipimpin oleh Andre Doria berusaha melumatkan armada Barbarossa yang jumlahnya hanya sepertiga dari kekuatan musuh. Setelah saling mengintai di perairan Ionian, Yunani, armada Barbarossa memasuki Selat Preveza yang sempit dan menunggu di teluk besar yang terdapat di bagian dalamnya, sementara musuh menunggu mereka di luar. Ini terjadi pada hari Jum'at, 27 September 1538. Barbarossa mengumpulkan pasukannya untuk mengatur strategi dan memutuskan untuk bergerak keluar dan menghadapi musuh secara langsung. Armadanya melintas keluar Selat Preveza pada hari Sabtu sebelum fajar. Kedua armada besar itu saling berhadap hadapan pada saat matahari baru saja naik. Barbarossa dan armadanya berhasil menerapkan strategi perang secara jitu. Kendati jumlah kapal mereka lebih sedikit, tapi kapal-kapal mereka lebih lincah dan meriam-meriam mereka mampu menjangkau jarak yang lebih jauh. Setelah bertempur selama beberapa jam, armada Barbarossa mampu melumpuhkan separuh armada Kristen. Kekalahan telak yang tak disangka-sangka ini membuat armada pimpinan Andrea Doria itu terpaksa mengundurkan diri. Kaum Muslimin berhasil memenangkan pertempuran besar itu.


Setelah 1538, beberapa pertempuran masih terjadi antara pihak Kristen dan Muslim, dan lebih sering dimenangkan oleh pasukan Muslim. Ketika Charles V berusaha menguasai Aljazair dengan 200 kapal perangnya pada tahun 1541, mereka malah disergap badai di perairan Aljir, dan terpaksa kembali pulang dengan kerugian besar. Di tahun-tahun terakhir hidupnya, Barbarossa sempat ditugasi membantu pasukan Perancis yang pada masa itu bermusuhan dengan Spanyol di bawah kepemimpinan Charles dan memilih untuk bersekutu dengan Turki. Ia membantu Perancis merebut kota Nis pada tahun 1543, kemudian menetap di kota Toulon selama musim dingin, sebelum pergi ke Genoa untuk menegosiasikan pembebasan salah satu anak buah terbaiknya, Turgut Reis.


Khairuddin Barbarossa meninggal dunia dengan damai di Istanbul pada tahun 1546. Ia tetap dikenang sebagai seorang pejuang lautan yang tangguh dan seorang mujahid yang ditakuti musuh-musuhnya di Eropa Barat. Selama masa hidupnya, sebagian besar wilayah Afrika Utara berhasil dibebaskan dari penjajahan Eropa dan perairan Me diterania berhasil diamankan. Setelah wafatnya, kedudukan Khairuddin Barbarossa sebagai Kapudan Pasha dipegang oleh Turgut Reis hingga yang terakhir ini syahid pada tahun 1565 dalam pertempuran menghadapi ordo Saint John di Pulau Malta.


Aruj dan Khairuddin Barbarossa telah meninggalkan sebuah jejak yang mengagumkan dalam lembar sejarah Islam. Akankah Barbarossa-Barbarossa lainnya kembali lahir dari tengah kaum Muslimin generasi modern ini?


pirated from: http://www.facebook.com/photo.php?pid=619692&id=1665633879

read more