Berikut ini hasil sy
bertanya pada ust yang concern di masalah 'ulumul hadits. Semoga bisa menambah
ilmu kita semua.
bismillah..
tadz, ada yang
mempertanyakan tentang sanad Hadits riwayat Ahmad tentang Khilafah:
....ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
dikatakan seperti ini:
"Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut Imam Bukhari, “fihi nazhar”. Inilah sebabnya imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tsb. Di samping itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis’ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tsb. Sehingga “kelemahan” sanad hadis tsb tidak bisa ditolong.Rupanya Habib bin salim itu memang cukup “bermasalah.” Dia membaca hadis tsb. di depan khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz untuk menjustifikasi bahwa kekhilafahan ‘Umar bin Abdul Aziz merupakan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bahwa Habib mencari muka di depan khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan: “Setelah kenabian akan ada khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, lalu akan muncul para raja.”Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh Thabrani (dan dari penelaahan saya ternyata sanadnya majhul). Saya duga hadis Thabrani ini muncul pada masa Mu’awiyah atau Yazid sebagai akibat pertentangan politik saat itu.
Benarkah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad tersebut dha’if? Benarkah Habib bin Salim
Al-anshari tidak tsiqah? Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib al-Hafizh berkata, “Abu
Hatim menyatakan tsiqah. Al-Bukhari menyatakan, fihi nadzar (Beliau m
asih harus diteliti).
Abu Ahmad bin Adi, Laisa fi mutuni ahaditsihi haditsun munkar bal qad
idhtharaba fi asanidi ma ruwiya 'anhu (Pada matan-matan haditnya tidak terdapat
hadits munkar, tetapi ada beberapa sanadnya yang mudhtharib, dan diriwayatkan
darinya).” Kemudian al-Hafizh berkata, “Saya tegaskan, bahwa al-Ajiri
berdasarkan penuturan Abu Dawud menyatakan tsiqah, dan Ibn Hibban memasukannya
dalam kitab ats-Tsiqqat. Dalam kitab Taqribut Tahdzib, beliau menyatakan, La
ba'tsa bihi (Tidak ada masalah dengan beliau).
Ungkapan lebih lengkap
Imam al-Bukhari di atas terdapat dalam kitab at-Tarik al-Kabir. Pada point ke
2606 tercatat, Habib bin Salim Maula an-Nu'man bin Basyir al-Anshari dari
Nu'man, telah meriwayatkan darinya Abu Basyir, Basyir bin Tsabit, Muhammad
al-Muntasyir, Khalid bin Urfuthah dan Ibrahim bin Muhajir dan beliau adalah
sekretaris an-Nu'man fihi nadzar. Pada point ke 3347, ketika al-Bukhari
menyatakan bahwa Yazid bin an-Nu'man bin Basyir sebagai sahabat Umar bin Abdul
Aziz, beliau mengutip pernyataan Habib bin Salim (yang beliau nilai dengan
ungkapan fihi nadzar). Perlu dicatat, bahwa Habib bin Salim al-Anshari adalah
salah satu rijal dalam shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadits
tentang bacaan pada shalat Ied dan Jum'ah dari an-Nu'man bin Basyir, melalui
sanad Yahya bin Yahya, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ishaq, dari Jarir, berkata
Yahya telah memberitahu kami Jarir, dari Ibrahim bin Muhamad bin al-Muntasyir
dari bapaknya dari Habib bin Muslim Maula an-Nu'man bin Basyir dari an-Nu'man
bin Basyir. Artinya menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi
syarat yang telah beliau tetapkan dalam mukaddimah kitab Shahih-nya. Maka, bisa
dimengerti mengapa al-Hafizh dalam Taqribut Tahdzib menyatakan, La ba'sa bihi
(Tidak ada masalah dengan beliau). Ungkapan La ba'sa bihi, menurut ulama' ilmu
ushul hadits, sebagaimana yang diungkapkan oleh as-Sakhawi dalam Fathul
Mughits, secara umum adalah tingkat paling rendah untuk menggolongkan perawi
sebagai perawi yang tsiqah. Ibnu Mu'in, sebagaimana yang dinukil oleh al-Hafizh
ibn Katsir, juga mengungkapkan hal yang senada.
Untuk memahami
pernyataan Imam al-Bukhari, fihi nadzar, al-Hafizh ibn Katsir dalam kitab
al-Ba'its al-Hatsits fikhtishari Ulumi al-Hadits menjelaskan, apabila
al-Bukhari berkata tentang rajul (hadits), Sakatu anhu atau fihi nadzar artinya
fainnahu yakunu fi adna al-manazili wa arda'iha indahu, lakinnahu lathiful
ibarah fit-tajrih (menurut beliau itu ada pada tingkat terendah, tapi beliau
menggunakan ungkapan tajrih dengan cara yang halus). Itulah yang dimaksudkan
oleh Imam al-Bukhari dengan ungkapan fihi nadzar. Agar lebih diskriptif, mari
kita perhatikan apa yang disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi (IV/54), tentang
hadits seorang laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan budak istrinya.
Beliau berkata hadits an-Nu'man di dalam isnad-nya terjadi idhtirab. Beliau
juga berkata, saya mendengar Muhammad (maksudnya al-Bukhari) berkata bahwa
Qatadah tidak mendengar dari Habib bin Salim hadits ini, tapi dia meriwayatkan
dari Khalid bin Urfuthah. Sedangkan dalam kitab Aun al-Ma'bud disebutkan bahwa
at-Tirmidzi berkata, saya bertanya pada Muhammad bin Isma'il (maksudnya
al-Bukhari) tentang Khalid bin Urfuthah, maka beliau berkata saya menahan diri
terhadap hadits ini. Penjelasan at-Tirmidzi ini bisa kita gunakan untuk
memahami arah ungkapan Imam al-Bukhari di atas. Maka, sangat akal kalau
kemudian Imam Muslim, salah satu murid Imam al-Bukhari, mencantumkan dalam kitab
shahih beliau, hadits yang diriwayatkan dari Habib bin Salim.
Bagaimana dengan
pernyataan Imam Ibnu Adi, Laisa fi mutuni ahaditsihi haditsun munkar bal qad
idhtharaba fii asanidi ma ruwiya anhu? Dalam kitab al-Kamil fi Dhua'afa'ir
Rijal. Ibn Adi berkata: "…dan untuk Habib bin Salim hadits-hadits yang
didektekan untuknya, sanadnya memang berbeda-beda, meski pada matan haditsnya
bukan hadits munkar, tetapi terjadi idhtirab pada sanad-sanadnya sebagaimana
yang diriwayatkan darinya oleh Habib bin Abi Tsabit…". Itulah ungkapan
Ibnu Adi tentang Habib bin Salim. Dengan demikian tidak ada alasan yang kuat
untuk mendhaifkan Habib bin Salim al-Anshari. Adapun indikasi idhtirab yang
disampaikan oleh beliau juga bisa dijelaskan dari pernyataan at-Tirmidzi di
atas. Al-Hafizh al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir menjelaskan dengan
mengutip pernyataan al-Hafizh sungguh Habib bin Salim itu ma'ruf (popular)
dalam riwayat dan beliau adalah tabi'in yang ma'ruf. Al-Hafizh al-Iraqi dalam
kitab Mahajjatu al-Qarbi ila Mahabbati al-Arab menegaskan, bahwa hadits ini
shahih. Ibrahim bin Dawud al-Wasithi di-tsiqah-kan oleh Abu Dawud at-Thayalisi
dan Ibnu Hibban, dan rijal lainnya (termasuk) yang dibutuhkan dalam (kitab)
shahih.
Oleh karena itu, Ibn
Hajar al-Haitsami, dalam Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid (V/188),
menyatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ini rijal-nya
tsiqqah. Selain itu, tidak benar bahwa bisyarah nabawiyyah akan datangnya
khilafah tersebut hanya didasarkan pada hadits riwayat Imam Ahmad dan
al-Bazzar. Masih banyak hadits-hadits lain yang maknanya sama dengan hadits
tersebut. Misalnya hadits tentang akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud (VII/68), Ahmad (V/288), at-Thabrani (Musnad
Syamiyyin,VI/149), al-Baihaqi (IX/169) dan Al-hakim (XIX/186).
Jadi, keliru sekali,
kalau ada yang menganggap perjuangan untuk menerapkan hukum melalui Khilafah
hanya didasarkan pada hadits dha'if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
tentang akan datangnya khilafah adalah shahih. Masih banyak hadits-hadits lain
yang bil ma'na menegaskan hal yang sama.
Tentang ungkapan bahwa
hadits khilafah hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan tidak didukung oleh
kitab-kitab hadits yang lain yang masyhur. Ungkapan ini justru lebih menegaskan
keawaman mereka di bidang Musthalah al-Hadits. Di kalangan ulama' hadits
muta'akhirin memang telah sepakat untuk menetapkan lima kitab induk, yaitu
Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan an-Nasa'i dan Sunan
at-Tirmidzi. Sebagian ulama' muta'akhirin yang lain, al-Hafizh Abu Fadhl bin
Thahir menggolongkan satu kitab lagi sehingga menjadi Kutub As-sittah. Beliau
memasukkan Sunan Ibnu Majah. Pendapat ini diikuti oleh al-Hafizh al-Maqdisi,
al-Mizzi, Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Khazraji.
Jadi ini merupakan ikhtiar
para ulama Hadits untuk menentukan grade kualitas kitab-kitab hadits secara
umum. Tentu klasifikasi tersebut tidak mutlak, dan tidak otomatis menafikan
kitab-kitab yang tidak termasuk Kutub al-Khamsah atau Kutub as-Sittah. Seperti
as-Sunan al-Kubra karya al-Hafizh al-Kabir Imam al-Baihaqi, Shahih Ibn
Huzaimah, Shahih Ibnu Hibban, dan lain-lain.
saya sepakat, butuh ketajaman ilmu dan kecemerlangan berpikir dalam memandang segala sesuatu. Tidak pada rasa subjektif yang akhirnya menjadikan kita enggan berpikir dan mencari kebenaran, salah satunya mengenai hadits ini.
BalasHapus#re-blogwalk
tanggapan dengan pernyataan yang "mengambang". :D
Hapussekedar memastikan, bahwa tulisan ini berkesimpulan "Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang akan datangnya khilafah adalah shahih. Masih banyak hadits-hadits lain yang bil ma'na menegaskan hal yang sama."
#just wanna make sure :D
terimakasih telah meninggalkan jejak (balik). :)
maksud saya, banyak orang yang (mungkin) mengetahui hadits mengenai Khilafah adalah shahih, tapi karena perasaan subjektifitas nya terlalu tinggi jadi enggan menerima kebenaran. Padahal, kebenaran itu sudah nampak di depan mata.
BalasHapusokee