Tampilkan postingan dengan label khilafah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label khilafah. Tampilkan semua postingan

25 Sep 2013

tentang lemahnya hadits ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

Berikut ini hasil sy bertanya pada ust yang concern di masalah 'ulumul hadits. Semoga bisa menambah ilmu kita semua.

bismillah..
tadz, ada yang mempertanyakan tentang sanad Hadits riwayat Ahmad tentang Khilafah:
....ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
dikatakan seperti ini:

"Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut Imam Bukhari, “fihi nazhar”. Inilah sebabnya imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tsb. Di samping itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis’ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tsb. Sehingga “kelemahan” sanad hadis tsb tidak bisa ditolong.Rupanya Habib bin salim itu memang cukup “bermasalah.” Dia membaca hadis tsb. di depan khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz untuk menjustifikasi bahwa kekhilafahan ‘Umar bin Abdul Aziz merupakan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bahwa Habib mencari muka di depan khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan: “Setelah kenabian akan ada khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, lalu akan muncul para raja.”
Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh Thabrani (dan dari penelaahan saya ternyata sanadnya majhul). Saya duga hadis Thabrani ini muncul pada masa Mu’awiyah atau Yazid sebagai akibat pertentangan politik saat itu.

Berikut ini penjelasannya:
Benarkah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tersebut dha’if? Benarkah Habib bin Salim Al-anshari tidak tsiqah? Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib al-Hafizh berkata, “Abu Hatim menyatakan tsiqah. Al-Bukhari menyatakan, fihi nadzar (Beliau m
asih harus diteliti). Abu Ahmad bin Adi, Laisa fi mutuni ahaditsihi haditsun munkar bal qad idhtharaba fi asanidi ma ruwiya 'anhu (Pada matan-matan haditnya tidak terdapat hadits munkar, tetapi ada beberapa sanadnya yang mudhtharib, dan diriwayatkan darinya).” Kemudian al-Hafizh berkata, “Saya tegaskan, bahwa al-Ajiri berdasarkan penuturan Abu Dawud menyatakan tsiqah, dan Ibn Hibban memasukannya dalam kitab ats-Tsiqqat. Dalam kitab Taqribut Tahdzib, beliau menyatakan, La ba'tsa bihi (Tidak ada masalah dengan beliau).

Ungkapan lebih lengkap Imam al-Bukhari di atas terdapat dalam kitab at-Tarik al-Kabir. Pada point ke 2606 tercatat, Habib bin Salim Maula an-Nu'man bin Basyir al-Anshari dari Nu'man, telah meriwayatkan darinya Abu Basyir, Basyir bin Tsabit, Muhammad al-Muntasyir, Khalid bin Urfuthah dan Ibrahim bin Muhajir dan beliau adalah sekretaris an-Nu'man fihi nadzar. Pada point ke 3347, ketika al-Bukhari menyatakan bahwa Yazid bin an-Nu'man bin Basyir sebagai sahabat Umar bin Abdul Aziz, beliau mengutip pernyataan Habib bin Salim (yang beliau nilai dengan ungkapan fihi nadzar). Perlu dicatat, bahwa Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu rijal dalam shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadits tentang bacaan pada shalat Ied dan Jum'ah dari an-Nu'man bin Basyir, melalui sanad Yahya bin Yahya, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ishaq, dari Jarir, berkata Yahya telah memberitahu kami Jarir, dari Ibrahim bin Muhamad bin al-Muntasyir dari bapaknya dari Habib bin Muslim Maula an-Nu'man bin Basyir dari an-Nu'man bin Basyir. Artinya menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam mukaddimah kitab Shahih-nya. Maka, bisa dimengerti mengapa al-Hafizh dalam Taqribut Tahdzib menyatakan, La ba'sa bihi (Tidak ada masalah dengan beliau). Ungkapan La ba'sa bihi, menurut ulama' ilmu ushul hadits, sebagaimana yang diungkapkan oleh as-Sakhawi dalam Fathul Mughits, secara umum adalah tingkat paling rendah untuk menggolongkan perawi sebagai perawi yang tsiqah. Ibnu Mu'in, sebagaimana yang dinukil oleh al-Hafizh ibn Katsir, juga mengungkapkan hal yang senada.

Untuk memahami pernyataan Imam al-Bukhari, fihi nadzar, al-Hafizh ibn Katsir dalam kitab al-Ba'its al-Hatsits fikhtishari Ulumi al-Hadits menjelaskan, apabila al-Bukhari berkata tentang rajul (hadits), Sakatu anhu atau fihi nadzar artinya fainnahu yakunu fi adna al-manazili wa arda'iha indahu, lakinnahu lathiful ibarah fit-tajrih (menurut beliau itu ada pada tingkat terendah, tapi beliau menggunakan ungkapan tajrih dengan cara yang halus). Itulah yang dimaksudkan oleh Imam al-Bukhari dengan ungkapan fihi nadzar. Agar lebih diskriptif, mari kita perhatikan apa yang disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi (IV/54), tentang hadits seorang laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan budak istrinya. Beliau berkata hadits an-Nu'man di dalam isnad-nya terjadi idhtirab. Beliau juga berkata, saya mendengar Muhammad (maksudnya al-Bukhari) berkata bahwa Qatadah tidak mendengar dari Habib bin Salim hadits ini, tapi dia meriwayatkan dari Khalid bin Urfuthah. Sedangkan dalam kitab Aun al-Ma'bud disebutkan bahwa at-Tirmidzi berkata, saya bertanya pada Muhammad bin Isma'il (maksudnya al-Bukhari) tentang Khalid bin Urfuthah, maka beliau berkata saya menahan diri terhadap hadits ini. Penjelasan at-Tirmidzi ini bisa kita gunakan untuk memahami arah ungkapan Imam al-Bukhari di atas. Maka, sangat akal kalau kemudian Imam Muslim, salah satu murid Imam al-Bukhari, mencantumkan dalam kitab shahih beliau, hadits yang diriwayatkan dari Habib bin Salim.

Bagaimana dengan pernyataan Imam Ibnu Adi, Laisa fi mutuni ahaditsihi haditsun munkar bal qad idhtharaba fii asanidi ma ruwiya anhu? Dalam kitab al-Kamil fi Dhua'afa'ir Rijal. Ibn Adi berkata: "…dan untuk Habib bin Salim hadits-hadits yang didektekan untuknya, sanadnya memang berbeda-beda, meski pada matan haditsnya bukan hadits munkar, tetapi terjadi idhtirab pada sanad-sanadnya sebagaimana yang diriwayatkan darinya oleh Habib bin Abi Tsabit…". Itulah ungkapan Ibnu Adi tentang Habib bin Salim. Dengan demikian tidak ada alasan yang kuat untuk mendhaifkan Habib bin Salim al-Anshari. Adapun indikasi idhtirab yang disampaikan oleh beliau juga bisa dijelaskan dari pernyataan at-Tirmidzi di atas. Al-Hafizh al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir menjelaskan dengan mengutip pernyataan al-Hafizh sungguh Habib bin Salim itu ma'ruf (popular) dalam riwayat dan beliau adalah tabi'in yang ma'ruf. Al-Hafizh al-Iraqi dalam kitab Mahajjatu al-Qarbi ila Mahabbati al-Arab menegaskan, bahwa hadits ini shahih. Ibrahim bin Dawud al-Wasithi di-tsiqah-kan oleh Abu Dawud at-Thayalisi dan Ibnu Hibban, dan rijal lainnya (termasuk) yang dibutuhkan dalam (kitab) shahih.

Oleh karena itu, Ibn Hajar al-Haitsami, dalam Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid (V/188), menyatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ini rijal-nya tsiqqah. Selain itu, tidak benar bahwa bisyarah nabawiyyah akan datangnya khilafah tersebut hanya didasarkan pada hadits riwayat Imam Ahmad dan al-Bazzar. Masih banyak hadits-hadits lain yang maknanya sama dengan hadits tersebut. Misalnya hadits tentang akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (VII/68), Ahmad (V/288), at-Thabrani (Musnad Syamiyyin,VI/149), al-Baihaqi (IX/169) dan Al-hakim (XIX/186).

Jadi, keliru sekali, kalau ada yang menganggap perjuangan untuk menerapkan hukum melalui Khilafah hanya didasarkan pada hadits dha'if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang akan datangnya khilafah adalah shahih. Masih banyak hadits-hadits lain yang bil ma'na menegaskan hal yang sama.

Tentang ungkapan bahwa hadits khilafah hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan tidak didukung oleh kitab-kitab hadits yang lain yang masyhur. Ungkapan ini justru lebih menegaskan keawaman mereka di bidang Musthalah al-Hadits. Di kalangan ulama' hadits muta'akhirin memang telah sepakat untuk menetapkan lima kitab induk, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan an-Nasa'i dan Sunan at-Tirmidzi. Sebagian ulama' muta'akhirin yang lain, al-Hafizh Abu Fadhl bin Thahir menggolongkan satu kitab lagi sehingga menjadi Kutub As-sittah. Beliau memasukkan Sunan Ibnu Majah. Pendapat ini diikuti oleh al-Hafizh al-Maqdisi, al-Mizzi, Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Khazraji.

Jadi ini merupakan ikhtiar para ulama Hadits untuk menentukan grade kualitas kitab-kitab hadits secara umum. Tentu klasifikasi tersebut tidak mutlak, dan tidak otomatis menafikan kitab-kitab yang tidak termasuk Kutub al-Khamsah atau Kutub as-Sittah. Seperti as-Sunan al-Kubra karya al-Hafizh al-Kabir Imam al-Baihaqi, Shahih Ibn Huzaimah, Shahih Ibnu Hibban, dan lain-lain.
read more

2 Agu 2012

Tanya Jawab seputar khilafah

 1. Apa yang disebut Khilafah..?

Jawab: Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim untuk menerapkan syariat Islam di dalam negeri dan mendakwahkannya ke luar negeri.

2. Apa yang menjadi substansi dari gagasan Khilafah tersebut?

Jawab: Pertama, kehidupan yang di dalamnya diterapkan syariat Islam dalam seluruh sendi kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang menyangkut aspek ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlak maupun muammalat serta ‘uqubah. Kedua adalah bersatunya kembali umat Islam yang kini bercerai berai dalam lebih dari 50 negara, di bawah naungan Khilafah Islamiyah dengan seorang Khalifah sebagai pemimpinnya.

3. Apakah Khilafah ada dalam al-Quran?

Jawab: Tentu. Khilafah berasal dari kata al-Khalfu (khalafa – yakhlufu) yang berarti belakang. Lalu berkembang menjadi: Khalfun, khalifah, khilafah, khalaif, khulafa, dan ikhtilaf. Di dalamnya terkandung makna pengganti, generasi, pemimpin dan pewaris bumi. Ada 127 ayat yang mengandung kata dan turunan Khilafah. Misal, al-Baqarah 11 kali, Ali Imran 7 kali, an-Nisa 3 kali, dan lain-lain

Kha–la–fa juga berarti kepemimpinan. Misalnya, terdapat dalam makna:

    * Generasi pengganti (al-A’raf: 169, Maryam: 59)
    * Suksesi generasi dan kepemimpinan (al-An’am: 165, Yunus: 14 dan 73, Fathir: 39)
    * Proses dan janji pemberian mandat kekuasaan dari Allah (an-Nuur: 55)
    * Pemegang mandat kekuasaan dan kewenangan dari Allah (al-Baqarah: 30, Shad: 26)

Jadi, kata Khalifah/Khilafah dalam arti kepemimpinan jelas ada dalam al-Quran.

4. Bagaimana makna Khilafah menurut as-Sunnah?

Jawab: Ada hadist-hadist yang secara keseluruhan diriwayatkan oleh 25 shahabat, 39 tabi’in dan 62 tabi’it tabi’in. Dalam hadist disebutkan khilafah atau imamah, pemimpinnya disebut khalifah, imam, atau amirul mukminin. Semuanya mengandung arti yang sama; yakni kepemimpinan umum bagi kaum Muslimin untuk menerapkan Islam di dalam negeri dan mendakwahkannya ke luar negeri.

5. Pendapat ulama tentang Khilafah?

Jawab: Seluruh ulama sepakat tentang wajibnya Khilafah, termasuk kalangan ulama dari kalangan ahlu sunnah wal jama’ah. Misalnya:

    * Imam al-Juwaini, “Imamah (khilafah) adalah kepemimpinan menyeluruh serta kepemimpinan yang berhubungan dengan urusan khusus dan umum dalam kaitannya dengan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia” (al-Juwaini, Ghiyats al-Umam hal: 5)
    * “Khilafah membawa semua urusan kepada apa yang dikehendaki oleh pandangan dan pendapat syar’I tentang berbagai kemaslahatan akhirat dan dunia yang rojih bagi kaum Muslim. Sebab, seluruh keadaan dunia, penilaiannya harus merujuk kepada asy-Syari’ (Allah SWT) agar dapat dipandang sebagai kemaslahatan akhirat. Jadi Khilafah, pada hakikatnya adalah Khilafah dari Shahib asy-Syari’, yang digunakan untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia” (Ibn Khaldun, Muqaddimah hlm: 190)
    * “Jumhur ulama telah bersepakat bahwa wajib ada seorang imam (khalifah) yang menegakan sholat jumat, mengatur para jamaah, melaksanakan hudud, mengumpulkan harta dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, menjaga perbatasan, menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan hakim-hakim yang diangkatnya, menyatukan kalimat (pendapat) umat. menerapkan hukum-hukum syariah, mempersatukan golongan-golongan yang bercerai-berai, menyelesaikan berbagai problem, dan mewujudkan masyarakat yang utama” (Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah hal: 88)
    * “Khilafah merupakan kedudukan agama terpenting dan selalu diperhatikan oleh kaum Muslimin. Syariah Islam telah menetapkan bahwa mendirikan Khilafah adalah satu kewajiban mendasar di antara kewajiban-kewajiban agama. Bahkan dia adalah kewajiban terbesar (al-Fardh al-A’zham). Sebab, padanyalah bertumpu/bergantung pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya” (ar-Rais, al-Islam wa al-Khilafah hal: 99)
    * “Para ulama telah sepakat bahwa imamah (Khilafah) adalah fardlu dan adanya imam merupakan keniscayaan; kecuali sekte an-Najadat (al-Khawarij) – pendapat mereka sesungguhnya telah menyalahi ijma’ “(Imam al-Hafizh Muhamad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri, Maratib al-Ijma’ hal: 1/124). Pernyataan Ibn Hazm di atas juga dikuatkan oleh Imam asy-Syaukani, Nayl al-Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar, XIII/290
    * “Mewujudkan Imamah (Khilafah) adalah fardlu kifayah, sebagaimana peradilan” (Imam al-Hafidz abu Yahya Zakaria al-Anshori, Fath al-Wahab bi Syarhi Minhaj ath-Thullab, II/268)
    * Pendapat senada juga terdapat dalam beberapa kitab lain, di antaranya: Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfadz al-Minhaj (XVI/287); Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj (XXXIV/159); Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (XXV/419); Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umayrah (XV/102)


6. Tapi, bukankah Khilafah itu hanya 30 tahun saja, selebihnya kerajaan?

Jawab: Memang ada hadist yang seakan-akan menunjukan hal itu. Misalnya hadist:
“Setelah aku, khilafah yang ada pada umatku hanya berumur 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan” (HR. Imam ahmad, Tirmidzy dan Abu Ya’la dengan isnad hasan)
Namun sebenarnya yang 30 tahun itu bukan khalifah secara keseluruhan melainkan Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwwah. Hal ini jelas bila dihubungkan dengan hadist:

“Sesungguhnya awal dari agama ini adalah nubuwwah dan rahmat, setelah itu akan tiba masa Khilafah dan rahmat, setelah itu akan datang masa raja-raja dan para diktator. Keduanya akan membuat kerusakan di tengah-tengah umat. Mereka telah menghalalkan sutra, khamer dan kefasidan. Mereka selalu mendapatkan pertolongan dalam mengerjakan hal-hal tersebut; mereka juga mendapatkan rizki selama-lamanya, sampai menghadap kepada Allah SWT” (HR. Abu Ya’la dan al-Bazar dengan isnad hasan)

Al-Hafidz Ibn Hajar dalam fath al-Bariy berkata, “Yang dimaksud Khilafah pada hadist ini adalah Khilafah an-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu’awiyyah dan khalifah-khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya raja-raja. akan tetapi tetap mereka tetap dinamakan sebagai khalifah”. Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Abu Dawud,
“Khilafah nubuwwah itu berumur 30 tahun”. (HR. abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud No.4646, 4647)

Jadi, awalnya negara nubuwwah dan rahmah pimpinan Rasulullah Saw., dilanjutkan selama 30 tahun oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Itulah Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwwah. Berikutnya, para penguasa yang kadang mengalami penyimpangan tapi tetap menjalankan syariat Islam dan diangkat memalui bai’at. Mereka tetap Khalifah. Dan kelak akan ada lagi Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwwah.

7. Mungkinkah menerapkan syariat Islam tanpa Khilafah?

Jawab: Kalau bersifat individual atau kelompok mungkin saja. Misalnya, shalat, shaum, dan lain-lain bisa dilakukan tanpa perlu menunggu adanya Khilafah. Tapi, bersatunya kaum mukmin, pembelaan terhadap umat Islam yang dibantai, mengambil lagi harta kekayaan yang dirampas negara penjajah, menyediakan kebutuhan pokok, menjamin kesehatan dan pendidikan warga, dan lain-lain, mutlak memerlukan Khilafah. Sebab, kalau bukan Khilafah yang menjadi benteng (seperti kata Nabi), lalu apa? Jadi, penerapan Islam kaffah mengharuskan adanya Khilafah.

8. Apa kerugian bila tidak ada Khilafah?

Jawab: Banyak sekali, di antaranya umat Islam kehilangan:

    * Keridloan Allah SWT. Keridloan Allah SWT dapat dicapai dengan mengikuti seluruh hukum dan aturan-NYA dengan penuh ketaatan sebagaimana dipraktekan oleh Nabi kita Muhammad Saw. Dengan kata lain menegakan Khilafah Islam yang merujuk pada syariat baik urusan di dalam negeri maupun luar negeri pada setiap aspek kehidupan.
    * Hilangnya Imam atau Khalifah atau Amirul Mukminin, di mana dibai’at kepadanya merupakan suatu yang amat vital bagi setiap Muslim. Rasulullah Saw bersabda:

      “Barangsiapa yang mati sedangkan dipundaknya tidak ada bai’at, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyyah”

      Saya ingin anda membayangkan bagaimana berdosanya kaum Muslim sejak runtuhnya Khilafah Utsmani tahun 1924 M/1342 H yang merupakan Khilafah terakhir. Akhirnya secara spontan banyak yang hilang ketika kaum Muslim kehilangan legitimasi kepemimpinan ini dan kehilangan lainnya menyusul seperti bola salju.
    * Hilangnya rasa aman dan jaminan keamanan yang menyebabkan ketakutan.
    * Hilangnya ilmu pengetahuan, pendidikan dan kepedulian yang lahir dari kepribadian Islam. Hal ini disebebkan oleh dominannya kebodohan dan buta huruf yang diakibatkan oleh kemiskinan dan kepribadian yang goyah.
    * Hilangnya kekuatan dan jihad yang disebebkan kelemahan dan kekalahan.
    * Hilangnya kekayaan yang disebabkan kemiskinan.
    * Hilangnya pencerahan dan pedoman yang benar dan disebabkan kegelapan dan pedoman yang salah.
    * Hilangnya kehormatan dan martabat yang disebabkan penghinaan.
    * Hilangnya kedaulatan dan ketergantungan dalam membuat keputusan politik akibat ketundukan kepada negara-negara penjajah kafir barat dan timur.
    * Hilangnya keadilan yang disebabkan penindasan dan ketidakadilan.
    * Hilangnya keimanan dan keikhlasan yang disebabkan pengkhianatan penempatan orang yang salah pada tempat yang salah.
    * Hilangnya sikap dan moral yang teruji yang menyebabkan kejahatan dan sikap yang tercela.
    * Hilangnya negeri-negeri Islam dan tempat tinggal, tidak hanya Palestina, tetapi juga Andalusia (sekarang yang disebut Spanyol dan Portugal), wilayah yang luas di Asia Tengah dan Timur Jauh, Kosovo, Bosnia, Kashmir, dan yang lainnya, yang menyebabkan jutaan imigran, gelombang pengungsian dan pendeportasian.
    * Hilangnya tempat suci dan akibatnya adalah kaum Muslim dilarang shalat di Masjid al-Aqsha selama 50 tahun sampai saat ini. Kami juga menyesalkan untuk mengatakannya kepada anda bahwa dua masjid lainnya pun ; yaitu Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi tidak di dalam kondisi yang diinginkan.
    * Hilangnya kesatuan dan integritas yang diakibatkan terpecahnya negeri kaum Muslim menjadi 56 bagian yang tidak sah, dan AS tengah bekerja keras menciptakan bagian ke 57 di Palestina, ke 58 di gurun Afrika Barat dan ke 59 di Timor Timur.

9. Benarkah Khilafah itu otoriter?

Jawab: Tidak Benar. Sebab, rakyat baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama wajib melakukan koreksi (muhasabah). Kalau menyimpang dari Islam, Khalifah diluruskan. Bahkan, bila melakukan kekufuran yang nyata dapat diperangi.

10. Bagaimana kebijakan Khilafah tentang penyelesaian kemiskinan?

Jawab: Khilafah menjamin kebutuhan pokok. Tolak ukur kesejahteraan rakyat sangatlah sederhana, misalnya, berapa banyak orang yang tidak punya rumah, pengemis, pengangguran, sakit dan tak mampu berobat, dan lain-lain. Jadi, sandang, pangan dan papan dijamin. Tidak boleh ada yang kelaparan sehingga rakyat makan aking dan gaplek. Pendidikan dan kesehatan pun gratis.

11. Bagaimana Khilafah memperlakukan warga negaranya yang non muslim?

Jawab: Dalam kehidupan pribadi, implementasi syariat Islam terhadap warga dilakukan secara berbeda mengikuti agama yang dianut. Bagi seorang Muslim tentu ia harus mengikuti syariat. Ia wajib melaksanakan ibadah, menjaga makanan minuman halal, selalu menutup aurat dan berakhlak mulia. Sementara, bagi non muslim dia tidak wajib mengikuti syariat Islam, tapi mengikuti ajaran agamanya masing-masing. Menyangkut masalah pakaian, makanan atau minuman dan ibadah, pendek kata semua yang berkenaan dengan keyakinan agama, mereka tidak wajib mengikuti syariat Islam karena dalam Islam memang tidak boleh ada paksaan.

Dalam kehidupan publik, baik menyangkut aspek ekonomi, politik, sosial, pendidikan, dan sebagainya –warga muslim maupun non muslim—semuanya wajib mengikuti syariat Islam. Larangan bermuamalah secara ribawi atau larangan berzina, menjual makanan minuman haram, mencuri, melakukan tindak kriminal, dan sebagainya, semua itu berlaku untuk muslim maupun non muslim. Termasuk misalnya bila dalam kehidupan Islam itu berhasil diwujudkan pendidikan bebas biaya, layanan kesehatan murah dan bermutu atau kegiatan bisnis yang kondusif serta kehidupan yang aman, damai dan sejahtera, serta infrastruktur transportasi, telekomunikasi, penerangan dan tata kota yang canggih, semua itu juga akan dinikmati oleh muslim maupun non muslim tanpa kecuali. Di sinilah rahmat Islam bagi sekalian alam yang dijanjikan itu akan terwujud.

12. Sejarah menunjukan bahwa ke-Khilafahan penuh dengan sejarah buruk?

Jawab: Perlu disadari, catatan sejarah buruk bukan hanya monopoli sejarah kaum Muslim di bawah Khilafah Islamiyyah. Penggalan sejarah buruk merupakan keniscayaan dalam sejarah manusia. Semua itu ada dan terjadi di semua sejarah bangsa dan umat manusia. Dalam sejarah nasionalisme dan nation-state sangat banyak sejarah buruk yang bahkan lebih buruk dari apa yang terjadi dlm sejarah kaum Muslim. Demikian pula dalam sejarah Sosialisme-Komunisme; apalagi Kapitalisme. Meski di sisi lain tercapai kemajuan sains dan teknologi, keburukan malah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan kedua idiologi itu & terjadi secara terus-menerus. Jika terhadap sistem Khilafah Islamiyyah, catatan buruk dlm sejarahnya dijadikan dalih untuk menjelekkan dan menghina serta menolak sistem Khilafah, mengapa hal yang sama tidak dilakukan terhadap demokrasi kapitalisme, dan sebagainya; padahal di dalam sejarahnya banyak terdapat catatan yang jauh lebih buruk? Kemiskinan dan kelaparan di Dunia Ketiga, kesenjangan ekonomi antara negar-negara maju dengan negara dunia ketiga, konflik & perang antara bangsa yang terus menerus, dan terutama penjajahan negara-negara kapitalis besar seperti AS dan sekutunya atas negara lain, khususnya negeri-negeri Islam justru terjadi & tidak pernah berhenti hingga detik ini ketika idiologi kapitalisme dan demokrasi mendominasi dunia.

Jika semata karena adanya catatan buruk dlm sejarah lantas sistemnya ditolak, bahkan dihina, maka seluruh sistem yang ada dan pernah dikenal harus ditolak pula. Jelas, hal demikian tidak bisa diterima oleh akal sehat. Karenanya, menjadikan catatan buruk sejarah Khilafah untuk menolak sistem Khilafah jelas tidak pada tempatnya dan hanya dalih yang dicari-cari.

Sejarah Khilafah adalah catatan ttg penerapan dari konsepsi sistem Khilafah. Konsepsi ttg Khilafah sendiri merup pemikiran dan hukum ttg sistem Khilafah yang digali dari dalil2 syariah. Jadi, sangat jelas bahwa sejarah bukanlah konsepsi sistem Khilafah itu sendiri. Sejarah itu hanyalah obyek pemikiran, yaitu obyek yang hendak dinilai berdasarkan sumber pemikiran atau dalilnya. Dengan menganalisis sejarah khilafah dan membandingkannya dengan konsepsi Khilafah, mk akan bisa disimpulkan bahwa sejarah itu merup pelaksanaan atau sebaliknya; penyimpangan dari konsep Khilafah. Pelaksanaannya pun masih bisa dinilai apakah sebagai pelaksanaan yang baik dan ideal dari konsepsinya; atau sebaliknya. Sejarah buruk itu merup penyimpangan atau pelaksaan buruk dari sistem Khilafah Islamiyyah. Itu hanya sebagian dari sejarah Khilafah. Karena itu, menolak sistem Khilafah dengan alasan penggalan sejarah buruk yang pernah terjadi berarti telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya; yaitu menempatkan obyek menjadi sumber pemikiran atau dalil. Jelas ini sikap seorang pengecut atau sikap yang tidak fair.
Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal" (TQS Yunus [12]: 111)

Ayat ini memerintahkan agar kita mengambil pelajaran dari perjalanan umat-umat terdahulu. Mengambil pelajaran dari perjalanan kaum Muslim tentu lebih utama. Karena itu, membincangkan atau memperdebatkan sejarah buruk itu semata merup sikap yang tidak produktif. Sikap yang seharusnya sesuai dengan ayat di atas adl mengambil pelajaran darinya. Hal itu bisa dilakukan dengan mendalami dan menganalisis peristiwanya, kemudian menilainya dan mendudukkan perkaranya sesuai dengan ketentuan syariah, selanjutnya mencegah agar kesalahan serupa tidak terulang lagi ketika Khilafah Islamiyyah berdiri kembali.

Juga, banyak di sisi lain khilafah yang justru gemilang.

Paul Kennedy dalam The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000, menulis tentang kekhilafahan utsmani dengan: “Imperium Utsmani, lebih dari sekedar mesin militer. Dia telah menjadi penakluk elite yang mampu membentuk kesatuan iman, budaya dan bahasa pada sebuah area lebih luas dari yang dimiliki imperium Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih besar” (Lihat juga pendapat senada dari William Durant)

13. Bagaimana Khilafah mempersatukan umat yang sudah tersekat-sekat nasionalisme dan nation state?

Jawab: Dulu, berbagai kabilah di Jazirah Arab yang selama itu tidak pernah akur, dapat disatukan oleh Nabi dan para Khalifah sesudahnya.

Pertama, tanamkan kekuatan ruhiyah. Orang Arab tidak lebih baik dari non Arab; begitu juga sebaliknya. Jadi, siapapun siap bersatu dengan dipimpin oleh siapapun. Kalau selama ini suku-suku di Indonesia siap dipimpin oleh orang dari Jawa, semestinya siap juga dipimpin oleh bangsa apapun dan memimpin bangsa apapun.

Kedua, secara realitas, dunia makin menjadi dusun kecil. Istilah globalisasi telah menjadi kenyataan yang tidak dapat ditawar lagi. Dunia islam pun dalam kenyataannya ‘menyatu’ dalam sistem dunia. Mulai dari moneter, standar mata uang, hingga penanganan flu burung dilakukan secara global. Jadi, kenyataannya, dunia tengah menyatu. Karenanya, persoalannya bukan pada bersatunya, melainkan pada apakah kapitalisme global akan tetap dijadikan dasar akan kebersatuan dunia itu atau Islam dengan kekhilafahannya.

Ketiga, salah satu kewajiban kita adalah bersatu. Kaum Muskmin bersaudara laksana satu bangunan dan satu tubuh, dan haram berpecah belah. Bukankah Tuhan kita sama: Allah SWT; kitabnya sama: al-Quran; Rasulnya sama: Muhammad Saw; kiblatnya sama: Baitullah? Semua itu merupakan kekuatan ruhiyah yang akan menyatukan umat melewati batas-batas nasinalisme. Bila dengan alasan material Uni Eropa dapat bersatu, maka dengan alasan umat Islam adalah umat yang satu (ummah wahidah) semestinya umat Islam dapat bersatu melebihi mereka.

14. Tapi bukankah setiap negara Islam memiliki national interest yang berbeda-beda?

Jawab: Kalaulah setiap negara muslim berpikir seperti para pemimpin negara-negara Eropa saat ini, persoalan itu mudah saja diatasi. Bukankah negara-negara Eropa itu juga memiliki national interest masing-masing? Kenapa kemudian mereka bisa mudah melebur dalam Uni Eropa? Sekarang mereka terus bergerak. Di bidang Imigrasi, bahkan sudah diperbolehkan satu visa untuk 14 negara; mungkin sekarang sudah lebih. Mata uang sudah satu. Sebentar lagi mungkin pertahan dan militer, kemudian parlemen. Nanti akan ada pemilu untuk Eropa dan sebagainya. Jadi kenapa umat Islam tidak bisa begitu? Umat Islam lebih punya dasar teologis dan historis. Secara teologis, jelas sekali dalil yang mewajibkan kita mewujudkan dan menjaga persatuan umat. Secara historis, kita tinggal meneruskan apa yang sudah umat Islam alami di masa lalu, di masa kejayaan kekhilafahan Islam.

15. Bagaimana menyatukan keragaman?

Jawab: Keragaman tidak selalu harus disatukan. Beberapa ayat al-Quran dan as-Sunnah, termasuk pada masa Rasulullah Saw dan para shahabat, menunjukan kehidupan di dalam kekhilafahan membiarkan keragaman. Keragaman budaya, adat, etnis dan lain-lain dipandang sebagai alami agar manusia saling mengenal (lihat quran surat al-Hujurat: 13). Bahkan, tidak sedikit pernikahan antar etnis terjadi. Wali Songo yang kebanyakan dari Timur Tengah menikah dengan puteri Jawa. Agama2 yang beraneka ragam diberi kebebasan hidup, karena tidak ada paksaan bagi non Muslim untuk berpindah menganut Islam (lihat quran surat al-Baqarah: 256). Beraneka madzhab pun berkembang. Dulu, ada puluhan madzhab, sekalipun yang banyak dikenal hingga kini hanya empat saja. Keragaman yang disatukan hanyalah keragaman yang apabila dibiarkan akan memporakpandakan tatanan masyarakat. Jadi, keragaman, bukanlah merupakan kesulitan dalam penegakan Khilafah.

16. Bagaimana mekanisme pemilihan Khalifah di tengah perbedaan etnik, mazhab dan kepentingan politik?

Jawab: Dari sisi pemahaman harus sama bahwa siapapun yang yang memenuhi syarat in’iqad, boleh menjadi Khalifah; tanpa membedakan etnis dan mazhab. Syarat keturunan Quraisy bukanlah syarat utama, melainkan syarat keutamaan (afdloliyah). Adanya kekhilafahan Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyyah menunjukkan hal ini. Realitas pun menunjukkan, Cina dapat mengurus rakyat yang jumlahnya 1,5 milyar dengan berbagai keragamannya, maka sejatinya umat Islam pasti lebih bisa mengurus kaum Muslim dunia sebesar itu juga.

Pada sisi lain, mekanisme pemilihan Khilafah melalui pemilihan, baik langsung maupun lewat perwakilan Majelis Umat/MU (ahlul halli wal aqdi). Dengan merujuk jejak pada Khulafaur Rasyidin dapat dilaksanakan mekanisme berikut. Di daerah di lakukan pemilihan para anggota Majelis Wilayah/MW (wakil umat di daerah) langsung oleh rakyat daerah masing-masing. Yang dipilih adalah bukan gambar partai atau organisasi; melainkan langsung orangnya. MW benar-benar menjadi representasi daerahnya. Lalu, para anggota MW memilih sejumlah orang di antara mereka untuk menjadi MU. Jadi, MU pun merasakan representasi umat secara keseluruhan. Persoalan etnik dan mazhab tidak akan menjadi masalah karena dapat diselesaikan dengan mekanisme tersebut.

Sementara itu, kepentingan politik ditampung dengan dibiarkan adanya partai-partai politik dan organisasi. Tidak perli izin, cukup pemberitahuan kepada pemerintah. Syaratnya, dasar oraganisasi adalah Islam dan untuk kepentingan Islam. Partai/organisasi ini dapat menyiapkan kader-kadernya untuk menjadi MW, MU atau khalifah, yang beradu kualitas dalam pemilihan.

17. Bagaimana cara menuju tegaknya Khilafah?

Jawab: Inti dari persoalan ini adalah kesadaran masyarakat. Masyarakat yang sadar akan kewajiban penerapan syariah dan menyatu dalam khilafah akan berupaya untuk mewujudkannya. Bila masyarakat ini didukung oleh ahlu quwwah (militer dan lain-lain), lalu memberikan kekuasaannya kepada pemimpin Islam untuk menjadi Khalifah, maka tidak ada siapapun yang dapat menghalanginya. Sebab, kekuasaan ada di datang rakyat. Hanya saja, memang negeri-negeri kaum Muslimin harus melepaskan diri dari kungkungan dan penjajahan negara-negara besar. Untuk itu, perlu ada upaya di tiap negeri Muslim untuk menggerakan umat bersatu dalam Khilafah. Perlu gerakan TRANSNASIONAL.

Pada awalnya gerakan Khilafah Islmiyyah tetaplah merupakan sebuah unit negara. Proses berikutnya, dia akan mengembangkan wilayah dan pengaruhnya itu ke negara-negara lain yang penduduknya mendukung gagasan penyatuan negara mereka ke dalam Khilafah. Misalnya, khilafah berdiri tegak di Mesir, maka khalifah akan berusaha menyatukan wilayah disekitarnya, entah itu Libya, Sudan, Aljazair, Maroko, atau bahkan wilayah yang lebih jauh seperti Palestina, Syiria, Yordanisa, Irak, Iran, dan lain-lain.

18. Kita ini lemah, padahal ada negara besar siap menghadang?

Jawab: Alasan ini memang bukan isapan jempol. G.W. Bush menegaskan akan menyerang siapapun yang mengiginkan pendirian kembali kekhilafah Islam di Timur Tengah; sebagai bagian dari “perang melawan teror”. Realitas ini bukanlah perkara baru. Rasulullah Saw. sejak awal dikepung dan diusir. Setelah berhasil menegakkan daulah nubuwwah wa rahmah pimpinan Nabi, mereka siap diserbu oleh kaum kafir Quraisy serta menghadapi tantangan dari dua negara besar kala itu; Persia dan Romawi. Tapi, hal ini justru menjadi pintu kemenangan yang lebih besar. “(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul-NYA) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung” (lihat quran surat Ali ‘Imran ayat 173). Jadi, secara I’tiqodi dan historis ancaman tersebut merupakan sunnatullah. Tapi, kemenangan Islam dan umatnya pun merupakan janji dari Allah Pencipta Alam Semesta. Lalu, sebenarnya kita. Masalahnya, karena kita tidak bersatu, maka banyak di antara kaum Muslim yang merasa lemah. Bayangkan, Indonesia saja membentang dari Inggris hingga Turki dan dari Polandia/Jerman hingga Yogaslavia, atau membentang dari Maroko sampai Yaman, dan dari Chad samapi Tunisia.

19. Ada yang menilai konteks kekhilafahan ini tidak cocok bagi Indonesia?

Jawab: Boleh saja siapapun memberikan pendapat itu. Tapi, justru kita harus mempertanyakan ketidakcocokan itu di mana? Inti dari Khilafah itu adalah syariah dan yang kedua adalah persatuan (ukhuwah). Syariah itu kita perjuangkan dengan keinginan mendalam untuk menggantikan Sekulerisme yang telah memimpin Indonesia selama 60-an; akan tetapi tidak memberikan apa-apa kecuali berbagai persoalan. Sementara persatuan bukan hanya kewajiban melainkan tuntutan fitrah manusia. Sekedar menambahkan referensi tentang keterkaitan Indonesia dengan Khilafah, bisa dibaca di sini.

20. Bagaimana dengan Pancasila?

Jawab: Harus diakui, Pancasila hanya merupakan sekumpulan prinsip-prinsip dasar yang sangat umum sehingga dapat ditarik kesana-kemari; tergantung penguasanya. Lihatlah perjalan negeri kita dari Orde Lama hingga Orde Reformasi. Dalam realitasnya untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, kebodohan, kezhaliman, ketidakadilan, penjajahan, dan lain-lain, Pancasila tidaklah memadai. Tidak operasional. Karenanya, perlu ada yang operasional. Itulah syariat dan sistem Khilafahnya. Jadi, gagasan syariat dan Khilafah merupakan solusi yang dapat membebaskan Indonesia dan umat secara keseluruhan dari krisis multidimensi. Sosialis-Komunis terbukti gagal, Kapitalisme justru menghasilkan tatanan penuh krisis seperti sekarang. Kalau bukan syariat dan Khilafah yang diperintahkan al-Quran dan as-Sunnah, lalu apa?

21. Ada sejumlah kalangan berpendapat, ide Khilafah ini akan mengancam NKRI?

Jawab: Mengancam dari sisi mana? Khilafah dan syariah itu akan menggantikan sekulerisme. Di mana sekulerisme sudah membuat celaka negeri kita; justru yang mengancam itu sekulerisme dan kapitalisme global. Fakta sudah nyata. Ukhuwah justru akan mensolidkan negara dari ancaman separatisme yang mengancam. Bentuk separatisme, seperti RMS dan Papua Merdeka, itu yang mengancam, dan bukannya Khilafah. Khilafah malah akan menyelamatkan NKRI dari kehancuran.

Apakah belum tahu bahwa para pejuang syariah dan Khilafah sangat concern pada usaha menjaga NKRI? Tatkala Timtim lepas, para pejuang syariah dan Khilafah menyampaikan pada media massa, bahwa kami akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh 25 tahun! Saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki dan tatkala kalangan tentara khawatir dengan hasil Perjanjian Helnsinki, para pejuang syariah dan Khilafah-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari NKRI dan agar NKRI jangan berada di bawah ketiak pihak asing! Bahkan kalangan militer sampai melihat para pejuang syariah dan Khilafah ‘lebih nasionalis’ dari organisasi dan partai-partai nasional… Salah seorang pejuang syariah dan Khilafah pernah berkata kepada Perwira Mabes AD yang mewakili KSAD, bahwa kami tidak hanya ingin memelihara keutuhan wilayah NKRI, bahkan ingin agar wilayah NKRI lebih besar daripada yang ada sekarang ini! Dengan sistem Pemerintahan syariah, yakni Khilafah Islamiyyah, hal itu sangat mungkin terwujud.

22. Tapi, ‘kan ide Khilafah meniscayakan adanya perubahan NKRI?

Jawab: NKRI mana yang tidak boleh dirubah..? Dari segi sistemnya, UUD 1945, saat diproklamasikan, masih memuat pembukaan yang menyebut, “dengan menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lalu pada 18 Agustus tujuh kata tersebut dicoret. Kemudian muncul UUD RIS. Lalu lahir UUD 1950, yang bersifat demokrasi parlementer. Setelah itu, kembali lagi pada UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 1959 sebagai tanda dimulanya era Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya muncul Orde Baru yang membawa Demokrasi Pancasila. Orde Demokrasi Pancasila itupun tumbang dengan lahirnya Orde Reformasi. Selanjutnya, muncul era demokratisasi pasca reformasi yang ditandai dengan perubahan UUD 1945 secara besar-besaran sehingga dominasi neolibnya sangat menyengat.

Sayangnya, meski sudah bongkar pasang, hasilnya nihil! Yang terjadi justru krisis multidimensi yang semakin menjadikan kedaulatan negeri ini berada di bawah telapak kaki kaum Neolib. Nah, dalam situasi seperti ini, tawaran konsep Khilafah sebagai suatu sistem syariah dalam sektor pemerintahan mestinya dianggap sebagai wacana pencerahan yang bisa diuji kebenaran dan kemampuan problem solving-nya secara konseptual!


Itu dari segi sistem. Dari segi teritorial, faktanya, Timtim lepas dari NKRI dengan ‘restu’ PBB pasca jajak pendapat tahun 1999.

Nah, kenapa takut dengan perubahan sistem?

23. Adakah kaitan antara Khilafah dengan demokrasi?

Jawab: Inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Inti gagasan ini bertentangan dengan syariat Islam. Sebab, jelas sekali Islam mengajarkan kedaulatan itu di tangan Allah (di tangan syariat). Kehendak yang paling tinggi itu ada di tangan syariat. Ke sanalah rakyat dan seluruh elemen negara itu wajib tunduk. Dalam al-Quran tertulis: “Innama kaan kaula al-Mu’minina idza du’u ilallahi wa rasulihi liyahkuma baynahum ayyakulu sami’na wa atho’na” (Kami mendengar dan kami taat). Itu menunjukan bahwa syariat menempati posisi yang paling tinggi. Begitu syariat Islam menyatakan sesuatu, menyuruh sesuatu atau melarang sesuatu, mereka tunduk; sami’na wa atho’na. Itu jelas sekali.

Ditegaskan dalam ayat lain, wa ma kaana limu’minin wa la mu’minatin idza qodlo allahu wa rasulahu amran ayyakuna lahumul khiyaratu min amrihim. Jadi, kalau Allah dan Rasul-NYA sudah menetapkan keputusan hukum, maka tidak pantas bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan untuk mencari keputusan hukum selain yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-NYA. Ini menunjukan bahwa yang memiliki kehendak paling tinggi adalah Allah dan Rasul-NYA. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, syariat. Karenanya, syariat itu semestinya bukan option (pilihan), tapi obligation (kewajiban). Dalam sistem demokrasi di negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia, syariat itu masih sekedar option, bukan obligation. Di situlah kita wajib menolak, bukan pilihan, yang semestinya diterapkan sebagai satu-satunya sistem hukum yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat dan bernegara. Jadi, Khilafah tidak terkait dengan demokrasi.

24. Mungkinkah Khilafah dapat ditegakkan melalui proses demokrasi..?

Jawab: Tergantung. Kalau yang dimaksud adalah harus mempertahankan kedaulatan di tangan rakyat sehingga halal-haram, baik-buruk, benar-salah, dan terpuji-tercela ditetapkan oleh wakil rakyat, maka tidak mungkin khilafah dapat tegak dalam sistem demikian. Tapi, bila yang dipegang adalah kekuasaan ada di tangan rakyat baik langsung maupun tidak langsung, maka sangat mungkin. Asal rakyat mau dan didukung oleh pemilik kekuatan (ahlu quwwah), maka sangat mungkin terjadi.

25. Lalu, arah dakwah seperti apa yang bisa menjadi peluang tegaknya Khilafah; Ishlah atau Taghyir?

Jawab: Untuk menentukan dengan tepat aktifitas dakwah kita, mesti memiliah terlebih dahulu sasaran-sasaran dakwah kita. Sasaran dakwah dapat dipilih menjadi dua; individu dan masyarakat.

Ketika sasaran dakwah kita individu, maka kita bisa memilahnya lagi menjadi dua kelompok, Kafir atau Muslim. Apabila sasaran dakwah kita adalah orang kafir, maka kita mesti melakukan aktifitas dakwah yang bersifat taghyir (mengubah secara radikal) bukan ishlah (perbaikan yang sifatnya parsial). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa asas kehidupan orang kafir bukanlah aqidah Islam, dan aqidah selain Islam adalah aqidah bathil. Jika aqidahnya bathil, maka seluruh pemikiran cabang maupun hukum yang lahir dari aqidah tersebut, bathil pula. Dalam kondisi semacam ini, perbaikan yang wajib dilakukan adalah mengganti asas yang bathil tersebut dengan asas yang shahih; yaitu aqidah Islam. Lalu, jika mereka telah menjadikan aqidah Islamsebagai asas hidupnya, selanjutnya kita ajarkan kepada mereka hukum-hukum Islam. Pengajaran ini dilakukan agar mereka terikat dengan hukum-hukum Islam, sebagai konsekuensi logis dari aqidah Islam yang ia peluk.

Apabila sasaran dakwah adalah orang Muslim, maka kita hanya mengubah hal-hal yang cabang atau membersihkan asas – yakni aqidah Islam yang pada dasarnya masih melekat erat pada dirinya. Oleh karena itu, aktifitas dakwah yang mesti dilakukan bagi orang Muslim haruslah bersifat ishlah, bukan taghyir.

Di atas adalah perbaikan individu. Lantas, bagaimana dengan perbaikan masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita mesti membahas definisi masyarakat. Menurut Syeikh Taqiyyudin an-Nabhany, masyarakat adalah: “kumpulan manusia yang di dalamnya terdapat interaksi yang bersifat terus menerus”. Interaksi tersebut terjadi karena ada kesamaan kepentingan yang ingin mereka raih; baik kepentingan tersebut bersifat mendatangkan kemashlahatan, maupun menolak kemudlorotan. Dalam menunaikan kepentingannya, manusia berbeda dengan hewan. Hewan tidak berjalan pada aturan-aturan tertentu dalam memenuhi kepentingannya. Sedangkan manusia selalu berjalan berdasarkan tatacara (kaifiyyah) tertentu yang muncul dari mafahimnya tentang kehidupan. Mafahim itu pula yang membentuk perasaan-perasaan (masyaa’ir), serta tatacara dalam melakukan aktifitas. Selanjutnya berdasarkan mafahim serta perasaan-perasaan tersebut manusia mengarungi kehidupan. Dengan begitu, terjadilah interaksi antar manusia di atas landasan pemikiran-pemikiran (yang membentuk mafahim), perasaan-perasaan, dan aturan yang diterapkan. Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan, bahwa unsur pembentuk masyarakat ada empat, yaitu: manusia, pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan aturan yang diterapkan.

Inilah realitas masyarakat. Atas dasar itu, masyarakat Islam pada masa Rasul Saw. adalah masyarakat yang terdiri dari kaum Muslim – yang di dalamnya ada ahlu adz-Dzimah, yang dibangun atas landasan aqidah Islam dan pemikiran-pemikiran cabang yang lahir dari aqidah Islam, masya’ir Islam (perasaan Islam), dan hukum yang berlaku adalah adalah syariat Islam; baik yang diterapkan secara individu maupun yang diterapkan melalui negara.

Kalau kita cermati secara jernih dan mendalam, maka masyarakat yang hidup di bawah naungan Khilafah Islamiyyah yang kurang lebih 12 abad lamanya adalah masyarakat yang sama dengan masyarakat pada masa Nabi Saw.; yakni, masyarakat Islam. Sebab, masyarakatnya terdiri dari kaum Muslim – di dalamnya ada ahlu adz-Dzimmah, landasan kehidupan masyarakat adalah aqidah Islam sebagai pemikiran asasi, serta pemikiran-pemikiran cabang lain, perasaan mereka adalah perasaan Islami dan hukum yang berlaku adalah syariat Islam. Oleh karena itu, jika di dalam masyarakat Islam seperti ini terjadi penyimpangan atau keteledoran dalam penerapan syariat Islam, maka aktifitas dakwah yang mesti dilakukan adalah dakwah yang bersifat ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial). Misalnya, ketika Khilafah Islamiyyah melalaikan jihad, maka yang dilakukan adalah memberikan nasihat pada Khalifah untuk kembali menjadikan jihad sebagai aktifitas utama daulah dalam menyebarkan Islam, dan bukan dengan menghancurkan daulah, lalu mendirikan daulah yang baru.

Dalam konteks sekarang, ketika masyarakat di mana kita hidup bukanlah masyarakat Islam, walaupun mayoritas penduduknya adalah Muslim, maka, fokus aktifitas dakwah kita bukanlah ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial); akan tetapi haruslah aktifitas taghyir al-Judzri (perubahan yang sifatnya menyeluruh). Yakni, mengubah masyarakat yang tidak Islami menjadi masyarakat Islam.

26. kalau begitu, bagaimana jalan menuju Khilafah?

Jawab: Melalui jalan dakwah yang ditempuh dengan mengikuti thariqah dakwah Rasulullah Saw, yaitu:

    * Dimulai dengan pembentukan kader yang ber-syakhsiyyah islamiyyah, melalui pembinaan intensif (halqah murakkazah) dengan materi dan metode tertentu.
    * Pembinaan umat (tatsqif jama’i) untuk terbentuknya pendapat masyarakat (al-Wa’yu al-Amy) tentang Islam.
    * Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh jamaah (tanmiyatu jizmi al-Hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik (al-Quwwatu as-Siyasiya)
    * Penegakan syariah dan khilafah memerlukan kekuatan politik. Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memiliki kesadaran politik Islam (al-Wa’yu al-Siyasi al-Islamy), yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariah Islam. Maka harus ada upaya penyadaran politik islami masyarakat secara terus menerus yang dilakukan oleh kader. Makin banyak kader, makin cepat kesadaran terbentuk sehingga kekuatan politik juga makin cepat terwujud.
    * Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah Islam.
    * Di dukung oleh ahlu quwwah (semisal polisi, militer, politisi, orang kaya, tokoh masyarakat, dan sebagainya) yang melalui pendekatan intensif, setuju mendukung perjuangan syariah dan khilafah. Kekuatan politik yang didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung.
    * Rakyat menuntut tegaknya sistem syariah dan kekuasaan Khilafah atau penyatuan ke dalam Khilafah Islamiyyah.

pirated from: here
read more

12 Mar 2011

ISLAM YANG TERPENJARA*


Guyuran air dingin menarik saya ke alam sadar setelah pingsan. Dengan kepala berat, saya melempar pandangan ke sekeliling ruangan pengap dan lembab itu. Oh, ternyata saya di sel kantor polisi. Saya kemudian dipaksa untuk bicara tentang bungkusan itu. Tentu saja saya jawab saya tidak tahu! Polisi kemudian meninggalkan saya dalam keadaan marah. Saya kemudian dipindahkan menuju sel yang lebih gelap.
Fyuh! Di dalam sel yang dibuat sedemikian rupa sehingga tidak ada ruang untuk cahaya menyelinap masuk, saya masih tidak menyangka kejadian dua hari yang lalu berakhir dramatis seperti ini.
* * *
Saat senja, matahari selalu saja menahan saya lebih lama di bibir pantai. Seperti biasanya, saya selalu berdua saja dengan si Noni. Dia memang bukan kekasih saya—bahkan dia bukan manusia—tetapi dialah yang selalu setia menemani saya ke mana-mana. Yeah, Noni itu sepedah ontel saya yang sudah mulai berkarat.
Dengan ditemani Noni dan lembayung berselimut sepi, biasanya saya banyak berfikir tentang hidup; tentang dari mana saya, apa tujuan saya ada, dan setelah tujuan saya ada telah saya penuhi, akan ke mana saya berakhir? Akh! Tak banyak orang yang merasa perlu untuk memikirkan hal seperti itu, tapi saya piker hal tadi lah yang akan membuat hidup seorang manusia akan berpola. Percaya atau tidak, karena berfikir tentang hal-hal tadi itulah saya memutuskan untuk putus dengan pacar saya. Karena saya merasa tidak ada gunanya saya berpacaran. Huft!
Saat itu tak seperti hari-hari sebelumnya, pantai hari itu terlihat penuh dengan orang-orang. Mereka berkerumun layaknya lalat yang mendapati daging yang sudah lama tak bertuan. Suara bising karena mereka bercakap pun sama bisingnya dengan kepakan sayap lalat. Whoops! Mereka mengerumuni sebuah dus, yang ternyata berisi potongan tubuh manusia.
Masih belum habis rasa penasaran dan mual saya, beberapa orang di samping saya terlihat memperhatikan dari ujung rambut hingga ujung kaki saya! Tingkah aneh itu saya balas dengan menatap lekat bola mata mereka. Saat akan beralih menatap orang ketiga yang menatap saya, salah seorang di tengah-tengah kerumunan itu berteriak, “woi, elu yang tadi buang bungkusan ini, ya?!” nah lho, kenapa tiba-tiba saya yang diteriakin gini?? Mendengar teriakan orang itu, kerumunan itu berbalik menjadi mengerumuni saya dan si noni tersayang. Satu persatu orang-orang itu dengan baik hati menghadiahkan saya dengan bogem mentah-nya, hingga entah di tangan orang ke berapa saya akhirnya jatuh terjermbab di pasir yang putih itu.
* * *
Ditemani gelap dan pengap, saya mulai mencoba berkenalan dengan ruangan ini. Rasanya seperti orang buta saja. Hmm.. mari mulai meraba. Pertama-tama saya berkenalan dengan kayu kasar. Mungkin maksudnya ini untuk tempat tidur, tapi saya pikir kucing budug pun enggan sekedar dekat papan penuh relief ini. Kalian tahu? Rasanya seperti memegang Korong alias upil yang udah kering! Haha! Jorok bangat ya?!

“orang baru, ya? Kenapa? Maling ayam? Hahaha!” suara dengan nada berat tiba-tiba keluar entah dari arah mana. “woi! Siapa , lu?! Kampret ngagetin aja!” saya teriak sambil entah menghadap orang itu atau tidak. “santai, kang! Duduk di bangku yang kamu pegang. Kita ngobrol dulu.” Selorohnya dengan santai. Saya masih emosi memang, tapi apa boleh dikata semua gelap, tak ada yang bisa saya tatap. Akhirnya saya duduk dengan manis di benda yang orang itu bilang bangku.

“sori, tadi gua kaget, jadi teriak kayak orang gila. Gua Almer Akira Al-Zada a.k.a. A3, lu siapa?” Saya mulai menurunkan nada bicara sambil masih tetap bingung ke arah mana saya harus menghadap untuk menemukan lawan bicara saya.

“nama saya Islam. Hmm.. Akira? Gak kedengeran kayak nama seorang maling ayam. Kenapa kamu bisa di sini?” pembicaraan kami sudah mulai cair dengan cara bicaranya yang semakin santai. “eh? Islam? Nama yang unik. Gua di sini gara-gara dituduh orang yang mutilasi, padahal bukan gua yang ngelakuin itu, sumpah! Cuma gara-gara gua kebetulan lewat, eh gua diteriakin sama orang-orang kampring itu!” saya bercerita dengan berapi-api. “ooh.. iya, saya percaya bukan kamu pelaku pembunuhan itu, Akira. Dari cara kamu cerita, saya tau kamu orang baik.” Dia bicara seolah dia dukun. Hehehe.

“bagus lah kalo lu percaya gua orang baik. Oia, lu sendiri dari kapan di sini, terus gara-gara apa, bro?” Tanya saya dengan penasaran.

“terlau panjang lah kalo diceritain. Kamu bakalan bosen!” Dia menolak dengan halus. “whuei, gua itu pendengar setia aki-aki di panti jompo, bos! Jangan khawatir gua bakalan bosen!” saya memaksanya untuk bercerita.

“ oke deh, nih saya mulai cerita.” Dia pun mulai bercerita sambil terdengar nada girang, seperti anak kecil yang baru mendepatkan sepeda pertamanya.

Dia bernama Islam. Saya hampir tidak percaya saat dia berkata bahwa dia sudah ada di dunia ini sejak 14 abad yang silam, namun ceritanya membuat saya percaya bahwa dia memang sudah hidup selama itu. Ya! Dia berkisah bahwa dirinya ‘dibidani’ oleh Rasulullah Saw., kemudian dijaga oleh keempat sahabat Rasul Saw. dan para khalifah setelahnya.

Untuknya didirikanlah sebuah payung pelindung untuknya bernama Daulah Khilafah, yang di kemudian hari menjadi pencerah bagi umat manusia di dunia. Bersamanya muncullah orang-orang masyhur yang menjadi peletak dasar-dasar ilmu yang membimbing renaissance di Barat.

Dia kemudian menjabarkan beberapa ilmuwan besar dan karya-karyanya yang mengabadikan nama mereka. Disebutlah yang pertama, Al-Khawarizmi, seorang ahli astronomi, geografi dan matematikawan super brilian. Di Barat, khususnya di Eropa lebih dikenal dengan sebutan Algorism atau Algorim. Beliau mewariskan ilmu tentang Al-Jabar, mulai dari perhitungan sederhana (kali, bagi, tambah, kurang), sampai matematika rumit bertitelkan ‘kalkulus’, yang konon rumit. Beliau pun mewariskan teorema Trigonometri: sinus, cosinus, tangen, cotangen, dll.

Kemudian disebutlah Ibnu Sina seorang ahli filsafat, bahasa, astronomi, dan yang paling menonjol dalam bidang kedokteran. Karyanya, al-Qanuun—yang diterjemahkan menjadi the Canon—hingga kini masih menjadi rujukan kedokteran di Barat.

Selanjutnya Ibnu Al-Haiitsami, sebagai pelopor dalam bidang optik yang bereksperimen dengan 27 jenis lensa yang berbeda, yang kemudian menemukan hukum refleksi dan refraksi. Kitabnya yang berjudul Al-Manazhir (kamus optik), konon adalah satu buku yang paling banyak dijiplak dalam sejarah sains. Ilmuwan yang menjiplaknya antara lain Roger Bacon, Da vinci, Kepler, atau bahkan mungkin juga Newton.

Last but not least, Al-Bukhori, seorang perawi hadits yg mempunyai daya ingat sedemikian cemerlangnya, serta sederetan nama lain yang tidak akan cukup kalau disebutkan di sini semuanya.

Di bawah naungan Daulah Khilafah itulah tunas-tunas tumbuh di bawah keperkasaan. Bunga-bunga mekar tanpa ada yang berani merenggutnya dengan paksa. Manusia aman sentosa tanpa cela, dan tak pernah berhenti membesarkan Penciptanya.

Saat itu, ratusan tahun dunia tunduk. Ratusan tahun manusia takluk. Mereka hargai dan segani Khilafah Islamiyah. Bumi jadi tempat yang megah. Dimana setiap jiwa terpelihara dari dosa, setiap harapan punya tempat yang terang untuk diwujudkan, mawar-mawar merah dijaga kehormatannya, dan taman-taman bunga selalu semerbak mengharumi dunia.

Itu keadaan 87 tahun yang lalu, sebelum dirinya dipenjara di sini bersama saya. Untuk yang keduakalinya saya hampir tidak percaya: dia di penjara ini sudah 87 tahun?! Lalu apa yang terjadi sebelum Islam dipenjara? Dia berkata bahwa pelindungnya telah dihancurkan. Ya! Daulah Khilafah telah dihancurkan! Setelah itu secara perlahan orang-orang mulai meninggalkan Islam. Mereka bukan tidak percaya Islam, namun hanya saja mereka mengenyampingkannya dari tengah-tengah kehidupan mereka, bahkan akhirnya mereka melarang Islam untuk hadir, di tengah-tengah masyarakat! MEREKA MEMENJARAKAN ISLAM!

Wow! Saya sangat heran, bagaimana mungkin orang yang katanya percaya pada Islam, namun dia memenjarakannya hingga tidak bisa hadir di tengah-tengah kehidupan mereka?!

Di hari itu saya perasaan di hati saya campur-baur. Ada rasa takjub, malu, hingga marah dan jengah! Saya jengah dengan bodohnya orang yang berani-beraninya memenjarakan Islam di sudut kelam. Entah setelah berapa jam kami mengobrol, saya yang kelelahan akhirnya terlelap.
* * *
Berbulan-bulan setelah kami bertemu dan berbincang, saya yang akhirnya bebas karena memang tidak ada bukti untuk ditahan, mencoba mengunjungi kawan saya yang berada dalam sel kelam. Namun betapa saya terkejut mendapati kabar bahwa tidak pernah ada tahanan bernama Islam dan saya tidak pernah ditempatkan dalam sel gelap! Saya kemudian bertanya, kalau begitu apa yang terjadi pada saya kemarin itu? Sipir bilang bahwa saya hanya pingsan saja. WHAT?! Lalu dialog yang kemarin itu??
* * *
Tujuh hari penuh saya memikirkan tentang dialog saya dengan makhluk bernama Islam. Dialog itu terasa sangat nyata! Menyentuh jiwa dan mengobarkan amarah, tapi ternyata bahkan dialog itu tidak nyata? Saya yakin pasti ada ‘sesuatu’ yang ingin ditunjukkan oleh ‘Sesuatu’! Saya harus cari tahu sampai dapat jawaban yang memuaskan akal dan menentramkan jiwa.
* * *
Jalanan sore lagi-lagi memukau iris saya. Yeah! Lembayung digelayuti mentari seolah mencair layaknya margarin meleleh di penggorengan. Akhirnya setelah kesana kemari dan menghabiskan waktu 1 tahun penuh, saya mendapatkan jawaban tentang dialog saya dengan Islam itu.
Saya akhirnya tahu bahwa dialog saya dengan Islam itu tidak benar-benar terjadi, namun kondisi yang dialaminya memang benar-benar terjadi pada Dien yang bernama sama: ISLAM. Islam yang dahulu memuliakan dan dimuliakan pemeluknya disingkirkan dari kehidupan manusia, dicampakkan, dipenjarakan di sudut-sudut gelap yang terhinakan.
Sekarang saya ditemani Noni tersayang meluncur di setiap petang untuk berusaha membebaskan Islam. Bukan dari penjara fisik, namun dari belenggu pengkerdilan manusia-manusianya. Kami meluncur dari rumah ke rumah, menggelar diskusi-diskusi kecil, menghantam opini-opini miring, bahkan berjalan mengelilingi kota untuk membebaskan ISLAM YANG TERPENJARA!
Semoga kalian pun tergugah membebaskan Islam dari penjara tanpa perlu mengalami kegilaan yang saya alami. Atau hanya ingin jadi PECUNDANG yang memenjarakan Islam?!
When the sun arise from west
When the sin out of the demon ass
We will pay what we have done before
Through the pain, or no limit pleasure
(Hipocrishit—PURGATORY)
TABIK!
*) Tulisan ini merupakan produksi ulang tulisan yang dibuat penulis lain dengan judul dan inti cerita yang sama, namun dengan karakter, cara penulisan dan cerita yang agak berubah.
Semoga kamu gak bete lagi karena tulisan kamu saya bajak (lagi). 
Teruntuk kawan satu Halqah awak yang sering terlihat ketus: Isal.. :-)
read more

7 Mei 2010

Hadid Sang Pengkelana: Matinya Semangat “ Kasyful Khuthath dan Dharbul Alaqat ”

Syariat Islam jadi isu yang paling hangat akhir-akhir ini, semua kalangan membicarakan isu syariat Islam dari berbagai perspektif. Perspektif atau sudut pandang yang berbeda inilah yang membuat perdebatan tidak kunjung mencapai kesepakatan. Banyak sekali slogan dan ajakan kepada syariat Islam, semuanya memakai istilah ini sesuai dengan perspektifnya masing-masing. Ada yang benar-benar mengajak kepada penerapan syariat Islam secara keseluruhan, ada yang sekedar memasukkan syariat Islam ke sistem yang ada atau hanya masuk ke dalam otda dan perda. Ada juga yang secara terang-terangan menolak formalisasi syariat Islam dalam bentuk apapun, “Islam terlalu suci untuk dibawa-bawa ke dunia politik dan negara”, kilahnya. Para pejuang Islam yang lurus pun akhirnya banyak yang malu-malu dan terjebak kepada penggunaan istilah “syariat Islam” ini. Mereka beralasan dengan mengatakan bahwa syariat Islam pertentangannya jauh lebih sedikit dan lebih mudah diterima masyarakat. Bahkan sebuah gerakan dakwah yang punya slogan “Syariah dan Khilafah” mulai mencoba untuk bermain di ranah abu-abu ini.

Kenapa penggunaan slogan syariat Islam dikatakan abu-abu? Kita bisa melihat sendiri bahwa definisi dan batasan syariat Islam yang beredar dan dimengerti masyarakat semua beragam. Dengan berlindung di balik keberagaman ini atau lebih tepatnya ketidakjelasan alias abu-abu ini banyak pihak yang mulai berani menyuarakannya, dan ada juga pihak yang malah menurunkan ketegasannya ke wilayah abu-abu ini.

Syariah dan khilafah adalah dua istilah yang saling melengkapi tapi berbeda maknanya. Kedua istilah ini bisa digunakan berdampingan bisa juga dipakai sendiri-sendiri, meskipun tentunya akan menghasilkan makna dan persepsi yang berbeda. Istilah syariah dan khilafah ketika digunakan bersamaan tentunya akan memiliki makna yang sangat kuat, yaitu penerapan syariat Islam dalam bingkai Kekhilafahan. Kata khilafah juga memiliki makna yang khas yaitu pemerintahan yang hanya berdasarkan Islam saja, tidak ada satupun pengertian yang dipahami oleh masyarakat selain pengertian tersebut. Sedangkan kata syariah atau syariat Islam memang dimungkinkan untuk ditarik maknanya kearah manapun karena kata tersebut bukanlah kata yang memiliki arti utuh (yaitu syariat Islam keseluruhan).

Batasan-batasan yang disebut sebagai syariat Islam pun sering diselewengkan dan menjadi salah kaprah (pemahaman salah yang sudah dianggap benar) dalam masyarakat. Bahkan dengan sekedar mengadopsi perda syariah saja sebuah daerah sudah dikatakan menjalankan syariat Islam. Ini adalah sebuah bahaya yang entah disadari atau tidak akan menjadi bumerang bagi gerakan Islam secara keseluruhan terutama yang ingin mengembalikan sistem Islam secara paripurna.

Penggunaan kata syariat Islam juga membuat orang berbondong-bondong mempelajari Islam, yang kebanyakan hanya mempelajari sebagian dari syariat Islam. Yang menjadi tren sekarang ini ialah Sistem Ekonomi Islam. Ya, ini merupakan syariat Islam atau tepatnya bagian dari syariat Islam. Kerancuan penggunaan istilah syariat Islam ini mengakibatkan sebagian besar masyarakat berfikir bahwa syariat Islam bisa diterapkan pada sistem apapun. Mungkin juga ini dikarenakan kesalahan memahami bahwa Islam cocok untuk diterapkan di manapun dan kapan pun, termasuk di sini pada sistem apapun.

Banyaknya sentimen positif pada syariat Islam telah membuat gerakan dakwah juga meyeru kepada penguasa yang ada untuk menerapkan (sebagian tepatnya) syariat Islam pada saat terjadi kasus tertentu, misal kelangkaan BBM, bencana alam, pornografi dan lainnya. Bahkan sebagian gerakan Islam juga membuat uraian yang sangat jelas bagaimana syariat Islam yang harus dilaksanakan oleh penguasa yang ada. Semua hal ini membuat masyarakat menganggap bahwa syariat Islam itu memang bisa dan untuk diterapkan dalam sistem yang ada sekarang. Pandangan seperti ini juga diperkuat oleh gerakan-gerakan Islam yang menyeru penguasa untuk mengadopsi dan menjalankan syariat Islam (hanya) pada kasus tertentu (saja).

Sejatinya ada 4 hal yang harus dilakukan oleh gerakan Islam ketika mereka ingin mengembalikan Islam ke dunia ini. Mengedukasi masyarakat (tatsqif jama’i), membina kelompok (tatsqif murakaz), menyingkap keburukan penguasa yang membuat rakyat tidak simpatik kepadanya (kasyful khuthath wa dharbul alaqat), menjelaskan solusi Islam (tabanni mashalih umat). Ya, ini merupakan sebuah ide sangat cemerlang yang layak dilakukan oleh gerakan Islam dimana pun selama mereka berupaya menegakkan Islam dalam bingkai Daulah Khilafah, karena faktanya tidak ada satupun pemerintahan di dunia ini yang pantas disebut sebagai Daulah Khilafah.

Pada praktiknya memang tidak banyak gerakan Islam yang menjalankan langkah-langkah tersebut, terutama langkah nomor tiga yaitu: menyingkap keburukan penguasa yang membuat rakyat tidak simpatik kepadanya (kasyful khuthath wa dharbul alaqat). Penggunaan istilah syariat Islam memang sangat erat kaitannya dengan mulai diabaikan dan ditinggalkannya langkah penting gerakan dakwah ini. Sebagian beralasan melakukan berbagai seruan (kepada penguasa) tentang bagaimana syariat Islam memecahkan masalah yang sedang terjadi ini sebagai bagian dari menjelaskan solusi Islam (tabanni mashalih umat).

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa perbuatan menyeru dengan menjelaskan bagaimana syariat Islam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi ini merupakan bagian dari menjelaskan solusi Islam (tabanni mashalih umat), tapi dengan hanya menggunakan istilah syariat Islam saja akan semakin menjauhkan masyarakat (termasuk penguasa-dalam kapasitas sebagai masyarakat) dari penerapan Islam yang sesungguhnya. Yang seharusnya dilakukan (kepada penguasa) bukanlah hanya menjelaskan solusi Islam (tabanni mashalih umat), tapi yang terpenting ialah menyingkap keburukan penguasa yang membuat rakyat tidak simpatik kepadanya (kasyful khuthath wa dharbul alaqat).

Benar. Hal ini wajib dilakukan. Sebab, dengan menyingkap keburukan penguasa maka tentunya akan membuat rakyat tidak simpatik kepadanya dan juga kepada sistem yang menaunginya. Bukanlah sebuah tindakan yang bijaksana ketika kita memberikan solusi syariat Islam kepada penguasa kufur yang (akan selalu) bermasalah, yang tepat bagi mereka ialah kita jadikan masalah mereka ini sebagai pelajaran bagi masyarakat bahwa adalah sebuah kesalahan mempercayai mereka (para penguasa) dan sistem kufur yang menaunginya.

Inilah sebenarnya esensi menyingkap keburukan penguasa yang membuat rakyat tidak simpatik kepadanya (kasyful khuthath wa dharbul alaqat). Bukan kita malah asyik dengan istilah syariat Islam yang kebetulan juga menjadi sebagian pelarian dari kondisi buruk yang dialami oleh penguasa dan meninggalkan kata yang seharusnya menjadi pasangan kata tersebut yaitu Khilafah Islamiyah. Memang dengan melakuan yang satu ini maka sama saja dengan jelas kita menyatakan menentang penguasa yang ada, tapi mungkin juga itu yang memang dihindari oleh sebagian gerakan dakwah. Wallahu A’lam.

Semoga dengan tulisan ini para pengemban dakwah terbangun dari mimpi indahnya dengan selalu menyatakan bahwa selama para penguasa tidak menerapkan syariat Islam dalam bentuk Khilafah Islamiyah maka kita para pengemban dakwah menjadi yang terdepan dalam menghancurkan mereka, menghancurkan kepercayaan masyarakat atas mereka, dan menghancurkan sistem yang menaungi mereka. Jangan sampai kita memberi solusi Islam atas mereka (tanpa menghancurkan sistem yang sedang mereka terapkan), karena dengan hal tersebut kita malah membantu mereka mempertahankan sistem kufur tersebut. Semoga Allah Swt. meluruskan dan memudahkan jalan kita semua dalam perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah ini.

wallahu ' alam bishawwab ... akhukum Hadid

pirated from: http://www.facebook.com/notes/hadid-sang-pengkelana/__-matinya-semangat-kasyful-khuthath-dan-dharbul-alaqat-____/10150197745415433
read more