13 Jul 2014

A Letter For My Son(s)

Anak ku, jika nanti abah pergi dipanggil lebih dahulu daripada kalian, jangan sampai terlintas sekalipun dalam pikiran kalian, rasa khawatir berkehidupan yang sempit.

Ingatlah selalu oleh kalian bahwa yang melapangkan dan menyempitkan penghidupan bukanlah abah. ALlah-lah yang berhak dan memiliki kekuatan untuk memberi atau menahan rizqi, ALlah-lah yang meninggikan dan merendahkan derajat seseorang, ALlah lah yang memberi & mencabut rasa aman dalam dada, ALlah lah yang memiliki hak untuk memancangkan dan melemahkan keteguhan keyakinan, ALlah lah yang memiliki kekuatan untuk mematikan dan menghidupkan makhluk. Iya, cuma ALlah yang punya semua itu, bukan makhluk, termasuk abah.

Karenanya wahai cucu Khalid bin Walid, jangan takut celaan orang yang suka mencela, jangan mundur karena ancaman yang orang berikan, jangan menjadi peragu seandainya seisi semesta mengatakan tidak sedangkan ALlah mengatakan HARUS & PASTI BISA.

Kau tahu tentang sosok Khadijah ra.? Jika engkau dari kalangannya, semampu mu, berusahalah menjadi seperti dirinya: menjadi manusia yang percaya meski banyak orang mendustakan.

Anakku, ikat-eratlah dalam ingatan tentang sabda Rasul saw yang mulia bahwa kelak di penghujung zaman akan ada segolongan manusia yang diasingkan dari kebanyakan orang. Terjauhkan dari keumuman, disingkirkan dari kebanyakan orang. Kau tahu mereka dipanggil apa? Mereka disebut sebagai "al ghurabaa", orang yang terasing.

Mereka memegang islam sepertihalnya memegang bara api. Kamu pasti tau bagaimana rasanya api, nak. Panas dan membuat kulit melepuh. Namun mereka tetap pegang bara islam itu. Kenapa? Karena itu adalah sebuah kemestian, nak. Iya, kemestian sebagai makhlukNya. Supaya kita tidak dicap sebagai bajingan pembangkang Rabb pencipta alam semesta.

Nak, wahai pengagum sosok mush’ab bin umair. Engkau boleh saja tumbuh menjadi anak ‘bengal’, tapi dengarkan abah, bahwa kita ini adalah manusia yang dipuji oleh ALlah di kalam-Nya sebagai “ummat terbaik” di antara kalangan manusia lain di dunia. Hanya saja ada syarat yang mau tidak mau kita harus ambil, yaitu menjadi orang yang melakukan ‘amr ma’ruf nahyi munkar. Karenanya ambillah jalan kemulian itu, dan jadikanlah dirimu sosok manusia yang dikenang karena kebaikannya seperti mush’ab bin umair.

Duhai anakku, pewaris ketegasan Ummar bin Al-khaththab. Abah belum tahu tatanan hidup masyarakat seperti apa yang akan engkau hadapi. Sudahkah hadir seorang Khalifah di tengah-tengah ummat saat kau membaca tulisan ini? Ah, sudah atau pun belum abah ingin kau bertumbuh menjadi sosok tegas sepertihalnya ummar. Tidak melakukan kompromi dengan kebathilan apapun taruhannya. Tegakkanlah kepalamu saat engkau berada di sisi kebenaran. Namun tertunduk dan menangislah jika engkau melakukan kesalahan dan bertaubatlah.

Terakhir, wahai darah-daging ku, jadilah engkau penolong Diin yang tinggi ini. Berkawanlah dengan orang-orang shalih. Kelak, jadikanlah Hizqi Hajjaaj ‘Alwaan salah seorang di antara sahabat dekatmu, yang kalian saling menjaga dalam kebaikan. Berdua dengannya, jadilah sepertihalnya Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudair dari kalangan kaum Anshar: orang-orang yang bertaruh kepala demi kemenangan dakwah Islam.

Dari (orang yang akan menjadi) abah mu,
@dhanialmumtaz
*selesai ditulis pada 6 ramadhan 1435 H/ 04 Juli 2014
read more

29 Apr 2014

Memories

Mendadak saya ingin menulis. Iya, sekedar menuliskan apa yang tadi tiba-tiba melompat-lompat di kepala sore tadi saat di atas motor. Seperti biasa, mungkin bukan hal yang penting untuk dituliskan, tapi tetap saja saya tuliskan. Ya.. Namanya juga blog suka-suka saya. hehe

Sore ini hujan turun lebat. Tidak lama memang, bahkan tidak lebih dari jarak separuh perjalanan saya dari kosan menuju daerah kampus. Selepas melepas dahaga rerumputan, hujan mulai menghilang bersama dengan gumpalan awan. Saya tetap meneruskan perjalananan dengan keadaan basah kuyup.

Di kecepatan sekitar 60 km/jam saya tiba-tiba merasakan suasana yang serasa tidak asing: mendung di sore hari dengan matahari yang hendak tenggelam. Tiba-tiba rasa rindu menyergap. Iya, rindu. Jangan lempar pertanyaan: "pada siapa", karena saya merindu suasana, bukan "hanya" pada orang-orang yang ada di sana.

Semasa usia 3 bulan hingga 13 tahun, saya dibesarkan di kota (yang dahulunya) kecil. Bukan tempat kelahiran memang, namun penuh dengan kenangan. Di kota kecil itu saya tinggal di komplek yang tidak begitu besar dengan hamparan lapang yang luas. Tempat kami semua, anak komplek Bumi Asih, menghabiskan energi dengan bermain bola. Tentu tanpa alas kaki.

Kami bermain nyaris tanpa ada jeda hari di setiap sore, termasuk di hari itu; hari saat hujan lebat turun sesaat. Bak pejalan kaki yang menemukan oase di gurun Sahara, kami menghambur ke lapang yang digenangi air di bagian tengahnya. Wangi rerumputan diterpa angin agak kencang mengantarkan hingga sampai di indera penghindu. Sejurus kemudian pandangan saya tertuju ke arah langit sore yang masih disesaki awan hitam sambil ditemani matahari. Tak lama dari itu, saya pun berteriak "aaaaa!!" pertanda rasa senang tidak terkira karena kami akan bermain bola dengan keadaan lapangan basah sambil kotor-kotoran: kebahagiaan sederhana yang hampir semua anak kecil biasa rasakan.

Hujan lebat sesaat di sore hari dengan matahari yang hendak tenggelam dan harum tanah yang menerpa indra penghindu itulah yang menghantarkan pada rasa rindu tak terkira pada rasa senang saat itu, pada kota tempat saya bermain bola, dan pada semua suasana saat itu.

Pernahkah kalian merindu seperti itu? Mungkin pernah. Bukan! Bukan merindu pada orang belaka, namun pada keadaan dan suasana.

Lebih dari itu, mampukah kita membuat orang lain merasa rindu dengan keadaan yang kita ciptakan? Mampukah kita memaksa orang lain mengatakan 'tanpa sadar': "rindu saat bersama fulan", "rindu ditegur fulan saat saya hampir berbuat maksiyat", "rindu saat ber-halqah dengan fulan".

Iya, saya sedang bertanya pada diri sendiri. Bisakah membuat orang merasa rindu dengan hadirnya saya? Bisakah membuat orang merasa rindu dengan peringatan yang saya berikan? Bisakah membuat orang merasa rindu dengan per-halqah-an yang saya pimpin?

Entahlah~

                                                                                                 
Ditulis saat rasa rindu pada kota Serang Banten memenuhi kepala.
read more

お父さん

 Tidak begitu jelas saya ingat, tapi jika tidak salah saat itu hari Ahad. Hari saya biasa pulang ke kampuang halaman yang hanya berjarak 1,5 atau maksimal 2 jam perjalanan dari "perantauan" saya. Bukan jarak yang jauh untuk dikatakan sebagai perantauan memang. Tapi agenda-agenda di kota 'perantauan' yang menahan untuk bertatap dengan orang rumahlah yang membuat jarak 2 jam perjalanan terasa lebih jauh. Meski bukan masalah besar karena teknologi selalu membuat saya bisa sering pulang. Adakalanya hingga dua-tiga kali sepekan. Hebat, ya?

Ah, saya hampir saja lupa menceritakan tentang hari Ahad itu. Iya, hari itu seperti hari Ahad lain, hari bertemu orang hebat dalam hidup saya: orangtua. Kenapa dikatakan hebat? Karena mereka mampu membuat saya hidup hingga saya bisa bertemu kalian melalui tulisan yang entah apa ini. hehe

Lalu apa spesialnya hari Ahad itu hingga saya merasa perlu menuliskannya? Sabar.. Sabar..

read more

8 Jan 2014

Nyali

Banyak yang bertanya kenapa saya belum mengambil langkah begini, kenapa saya belum begitu; kenapa masih begini, tidak begitu. Selain itu biasanya mereka menyandingkan pertanyaan "kenapa" tadi dengan "padahal". Kurang lebih redaksinya begini "kenapa belum begitu padahal kamu kan bla bla bla"; "Kenapa masih begini padahal kau bla bla bla".

Dari penyandingan kata "kenapa" dan "padahal" itu, saya menyimpulkan beberapa hal. Pertama, orang lain mempunyai ekspektasi tinggi pada saya. Mereka melihat saya bisa mencapai pencapaian yang lebih dari yang saya capai sekarang. Saya anggap itu sebagai sanjungan. Kalaulah bukan sanjungan, anggaplah saya yang kegeeran. Kalau benar begitu, yasudahlah.

Kedua, jikalau benar bahwa saya sebenarnya bisa mencapai pencapaian yang lebih dari sekarang, maka saya sadari ada hal yang hilang dari diri saya: NYALI!

Mungkinkah saya telah hilang nyali untuk memilih "itu" dengan segudang kebaikannya, nyali untuk mengambil resiko yang ditanggung bersama, nyali untuk siap dikritik. Ah, mungkin itu juga yang buat saya menahan 23 tulisan yang belum dipublikasikan di draft blog ini. Mungkinkah saya juga sudah lupa caranya berani maju dan menahan malu saat diolok-olok?

Entah kapan terakhir saya bertemu kamu, nyali? Sudikah kembali menyertai laju kehidupan? Iya, bergandeng bersama. Ayolah, nyali!!

-08_01_14-
read more

25 Sep 2013

tentang lemahnya hadits ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ

Berikut ini hasil sy bertanya pada ust yang concern di masalah 'ulumul hadits. Semoga bisa menambah ilmu kita semua.

bismillah..
tadz, ada yang mempertanyakan tentang sanad Hadits riwayat Ahmad tentang Khilafah:
....ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
dikatakan seperti ini:

"Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut Imam Bukhari, “fihi nazhar”. Inilah sebabnya imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim tsb. Di samping itu, dari 9 kitab utama (kutubut tis’ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tsb. Sehingga “kelemahan” sanad hadis tsb tidak bisa ditolong.Rupanya Habib bin salim itu memang cukup “bermasalah.” Dia membaca hadis tsb. di depan khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz untuk menjustifikasi bahwa kekhilafahan ‘Umar bin Abdul Aziz merupakan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bahwa Habib mencari muka di depan khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan: “Setelah kenabian akan ada khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, lalu akan muncul para raja.”
Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh Thabrani (dan dari penelaahan saya ternyata sanadnya majhul). Saya duga hadis Thabrani ini muncul pada masa Mu’awiyah atau Yazid sebagai akibat pertentangan politik saat itu.

Berikut ini penjelasannya:
Benarkah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tersebut dha’if? Benarkah Habib bin Salim Al-anshari tidak tsiqah? Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib al-Hafizh berkata, “Abu Hatim menyatakan tsiqah. Al-Bukhari menyatakan, fihi nadzar (Beliau m
asih harus diteliti). Abu Ahmad bin Adi, Laisa fi mutuni ahaditsihi haditsun munkar bal qad idhtharaba fi asanidi ma ruwiya 'anhu (Pada matan-matan haditnya tidak terdapat hadits munkar, tetapi ada beberapa sanadnya yang mudhtharib, dan diriwayatkan darinya).” Kemudian al-Hafizh berkata, “Saya tegaskan, bahwa al-Ajiri berdasarkan penuturan Abu Dawud menyatakan tsiqah, dan Ibn Hibban memasukannya dalam kitab ats-Tsiqqat. Dalam kitab Taqribut Tahdzib, beliau menyatakan, La ba'tsa bihi (Tidak ada masalah dengan beliau).

Ungkapan lebih lengkap Imam al-Bukhari di atas terdapat dalam kitab at-Tarik al-Kabir. Pada point ke 2606 tercatat, Habib bin Salim Maula an-Nu'man bin Basyir al-Anshari dari Nu'man, telah meriwayatkan darinya Abu Basyir, Basyir bin Tsabit, Muhammad al-Muntasyir, Khalid bin Urfuthah dan Ibrahim bin Muhajir dan beliau adalah sekretaris an-Nu'man fihi nadzar. Pada point ke 3347, ketika al-Bukhari menyatakan bahwa Yazid bin an-Nu'man bin Basyir sebagai sahabat Umar bin Abdul Aziz, beliau mengutip pernyataan Habib bin Salim (yang beliau nilai dengan ungkapan fihi nadzar). Perlu dicatat, bahwa Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu rijal dalam shahih Muslim. Imam Muslim (II/598) meriwayatkan hadits tentang bacaan pada shalat Ied dan Jum'ah dari an-Nu'man bin Basyir, melalui sanad Yahya bin Yahya, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ishaq, dari Jarir, berkata Yahya telah memberitahu kami Jarir, dari Ibrahim bin Muhamad bin al-Muntasyir dari bapaknya dari Habib bin Muslim Maula an-Nu'man bin Basyir dari an-Nu'man bin Basyir. Artinya menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam mukaddimah kitab Shahih-nya. Maka, bisa dimengerti mengapa al-Hafizh dalam Taqribut Tahdzib menyatakan, La ba'sa bihi (Tidak ada masalah dengan beliau). Ungkapan La ba'sa bihi, menurut ulama' ilmu ushul hadits, sebagaimana yang diungkapkan oleh as-Sakhawi dalam Fathul Mughits, secara umum adalah tingkat paling rendah untuk menggolongkan perawi sebagai perawi yang tsiqah. Ibnu Mu'in, sebagaimana yang dinukil oleh al-Hafizh ibn Katsir, juga mengungkapkan hal yang senada.

Untuk memahami pernyataan Imam al-Bukhari, fihi nadzar, al-Hafizh ibn Katsir dalam kitab al-Ba'its al-Hatsits fikhtishari Ulumi al-Hadits menjelaskan, apabila al-Bukhari berkata tentang rajul (hadits), Sakatu anhu atau fihi nadzar artinya fainnahu yakunu fi adna al-manazili wa arda'iha indahu, lakinnahu lathiful ibarah fit-tajrih (menurut beliau itu ada pada tingkat terendah, tapi beliau menggunakan ungkapan tajrih dengan cara yang halus). Itulah yang dimaksudkan oleh Imam al-Bukhari dengan ungkapan fihi nadzar. Agar lebih diskriptif, mari kita perhatikan apa yang disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi (IV/54), tentang hadits seorang laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan budak istrinya. Beliau berkata hadits an-Nu'man di dalam isnad-nya terjadi idhtirab. Beliau juga berkata, saya mendengar Muhammad (maksudnya al-Bukhari) berkata bahwa Qatadah tidak mendengar dari Habib bin Salim hadits ini, tapi dia meriwayatkan dari Khalid bin Urfuthah. Sedangkan dalam kitab Aun al-Ma'bud disebutkan bahwa at-Tirmidzi berkata, saya bertanya pada Muhammad bin Isma'il (maksudnya al-Bukhari) tentang Khalid bin Urfuthah, maka beliau berkata saya menahan diri terhadap hadits ini. Penjelasan at-Tirmidzi ini bisa kita gunakan untuk memahami arah ungkapan Imam al-Bukhari di atas. Maka, sangat akal kalau kemudian Imam Muslim, salah satu murid Imam al-Bukhari, mencantumkan dalam kitab shahih beliau, hadits yang diriwayatkan dari Habib bin Salim.

Bagaimana dengan pernyataan Imam Ibnu Adi, Laisa fi mutuni ahaditsihi haditsun munkar bal qad idhtharaba fii asanidi ma ruwiya anhu? Dalam kitab al-Kamil fi Dhua'afa'ir Rijal. Ibn Adi berkata: "…dan untuk Habib bin Salim hadits-hadits yang didektekan untuknya, sanadnya memang berbeda-beda, meski pada matan haditsnya bukan hadits munkar, tetapi terjadi idhtirab pada sanad-sanadnya sebagaimana yang diriwayatkan darinya oleh Habib bin Abi Tsabit…". Itulah ungkapan Ibnu Adi tentang Habib bin Salim. Dengan demikian tidak ada alasan yang kuat untuk mendhaifkan Habib bin Salim al-Anshari. Adapun indikasi idhtirab yang disampaikan oleh beliau juga bisa dijelaskan dari pernyataan at-Tirmidzi di atas. Al-Hafizh al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir menjelaskan dengan mengutip pernyataan al-Hafizh sungguh Habib bin Salim itu ma'ruf (popular) dalam riwayat dan beliau adalah tabi'in yang ma'ruf. Al-Hafizh al-Iraqi dalam kitab Mahajjatu al-Qarbi ila Mahabbati al-Arab menegaskan, bahwa hadits ini shahih. Ibrahim bin Dawud al-Wasithi di-tsiqah-kan oleh Abu Dawud at-Thayalisi dan Ibnu Hibban, dan rijal lainnya (termasuk) yang dibutuhkan dalam (kitab) shahih.

Oleh karena itu, Ibn Hajar al-Haitsami, dalam Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid (V/188), menyatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ini rijal-nya tsiqqah. Selain itu, tidak benar bahwa bisyarah nabawiyyah akan datangnya khilafah tersebut hanya didasarkan pada hadits riwayat Imam Ahmad dan al-Bazzar. Masih banyak hadits-hadits lain yang maknanya sama dengan hadits tersebut. Misalnya hadits tentang akan datangnya khilafah di Baitul Maqdis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (VII/68), Ahmad (V/288), at-Thabrani (Musnad Syamiyyin,VI/149), al-Baihaqi (IX/169) dan Al-hakim (XIX/186).

Jadi, keliru sekali, kalau ada yang menganggap perjuangan untuk menerapkan hukum melalui Khilafah hanya didasarkan pada hadits dha'if. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang akan datangnya khilafah adalah shahih. Masih banyak hadits-hadits lain yang bil ma'na menegaskan hal yang sama.

Tentang ungkapan bahwa hadits khilafah hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan tidak didukung oleh kitab-kitab hadits yang lain yang masyhur. Ungkapan ini justru lebih menegaskan keawaman mereka di bidang Musthalah al-Hadits. Di kalangan ulama' hadits muta'akhirin memang telah sepakat untuk menetapkan lima kitab induk, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan an-Nasa'i dan Sunan at-Tirmidzi. Sebagian ulama' muta'akhirin yang lain, al-Hafizh Abu Fadhl bin Thahir menggolongkan satu kitab lagi sehingga menjadi Kutub As-sittah. Beliau memasukkan Sunan Ibnu Majah. Pendapat ini diikuti oleh al-Hafizh al-Maqdisi, al-Mizzi, Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Khazraji.

Jadi ini merupakan ikhtiar para ulama Hadits untuk menentukan grade kualitas kitab-kitab hadits secara umum. Tentu klasifikasi tersebut tidak mutlak, dan tidak otomatis menafikan kitab-kitab yang tidak termasuk Kutub al-Khamsah atau Kutub as-Sittah. Seperti as-Sunan al-Kubra karya al-Hafizh al-Kabir Imam al-Baihaqi, Shahih Ibn Huzaimah, Shahih Ibnu Hibban, dan lain-lain.
read more

9 Jun 2013

The Brocure


Menjadi kebiasaan di hari Jumat, seorang Imam masjid dan anaknya yang berumur 11 tahun membagi brosur di jalan-jalan dan keramaian, sebuah brosur dakwah yg berjudul “Thariiqun ilal jannah” (jalan menuju jannah). Tapi kali ini, suasana sangat dingin ditambah rintik air hujan yang membuat orang benar-benar malas untuk keluar rumah.

Si anak telah siap memakai pakaian tebal dan jas hujan untuk mencegah dinginnya udara, lalu ia berkata kepada sang ayah, “Saya sudah siap, Ayah!” “Siap untuk apa, Nak?” “Ayah, bukankah ini waktunya kita menyebarkan brosur ‘jalan menuju jannah’?” “Udara di luar sangat dingin, apalagi gerimis.” “Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!” “Saya tidak tahan dengan suasana dingin di luar.” “Ayah, jika diijinkan, saya ingin menyebarkan brosur ini sendirian.” Sang ayah diam sejenak lalu berkata, “Baiklah, pergilah dengan membawa beberapa brosur yang ada.”

Anak itupun keluar ke jalanan kota untuk membagi brosur kepada orang yang dijumpainya, juga dari pintu ke pintu. Dua jam berjalan, dan brosur hanya tersisa sedikit saja. Jalanan sepi dan ia tak menjumpai lagi orang yang lalu lalang di jalanan. Ia pun mendatangi sebuah rumah untuk membagikan brosur itu. Ia pencet tombol bel rumah, namun tak ada jawaban. Ia pencet lagi, dan tak ada yang keluar. Hampir saja ia pergi, namun seakan ada suatu rasa yang menghalanginya. Untuk kesekian kali ia kembali memencet bel, dan ia ketuk pintu dengan lebih keras. Ia tunggu beberapa lama, hingga pintu terbuka pelan. Ada wanita tua keluar dengan raut wajah yang menyiratkan kesedihan yang dalam Wanita itu berkata, “Apa yang bisa dibantu wahai anakku?”

Dengan wajah ceria, senyum yang bersahabat si anak berkata, “Nek, mohon maaf jika saya mengganggu Anda, saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda, dan saya membawa brosur dakwah untuk Anda yang menjelaskan bagaimana Anda mengenal Allah, apa yang seharusnya dilakukan manusia dan bagaimana cara memperoleh ridha-Nya.” Anak itu menyerahkan brosurnya, dan sebelum ia pergi wanita itu sempat berkata, “Terimakasih, Nak.”

Sepekan Kemudian Usai shalat Jumat, seperti biasa Imam masjid berdiri dan menyampaikan sedikit taushiyah, lalu berkata, “Adakah di antara hadirin yang ingin bertanya, atau ingin mengutarakan sesuatu?”

Di barisan belakang, terdengar seorang wanita tua berkata, “Tak ada di antara hadirin ini yang mengenaliku, dan baru kali ini saya datang ke tempat ini. Sebelum Jumat yang lalu saya belum menjadi seorang muslimah, dan tidak berfikir untuk menjadi seperti ini sebelumnya. Sekitar sebulan lalu suamiku meninggal, padahal ia satu- satunya orang yang kumiliki di dunia ini. Hari Jumat yang lalu, saat udara sangat dingin dan diiringi gerimis, saya kalap, karena tak tersisa lagi harapanku untuk hidup. Maka saya mengambil tali dan kursi, lalu saya membawanya ke kamar atas di rumahku. Saya ikat satu ujung tali di kayu atap. Saya berdiri di kursi, lalu saya kalungkan ujung tali yang satunya ke leher, saya memutuskan untuk bunuh diri. Tapi, tiba-tiba terdengar olehku suara bel rumah di lantai bawah. Saya menunggu sesaat dan tidak menjawab, “paling sebentar lagi pergi”, batinku. Tapi ternyata bel berdering lagi, dan kuperhatikan ketukan pintu semakin keras terdengar. Lalu saya lepas tali yang melingkar di leher, dan saya turun untuk sekedar melihat siapa yang mengetuk pintu. Saat kubuka pintu, kulihat seorang bocah berwajah ceria, dengan senyuman laksana malaikat dan aku belum pernah melihat anak seperti itu. Ia mengucapkan kata-kata yang sangat menyentuh sanubariku, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.”

Kemudian anak itu menyodorkan brosur kepadaku yang berjudul, “Jalan Menuju Jannah.” Akupun segera menutup pintu, aku mulai membaca isi brosur. Setelah membacanya, aku naik ke lantai atas, melepaskan ikatan tali di atap dan menyingkirkan kursi. Saya telah mantap untuk tidak memerlukan itu lagi selamanya. Anda tahu, sekarang ini saya benar-benar merasa sangat bahagia, karena bisa mengenal Allah yang Esa, tiada ilah yang haq selain Dia. Dan karena alamat markaz dakwah tertera di brosur itu, maka saya datang ke sini sendirian utk mengucapkan pujian kepada Allah, kemudian berterimakasih kepada kalian, khususnya ‘malaikat’ kecil yang telah mendatangiku pada saat yang sangat tepat. Mudah-mudahan itu menjadi sebab selamat saya dari kesengsaraan menuju kebahagiaan jannah yang abadi. Mengalirlah air mati para jamaah yang hadir di masjid, gemuruh takbir. Allahu Akbar. Menggema di ruangan. Sementara sang Imam turun dari mimbarnya, menuju shaf paling depan, tempat dimana puteranya yang tak lain adalah ‘malaikat’ kecil itu duduk. Sang ayah mendekap dan mencium anaknya diiringi tangisan haru. Allahu Akbar!”

Lihatlah bagaimana antusias anak kecil itu tatkala berdakwah, hingga dia mengatakan “Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!” Ia tidak bisa membiarkan manusia berjalan menuju neraka. Ia ingin kiranya bisa mencegah mereka, lalu membimbingnya menuju jalan ke jannah. Lihat pula bagaimana ia berdakwah, menunjukkan wajah ceria dan memberikan kabar gembira, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.” Siapa yang tidak trenyuh hati mendengarkan kata-katanya? Berdakwah dengan apa apa yang ia mampu, juga patut dijadikan teladan. Bisa jadi, tanpa kita sadari, cara dakwah sederhana yang kita lakukan ternyata berdampak luar biasa. Menjadi sebab datangnya hidayah bagi seseorang. Padahal, satu orang yang mendapat hidayah dengan sebab dakwah kita, lebih baik baik bagi kita daripada mendapat hadiah onta merah. Wallahu a’lam bishawab.


read more

30 Apr 2013

(!Demokrasi sistem kufur. haram mengambil, menerapkan, dan mendakwahkannya) الدّيمُقر اطيّة نظامُ كُفْر يَحْــرُمُ أخذها أو تطبيقهَا أو الدّعْوَةُ إليْهَا



Jika dilakukan survei, kata "demokrasi" dan "demokratis" sepertinya menempati urutan teratas dari 10 kata yang  populer di abad ini selain dari kata "globalisasi". Kata "demokrasi" atau juga "demokratis" ini juga saya amati sering beriringan dengan kata "terorisme" pada topik pembahasan yang sama. Tentu dengan pembahasan yang bertolak belakang; bahwa para teroris tidak menginginkan demokrasi, atau menginginkan pendirian negara Islam yang tidak demokratis.

Masih melekat di benak saya pelajaran SMP tentang Demokrasi ini. Kata demokrasi berasal dari 2 kata: demos dan cratein. Secara bahasa (lughawiy) dari bahasa Yunani, demos berarti rakyat, sedangkan kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa.

Saya tergelitik untuk menulis tentang demokrasi ini saat saya membaca tulisan yang dipublish di akun jejaring sosial Facebook. Terdapat "note" yang membahas tentang salahsatu pergerakan Islam (Hizbut Tahrir) dan kemudian juga membahas tentang pemikirannya. Tentang Hizbut Tahrir yang menolak Nasionalisme, peluang formalisasi Syari'ah Islam, dan yang lebih saya soroti adalah tentang pembahasannnya mengenai konsep demokrasi. Untuk lebih jelasnya bisa dibaca di sini: LINK.

Di note tersebut, beliau mengambil pendapat yang dikeluarkan oleh al-Qardlawi. "Pada hakekatnya, perkataan kedaulatan ada di tangan Tuhan—sebagaimana disebutkan oleh Yusuf Qardlawi dalam bukunya al-Din wa al-Siyasah--tidak bertentangan sama sekali dengan demokrasi. Sebab, adanya ungkapan kedaulatan rakyat bukan hendak menegasi kedaulatan Tuhan. Akan tetapi sebuah sikap oposisi terhadap pemerintahan diktator." [Ahmad Hadidul Fahmi, LINK]

Hal yang perlu untuk kita soroti di sini adalah 

masih dari sumber tulisan yang sama, Ahmad juga mengutip ungkapan Muhammad Abduh yang mengatakan "jika mengasumsikan bahwa wahyu sudah mengatur semua kehidupan manusia, diakui atau tidak, hal ini akan menghambat optimalisasi nalar dan kreasi umat. Banyak hal-hal yang baru bentukan peradaban modern tidak terdapat di dalam wahyu. Di sinilah peran manusia untuk berijtihad."

download buku/kitab (b.arab)      الدّيمُقراطيّة نظامُ كُفْر
download buku/kitab demokrasi sesuai dengan ajaran Islam?
download buku/kitab menggugat demokrasi
download buku/kitab Mengancurkan demokrasi (al-Behaj)
download artikel mengkritisi konsep theo demokrasi (shiddiq al-jawi)
read more

12 Mar 2013

bla.. bla.. bla..


Hari ini entah setan dari mana yang menghinggapi kepala, saya tiba-tiba pengen teriak, pengen menghilang, pengen lari-lari. Tapi pada akhirnya semuanya Cuma berhenti di “pengen”. Karena pada faktanya saya gak melakukan satupun.

Lalu apa yang saya lakukan? Tentu berakhir dengan menampari tuts-tuts hitam bertuliskan huruf-huruf putih. Iya, saya malah “hadir” di depan kalian. Ini di sini. Bukan di lapang dengan sepatu kets, bukan di gunung dengan suara parau setelah teriak, atau di tempat entah berantah.

Apa karena saya tidak cukup berani untuk berlaku ‘liar’ semacam di atas? Bukan! Karena saya sudah ber’azzam untuk tidak lagi lari dari masalah-masalah dan tekanan-tekanan. Tunggu dulu, bukan berarti saya berfikiran bahwa tindakan menghilang, lari, ataupun teriak itu berarti lari dari masalah, hanya saja pada saat ini permasalahan dan tekanan-tekanan yang saya hadapi ini membutuhkan penyelesaian yang cepat. Bukan dalam hitungan bulan, minggu, atau hari, tapi hitungan jam! Artinya adalah jika saya melakukan hal-hal di atas—yang tentu saja membutuhkan banyak waktu—maka justru saya akan melalaikan apa yang menjadi persoalan-persoalan saya ini. Artinya saya lari dari masalah, dan saya tidak akan melakukan hal itu. Tidak begitu.

Kenapa? Karena seberapa berat pun masalah, sungguh sudah dijanjikan bahwa itu tidak akan melebihi kemampuan atau kapasitas yang saya miliki. Saya yakin itu, karena Pencipta saya yang mengatakannya langsung pada saya. Lho? Mengatakan langsung? Ya baca saja di kumpulan kalam-Nya. Bagi saya, dengan membaca kalam-Nya itu adalah komunikasi secara langsung. Seperti halnya surat dengan alamat yang ditujukan pada alamat rumah saya dari seseorang yang nun jauh di sana. Tentu surat itu sangat bersifat privat, bukan ditujukan untuk orang di seisi rumah, apalagi untuk seluruh orang di kota tempat saya tinggal.

Ah, sudahlah. Nampaknya sudah cukup saya membuat lubang di gunung api yang akan erupsi. Lagi pula saya sudah terlalu lama ada di depan kalian. Sudah sekitar 20 menit. Bukannya saya bilang bahwa persoalan saya harus dipecahkan dalam hitungan jam?

read more