Tampilkan postingan dengan label thought. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label thought. Tampilkan semua postingan

30 Apr 2013

(!Demokrasi sistem kufur. haram mengambil, menerapkan, dan mendakwahkannya) الدّيمُقر اطيّة نظامُ كُفْر يَحْــرُمُ أخذها أو تطبيقهَا أو الدّعْوَةُ إليْهَا



Jika dilakukan survei, kata "demokrasi" dan "demokratis" sepertinya menempati urutan teratas dari 10 kata yang  populer di abad ini selain dari kata "globalisasi". Kata "demokrasi" atau juga "demokratis" ini juga saya amati sering beriringan dengan kata "terorisme" pada topik pembahasan yang sama. Tentu dengan pembahasan yang bertolak belakang; bahwa para teroris tidak menginginkan demokrasi, atau menginginkan pendirian negara Islam yang tidak demokratis.

Masih melekat di benak saya pelajaran SMP tentang Demokrasi ini. Kata demokrasi berasal dari 2 kata: demos dan cratein. Secara bahasa (lughawiy) dari bahasa Yunani, demos berarti rakyat, sedangkan kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa.

Saya tergelitik untuk menulis tentang demokrasi ini saat saya membaca tulisan yang dipublish di akun jejaring sosial Facebook. Terdapat "note" yang membahas tentang salahsatu pergerakan Islam (Hizbut Tahrir) dan kemudian juga membahas tentang pemikirannya. Tentang Hizbut Tahrir yang menolak Nasionalisme, peluang formalisasi Syari'ah Islam, dan yang lebih saya soroti adalah tentang pembahasannnya mengenai konsep demokrasi. Untuk lebih jelasnya bisa dibaca di sini: LINK.

Di note tersebut, beliau mengambil pendapat yang dikeluarkan oleh al-Qardlawi. "Pada hakekatnya, perkataan kedaulatan ada di tangan Tuhan—sebagaimana disebutkan oleh Yusuf Qardlawi dalam bukunya al-Din wa al-Siyasah--tidak bertentangan sama sekali dengan demokrasi. Sebab, adanya ungkapan kedaulatan rakyat bukan hendak menegasi kedaulatan Tuhan. Akan tetapi sebuah sikap oposisi terhadap pemerintahan diktator." [Ahmad Hadidul Fahmi, LINK]

Hal yang perlu untuk kita soroti di sini adalah 

masih dari sumber tulisan yang sama, Ahmad juga mengutip ungkapan Muhammad Abduh yang mengatakan "jika mengasumsikan bahwa wahyu sudah mengatur semua kehidupan manusia, diakui atau tidak, hal ini akan menghambat optimalisasi nalar dan kreasi umat. Banyak hal-hal yang baru bentukan peradaban modern tidak terdapat di dalam wahyu. Di sinilah peran manusia untuk berijtihad."

download buku/kitab (b.arab)      الدّيمُقراطيّة نظامُ كُفْر
download buku/kitab demokrasi sesuai dengan ajaran Islam?
download buku/kitab menggugat demokrasi
download buku/kitab Mengancurkan demokrasi (al-Behaj)
download artikel mengkritisi konsep theo demokrasi (shiddiq al-jawi)
read more

23 Jan 2013

BANTAHAN KESHAHIHAN HADIST JIHAD MELAWAN HAWA NAFSU ADALAH JIHAD AKBAR


بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Catatan ini dibuat untuk membantah argumentasi kaum liberal, para orientalis serta orang2 yg sudah terjangkit Al-Wahn akut dalam dirinya yang ingin merubah makna jihad yg sebenarnya.

Diantara kesalahan tentang pemahaman Jihad yang menyebabkan ummat enggan untuk melaksanakannya adalah pemahaman jihad besar (jihad melawan hawa nafsu) dan jihad yang lebih rendah. Seiring dengan keyakinan ini, berjuang melawan hawa nafsunya sendiri dipertimbangkan sebagai jihad yang terbesar, yang menjadikan jihad dengan berperang di medan pertempuran merupakan jihad yang paling rendah.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda sewaktu pulang dari perang Tabuk,

رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ . قَالُوْا وَمَا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ ؟ قَالَ جِهَادُ الْقَلْبِ

“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.” Mereka berkata, “Apakah jihad yang lebih besar itu?” Beliau menjawab, “Jihad hati.” (HR. Al-Baihaqi dalam Az-Zuhd (384) dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (Bab Al-Wawi/Dzikr Al-Asma` Al-Mufradah) dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhuma. Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal (biografi Ibrahim bin Abi Ablah Al-Adawi/210) dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (biografi Ibrahim bin Abi Ablah); dari Ibrahim bin Abi Ablah.

Imam As-Suyuthi mengatakan, “Diriwayatkan Ad-Dailami, Al-Baihaqi dalam Az-Zuhd, dan Al-Khathib.” [Jami’ Al-Ahadits (15164)]

Dalam riwayat Al-Khathib disebutkan, bahwa ketika NabiShallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabat baru saja dari suatu peperangan, beliau bersabda kepada mereka,

قَدِمْتُمْ خَيْرَ مَقْدَمٍ مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ . قَالُوْا : وَمَا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ ؟ قَالَ : مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ هَوَاهُ

“Kalian telah kembali ke tempat kedatangan terbaik, dari jihad yang lebih kecil menuju jihad yang lebih besar.” Para sahabat berkata, “Apakah jihad yang lebih besar itu? Nabi bersabda, “Jihad seorang hamba melawan hawa nafsunya.”


Konsepsi ini walaupun secara fakta didasarkan atas sebuah hadits, akan tetapi hadits ini dapat disangkal dari beberapa aspek, yang akan saya sebutkan berikut ini.

1. Status Keshahihannya hadits jihaad al-nafs lemah (dhoif), baik ditinjau dari sisi sanad maupun matan.

Dari sisi sanad, isnad hadits tersebut lemah (dha'if). Al-Hafidz al-'Iraqiy menyatakan bahwa isnad hadits ini lemah. Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaaniy, hadits tersebut adalah ucapan dari Ibrahim bin 'Ablah. (lihat kitab Al Jihad wal Qital fi Siyasah Syar’iyah karya Dr. Muhammad Khair Haikal)

Hadits ini tidak bisa digunakan untuk sebuah hujjah, karena al-Baihaqi berkata berkaitan dengan ini,

Al-Baihaqi berkata, “Hadits ini sanadnya lemah."

As-Suyuthi menukil dari Ibnu Hajar, “Hadits ini sangat terkenal dan sering diucapkan. Ia adalah perkataan Ibrahim bin Abi Ablah dalam Al-Kunanya An-Nasa`i.” [Ad-Durar Al-Muntatsarah fi Al-Ahadits Al-Musytaharah (1/11)]
Al-Iraqi mendha’ifkan hadits ini dalam Takhrij Ahadits Al-Ihya` (2567).

As-Suyuti juga berpendapat bahwa aspek hukumnya lemah, hal ini beliau utarakan dalam bukunya, Jami’ As-Shaghir.

Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa hadits dha’if bisa diterima dalam persoalan keutamaan amal. Pendapat ini tidak bisa diterima, karena kami tidak percaya bahwa jihad bisa digunakan untuk keutamaan amal. Jika hal itu memang benar, bagaimana mungkin Rasulullah saw. bersabda bahwa, “Diamnya ummat ini adalah penghianatan terhadap jihad”

Selanjutnya, siapapun yang mengikuti Yahya Ibn al-‘Ala’, sebagai seorang perowi hadits maka akan menemukan dalam biografinya sesuatu yang akan menyebabkannya meninggalkan hadits tersebut.. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata (berpendapat) tentangnya dalam At-Taqrib, “Dia tertuduh sebagai pemalsu hadits”. Adz-Dzahabi berkata dalam Al-Mizan, “ Abu Hatim berkata bahwa dia bukanlah seorang perowi yang kuat, Ibnu Mu’in menggolongkannya sebagai perawi yang lemah. Ad-Daruqutni berkata bahwa dia telah dihapuskan (dalam daftar perawi) dan Ahmad bin Hanbal berkata “ Dia adalah seorang pembohong dan pemalsu hadits”.

Bahkan Ibnu Taimiyah mengkategorikannya sebagai hadist mungkar. Ibnu Taimiyah berkata,“Tidak ada dasarnya dan tidak seorang pun ahli makrifat yang meriwayatkannya sebagai perkataan dan perbuatan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Bagaimanapun, jihad melawan kaum kafir adalah termasuk amalan yang terbesar dan paling utama.”[ Majmu’ Al-Fatawa: 11/197, dan Al-Furqan Baina Awliya` Ar-Rahman wa Awliya` Asy-Syaithan: 46]

Dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (2460), Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits mungkar.” Dan dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir (8510), Al-Albani mendha’ifkannya

Dari sisi matan hadits (redaksi), redaksi hadits jihaad al-nafs di atas bertentangan dengan nash Al Qur’an maupun Hadits yang menuturkan keutamaan jihaad fi sabilillah di atas amal-amal kebaikan yang lain. Oleh karena itu, redaksi (matan) hadits jihad al-nafs tidak dapat diterima karena bertentangan dengan nash-nash lain yang menuturkan keutamaan jihad fi sabilillah di atas amal-amal perbuatan yang lain.

Hadits ini secara tegas dan jelas bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Allah Yang Maha Kuasa berfirman:

لَّا يَسْتَوِى ٱلْقَٰعِدُونَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُو۟لِى ٱلضَّرَرِ وَٱلْمُجَٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ ۚ فَضَّلَ ٱللَّهُ ٱلْمُجَٰهِدِينَ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى ٱلْقَٰعِدِينَ دَرَجَةًۭ ۚ وَكُلًّۭا وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلْحُسْنَىٰ ۚ وَفَضَّلَ ٱللَّهُ ٱلْمُجَٰهِدِينَ عَلَى ٱلْقَٰعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًۭا

Tidaklah sama antara mu`min yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai `uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk [340] satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk [341] dengan pahala yang besar,

دَرَجَٰتٍۢ مِّنْهُ وَمَغْفِرَةًۭ وَرَحْمَةًۭ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًۭا رَّحِيمًا

(yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nissa':95-96)

ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَهَاجَرُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ ٱللَّهِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَآئِزُونَ

orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.

يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُم بِرَحْمَةٍۢ مِّنْهُ وَرِضْوَٰنٍۢ وَجَنَّٰتٍۢ لَّهُمْ فِيهَا نَعِيمٌۭ مُّقِيمٌ

Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padaNya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal,

خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌۭ

mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.(QS.At-Taubah:20-22)

Hadits ini (hadits tentang jihad melawan hawa nafsu) juga bertentangan dengan hadits-hadits mutawatir yang disampaikan oleh Nabi saw., yang menjelaskan tentang keutamaan jihad. Kami akan menyebutkan beberapa diantaranya.

“Waktu pagi atau sore yang digunakan di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (Bukhari dan Muslim)

“Berdiri satu jam dalam perang di jalan Allah lebih baik daripada berdiri dalam shalat selama 60 tahun.” (shahih al-Jami’)

Abu Hurairah ra berkata,

“ Apakah ada diantara kamu yang mampu berdiri dalam shalat tanpa berhenti dan terus melakukannya sepanjang hidupnya?” Orang-orang berkata, “Wahai Abu Hurairah! Siapa yang mampu melakukannya?” Beliau berkata “Demi Allah! Satu harinya seorang mujahid di jalan Allah adalah lebih baik daripada itu.”Pernyataan dari orang yang mengatakan bahwa “Berjuang melawan dirinya sendiri adalah jihad yang terbesar karena tiap individu mendapatkan ujian siang dan malam”, dapat disangkal dengan hadits berikut: Dari Rasyid, dari Sa’ad r.a., dari seorang sahabat, seorang laki-laki bertanya, “ Ya Rasulallah! Kenapa semua orang-orang yang beriman mendapatkan siksa kubur kecuali orang-orang yang syahid?” Beliau saw. menjawab: “Pertarungan dari pedang di atas kepalanya telah cukup sebagai siksaan (ujian) atasnya.” (Shahih Jami’)

Berkata Ibnu Hajar pengertian yg segera dapat ditangkap dari kata2 fisabilillah adalah jihad Kalau fisabilillah disebutkan secara mutlak (tdk tersambung dg kata lain) secara bebas artinya adalah jihad. Ada sebagian org yg merubah pengertian syar’i dg memperluas pengertian fisabilillah menafsirkan sabda Rasulullah ini Sungguh berangkat dipagi hari atau di sore hari fi sabilillah itu lebih baik daripada bumi dan seisinya (HR.Bukhari).

Mereka menafsirkan hadist ini dg tabligh, kutbah, pidato!!! Menafsirkan dg duduk menyadarkan seseorang agar sholat, puasa!!! Inikah perang fisabilillah yg lebih baik daripada dunia & seiisinya?! Ini adalah perluasan arti dalam bhsa yg memang memungkinnya. Tetap istilah syar’I tidak memperbolehkannya. Rasulullah bila mengucapkan secara mutlak kata2 fisabilillah, kata2 itu berarti jihad jika dimutlakan, karena itu kletika seseorang bertanya kepada rasulullah : Tunjukanlah kepada kami amal yg menyamai jihad, beliau menjawab: “aku tdk mendapatkannya, lalu beliau bersabda: apakah kamu mampu bila seoarang mujahid keluar(berperang) kamu masuk ke dalam masjid lalu berdiri utk sholat tanpa terputus, & berpuasa tanpa berbuka. Orang itu berkata :siapakah yg dapat melakukan itu? (HR.Bukhari)

2. Kesalahpahaman dari penafsiran hadist ini termasuk dalam bentuk ketidak adilan dan salah dalam menempatkan status para mujahid.

Allah ta’ala telah memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan sebagaimana dalam firman-Nya,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Maidah:8)

Apakah adil, kita mengatakan perang yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di medan perang adalah jihad yang paling rendah? Ketika dalam hitungan menit saja tubuh-tubuh mereka meledak, berpencarlah kaki-kaki mereka, tubuh-tubuh mereka melayang (mengambang) di air, darah berceceran dimana-mana, sampai-sampai jenazah-jenazah mereka tidak bisa dikuburkan (karena telah hancur).

Itu semua mereka lakukan untuk mendapatkan keridhoan-Nya. Dimana letak kerendahan dari jihad yang dilakukan oleh pemuda-pemuda tadi jika dibandingkan dengan aktivitas puasa kita, yang berbuka dengan makanan lezat, lalu bagaimana mungkin aktivitas puasa itu dinilai sebagai jihad yang paling besar? Demi Allah! Ini adalah pemberian nilai yang tidak sesuai, jika anda menyampaikan permasalahan ini sebelumnya pada generasi pertama (Islam) maka mereka tidak akan pernah menyampaikan pandangan hukum berbeda.

Dr.Muhammad Amin, seorang penduduk Mesir berkata dalam kitabnya, bagian dari dakwah Islam adalah jihad dengan dirinya sendiri, adapun jihad dengan harta tidak menunjukkan atas penegakkan seruan atas kebenaran dan berpendirian di atas kebenaran, menyeru kepada kebenaran dan melarang kemunkaran serta memberikan kontribusi hidup dan hartanya di jalan Allah merupakan jihad yang kurang sempurna. Ini adalah ungkapan yang aneh!!!

Tatkala kita ditimpa ujian yang sangat berat dimana kaki ikut terguncang dan hati selalu was-was akan ancaman, bisakah itu disebut jihad yang rendah? Ketika kita merasakan keadaan aman dan nyaman di rumah, berkumpul dengan keluarga dan teman-teman, bisakah ini disebut dengan tingkatan jihad yang tertinggi ! Keadaan ini seperti ungkapan seseorang yang gembira dalam keadaan duduk membelakangi perintah Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya. Seperti orang yang mendapati kesenangan dan kenyamanan dalam hidupnya padahal realitanya mereka hanya menipu jiwa mereka sendiri yang lemah karena nilai-nilai kebenaran amal seluruhnya mereka tentang.

3. Pertimbangan Jihad

Sebagian orang mungkin heran ketika mereka mendengar orang yang menggambarkan jihad (di medan perang) adalah jihad yang terendah atau orang yang menganggap berperang di jalan Allah merupakan aktivitas yang kecil dibandingkan dengan perbuatan yang lain. Jika kita menelusuri kehidupan orang-orang tersebut, melihat sejarah mereka dan mempelajari alasan-alasan mereka atas penolakan persoalan ini, maka akan kita temukan bahwa penjelasan atas pendirian mereka adalah sangat sederhana. Orang-orang tersebut meremehkan jihad dan memberikan prioritas kepada studi di Universitas, menulis di majalah-majalah dan berpidato di konferensi-konferensi untuk mengakhiri perang dan mengakhiri aksi syahid. Dengan melihat kehidupan mereka, maka akan ditemukan sebuah ancaman terhadap kesatuan ummat, karena ummat ini akan digiring pada pandangan mereka.

Ummat akan merasa bahwa dirinya lemah dan menahan diri dari aktivitas jihad (mereka hanya menerima teori dan konsepnya saja) akan tetapi tidak berpartisipasi dalam jihad. Tidak ada keinginan atas dirinya untuk bersama-sama dengan orang-orang yang mendapatkan rahmat Allah (Syahid), mereka juga menganggap tidak memiliki keuntungan untuk bergabung dengan camp-camp mujahid. Sebuah camp yang serba sederhana, jauh dari kemewahan dan kekurangan akan bahan pokok, yang akan menjadikan mereka merasakan perbedaannya antara kehidupan di camp tersebut dengan kehidupan yang dijalaninya di universitas yang penuh dengan makanan-makanan, hiburan dan ruangan kelas yang ber-AC.

Bagaimana mungkin orang-orang tersebut dapat menerima kebenaran nilai dari jihad ketika mereka tidak berpartisipasi dalam dunia perang, tidak juga masuk ke dalam arena kerusuhan dalam perang?

Jika seorang terjun ke dalam sebuah pertempuran maka cukup untuk membenarkan atas semua kesalahpahamannya. Seorang mujahid, hanya dalam hitungan beberapa jam saja dapat melihat segala sesuatu yang menakutkan yang akan menyebabkan rambut anak-anak pun menjadi beruban. Bom-bom yang meledak akan membersihkan jiwa-jiwa saudara-saudara kita yang kita cintai yang ikut andil dalam perjuangan dan jihad. Mereka akan melihat bagaimana situasi dari orang-orang ketika roket-roket meledak di atas kulit kepala mereka atau di bawah kaki mereka? Bagaimana situasi ketika mereka melihat dengan mata kepala sendiri anggota tubuh seperti lengan, kaki dan usus hancur berhamburan, anggota tubuh yang sehat menjadi cacat, hilang ingatan atau lumpuh? Inilah alasan pokok atas penolakan orang-orang yang meremehkan jihad.

Dalam beberapa jam atau hari seorang mujahid melihat dengan mata kepalanya sendiri bentuk-bentuk kekerasan, ujian dan kesengsaraan yang dialami tatkala jihad, tidakkah yang lainnya melihat hal ini selama 10 tahun terakhir ini? Akan menjadi sesuatu hal yang mustahil bagi seseorang untuk melaksanakan aktivitas jihad secara fisik kecuali ia dapat berpartisipasi di dalamnya. Oleh karena itu orang yang masih berselisih dengan mujahid dalam persoalan jihad ini atau orang-orang menyeru manusia untuk meninggalkan perang maka sebaiknya bergabung dengan camp jihad walaupun hanya sebagai pembantu atau dia seharusnya berpartisipasi dalam perang walaupun hanya sebagai orang yang masak, lalu setelah itu kita akan melihat pendapat-pendapatnya, apakah masih dia mengatakan bahwa pena sebanding atau sama dengan kalashnikov ?

Di akhir tulisan ini, saya kutipkan beberapa kalimat yang telah dikirim oleh seorang mujahid Abdullah bin Al-Mubaraq dari tanah jihad kepada temannya Al-Fudail bin Iyyad, orang yang menasihati para penguasa dan membuatnya menangis, beliau tidak meminta bayaran akan tetapi murni muncul dari keikhlasan.

يَاعَابِدَ الْحَرَمَيْنِ لَوْ أَبْصَرْتَنَا لَعَلِمْتَ أَنَكَ بِالعِبَادَةِ تَلْعَبُ مَنْ كَانَ يَخْضَبُ خَدُهُ بِدُمُوْعِهِ فَنُحُوْرُنَا بِدِمَائِنَا تَتَخَضَبُ

“ Wahai orang yang beribadah di Masjid Haromain, seandainya engkau melihat kami tentu engkau tahu bahwa engkau dalam beribadah itu hanya main-main saja, kalau orang pipinya berlinang air mata, maka, leher kami dilumuri darah “

Semoga kita terpilih di antara hambaNya dalam rangka jihad di jalan Nya dan meraih cita cita kita yaitu syahid di jalan Nya. Sebagaimana fiman Allah 'Azza wa Jalla : “… dan agar sebagian kamu di jadikan Nya syuhada” (QS. Ali Imran : 140)

Wallahu'alam bishshowab.
Pirated from: Here
read more

17 Des 2012

Duka Nestapa Tahunan

Di tulisan ini saya mau wakwekwok tentang apa coba? Saya sebenernya agak berfikir berulang kali tentang apakah bakalan nulis tentang ini atau enggak, tapi saya pikir yang akan saya bahas ini adalah pembahasan ashoy yang bakalan nyentil banyak orang. Termasuk kamu, iya KAMU!

Meskipun tulisan ini agak berbau curcol, tapi sungguh tujuannya bukan curcol, mamen! Sekedar menularkan kegundahan yang ada di antara dua telinga saat dia berbenturan dengan fakta.
"aku sayang sama kamu, aku niat menikahimu sehabis kuliah" | apa artinya?| duka nestapa tahunan.
Yap. Kegundahan saya untuk menulis tema ini dimulai ketika saya browsing dan buka tulisan-tulisan yang di-share via socmed.

Di google plus saya baca tulisan yang saya kutip di atas itu. Yang mana? Itu yang di kasih cetak tebal lho! Aha! Mungkin kalian sudah mulai mengerti pembahasan kita akan mengarah ke mana. Kemana? Tentu saja ke arah pembahasan tentang (pra) pernikahan.

Kutipan di atas itu sebenarnya kutipan dari tweet-nya Ust. Felix Siauw. Baydewey, sebenarnya kutipan di atas udah gak original. Ini kutipan original nya: "aku sayang sama kamu, aku niat menikahimu sehabis kuliah" | perkataan ini dilisankan anak SMA? apa artinya? | "duka nestapa tahunan"

Lho? Lantas kenapa dihapus itu kata-kata "dilisankan anak SMA"-nya? Karena menurut saya sindiran atas kondisinya masih relevan juga jika saya hapus kata-kata itu. Maksudlohh?Maksudlohh?Maksudlohh?

Haduh, begini saja mamen, daripada saya nambah bingung dan makin ngelantur, mari langsung sajah tu de poin.

Dalam Buku Risalah Khitbah karya Ustadz Yahya Abdurrahman disebutkan bahwa saat seorang sudah mengkhitbah, maka hendaknya jangka waktu antara mengkhitbah dengan menikah janganlah terlalu lama. Beliau mengatakan bahwa meskipun tidak ada jangka waktu yang ditentukan oleh Syara', namun menurutnya rentang waktu satu tahun itu sudah terlalu lama untuk waktu mengkhitbah. Kenapa? karena dikhawatirkan terjadi aktivitas yang tidak dibenarkan oleh syara' dan malah mengarah pada justifikasi "pacaran Islami".

Beliau juga menambahkan bahwa laki-laki yang dibenarkan untuk mengkhitbah adalah laki-laki yang sudah ber'azzam untuk menikah. Maksudnya adalah seandainya pihak wanita menginginkan pernikahan diselenggarakan satu-dua minggu setelah proses mengkhitbah, maka pihak laki-laki akan langsung mengatakan "SIAP" tanpa A-I-U lagi.

Seseorang belum dikatakan benar-benar ber'azzam jika satu waktu "ditodong", kemudian masih memikirkan lagi. Beliau membedakan antara "sudah ber'azzam" dengan baru "ingin" saja. Orang yang ber'azzam sudah pasti memiliki keinginan, tapi orang yang ingin belum tentu ber'azzam.

Jadi inti curcol kali ini apa? 
JANGAN MENGKHITBAH JIKA HANYA BARU INGIN MENIKAH dan BELUM BER'AZZAM!!

"TAKKAN LARI GUNUNG DIKEJAR"

read more

11 Nov 2012

Wahai Engkau yang Entah dengan Siapa Aku Berbicara

Senggang waktu kah kau saat ini? Maukah engkau aku ajak berbicara? Agak sedikit berandai-andai nampaknya. Ah, meskipun enggan, aku ingin memaksamu duduk. Mendengar dengan hati dan pikiran terbuka.

Bukan! Bukan berandai mengawang yang tidak jelas, tapi meneguhkan kesiapan mu dengan masa depan "kita". Emm.. Meskipun belum ada "kita" sekarang.

Yang ingin aku bicarakan pertama adalah tentang ikatan. Suka kah engkau jika aku katakan bahwa aku akan menyayangimu sekedarnya? Tidak dalam keadaan sangat, apalagi takut kehilangan mu. Aku tidak akan takut jika suatu saat ada yang mengambilmu. Tak perlu menangis sedu-sedan seolah tanpa akhir, tak perlu merasa kehilangan berlarut seandainya hari itu tiba, cepat ataupun lambat. Karena malaikat maut tidak bisa aku cegah, wahai penyempurna separuh agama. Sungguh, aku pun ingin engkau mengatakan hal yang sama.

Kemudian, hal lain yang ingin ku katakan adalah bahwa jalan yang akan ada di depanku memang bukan jalan landai yang diliputi kesenangan hidup. Kesenangan dan kelapangan hidup tak mampu aku janjikan, wahai calon Ummu Zhaafirah! Apa yang akan kau lakukan seandainya di satu pagi kau mendapatiku dijemput dengan tangan diikat dan mata ditutup? Menangis keras kah? Atau engkau akan se-keras-kepala pendamping Naveed Butt?
Lalu tentang penerus kita. Kelak, jika kita dipercayai memiliki penerus nama dan degup jantung kehidupan, rela kah engkau seandainya aku katakan bahwa aku tak segan melepas mereka bersanding dengan penghulu para martir? Aku ingin mereka bertemu dengan Hamzah atau pun Sumayyah. Aku bahkan membayangkan engkau lah yang menyiapkan perlengkapan mereka sebelum meninggalkan rumahnya yang sederhana. Ditemani kecup hangat dari Bundanya yang shalihah.

Aduhai! Tahukah engkau betapa kecamuk pikiran semacam itu senantiasa melompat-lompat di neuron-ku?

Yang membuatku lebih gila lagi adalah kegelisahan pikiran: apakah aku mampu membuatmu menjadi sosok "sempurna"? Kenapa? Karena di belakang lelaki tangguh hampir selalu ada wanita hebat yang menyertainya, namun sepertihalnya lelaki, hebatnya wanita tidak ada sejak kelahirannya. Ayah-Ibu menjadi syarat pembentuk lingkungan awal, kemudian pendamping-lah yang meneruskan mengawal dan menjadikannya jauh lebih hebat lagi.

Teruntuk engkau, calon penghulu bidadari dambaan--yang entah dengan siapa aku berbicara.


_________________________________________________________________
DariUmm Salamah, isteri Nabi SAW, beliau menuturkan :
Aku bertanya, "Yaa Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari bermata jeli?

Baginda menjawab, "Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari seperti kelebihan apa yang nampak dari apa yang tidak terlihat."

Aku bertanya, "Mengapa wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari?"

Baginda menjawab, "Karena solat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuningan, sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas."

Mereka berkata : "Kami hidup abadi dan tidak mati. Kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali. Kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali. Kami reda dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya."
(Hadis Riwayat ath-Tabrani)
read more

2 Agu 2012

Tanya Jawab seputar khilafah

 1. Apa yang disebut Khilafah..?

Jawab: Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim untuk menerapkan syariat Islam di dalam negeri dan mendakwahkannya ke luar negeri.

2. Apa yang menjadi substansi dari gagasan Khilafah tersebut?

Jawab: Pertama, kehidupan yang di dalamnya diterapkan syariat Islam dalam seluruh sendi kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang menyangkut aspek ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlak maupun muammalat serta ‘uqubah. Kedua adalah bersatunya kembali umat Islam yang kini bercerai berai dalam lebih dari 50 negara, di bawah naungan Khilafah Islamiyah dengan seorang Khalifah sebagai pemimpinnya.

3. Apakah Khilafah ada dalam al-Quran?

Jawab: Tentu. Khilafah berasal dari kata al-Khalfu (khalafa – yakhlufu) yang berarti belakang. Lalu berkembang menjadi: Khalfun, khalifah, khilafah, khalaif, khulafa, dan ikhtilaf. Di dalamnya terkandung makna pengganti, generasi, pemimpin dan pewaris bumi. Ada 127 ayat yang mengandung kata dan turunan Khilafah. Misal, al-Baqarah 11 kali, Ali Imran 7 kali, an-Nisa 3 kali, dan lain-lain

Kha–la–fa juga berarti kepemimpinan. Misalnya, terdapat dalam makna:

    * Generasi pengganti (al-A’raf: 169, Maryam: 59)
    * Suksesi generasi dan kepemimpinan (al-An’am: 165, Yunus: 14 dan 73, Fathir: 39)
    * Proses dan janji pemberian mandat kekuasaan dari Allah (an-Nuur: 55)
    * Pemegang mandat kekuasaan dan kewenangan dari Allah (al-Baqarah: 30, Shad: 26)

Jadi, kata Khalifah/Khilafah dalam arti kepemimpinan jelas ada dalam al-Quran.

4. Bagaimana makna Khilafah menurut as-Sunnah?

Jawab: Ada hadist-hadist yang secara keseluruhan diriwayatkan oleh 25 shahabat, 39 tabi’in dan 62 tabi’it tabi’in. Dalam hadist disebutkan khilafah atau imamah, pemimpinnya disebut khalifah, imam, atau amirul mukminin. Semuanya mengandung arti yang sama; yakni kepemimpinan umum bagi kaum Muslimin untuk menerapkan Islam di dalam negeri dan mendakwahkannya ke luar negeri.

5. Pendapat ulama tentang Khilafah?

Jawab: Seluruh ulama sepakat tentang wajibnya Khilafah, termasuk kalangan ulama dari kalangan ahlu sunnah wal jama’ah. Misalnya:

    * Imam al-Juwaini, “Imamah (khilafah) adalah kepemimpinan menyeluruh serta kepemimpinan yang berhubungan dengan urusan khusus dan umum dalam kaitannya dengan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia” (al-Juwaini, Ghiyats al-Umam hal: 5)
    * “Khilafah membawa semua urusan kepada apa yang dikehendaki oleh pandangan dan pendapat syar’I tentang berbagai kemaslahatan akhirat dan dunia yang rojih bagi kaum Muslim. Sebab, seluruh keadaan dunia, penilaiannya harus merujuk kepada asy-Syari’ (Allah SWT) agar dapat dipandang sebagai kemaslahatan akhirat. Jadi Khilafah, pada hakikatnya adalah Khilafah dari Shahib asy-Syari’, yang digunakan untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia” (Ibn Khaldun, Muqaddimah hlm: 190)
    * “Jumhur ulama telah bersepakat bahwa wajib ada seorang imam (khalifah) yang menegakan sholat jumat, mengatur para jamaah, melaksanakan hudud, mengumpulkan harta dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, menjaga perbatasan, menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan hakim-hakim yang diangkatnya, menyatukan kalimat (pendapat) umat. menerapkan hukum-hukum syariah, mempersatukan golongan-golongan yang bercerai-berai, menyelesaikan berbagai problem, dan mewujudkan masyarakat yang utama” (Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah hal: 88)
    * “Khilafah merupakan kedudukan agama terpenting dan selalu diperhatikan oleh kaum Muslimin. Syariah Islam telah menetapkan bahwa mendirikan Khilafah adalah satu kewajiban mendasar di antara kewajiban-kewajiban agama. Bahkan dia adalah kewajiban terbesar (al-Fardh al-A’zham). Sebab, padanyalah bertumpu/bergantung pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya” (ar-Rais, al-Islam wa al-Khilafah hal: 99)
    * “Para ulama telah sepakat bahwa imamah (Khilafah) adalah fardlu dan adanya imam merupakan keniscayaan; kecuali sekte an-Najadat (al-Khawarij) – pendapat mereka sesungguhnya telah menyalahi ijma’ “(Imam al-Hafizh Muhamad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri, Maratib al-Ijma’ hal: 1/124). Pernyataan Ibn Hazm di atas juga dikuatkan oleh Imam asy-Syaukani, Nayl al-Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar, XIII/290
    * “Mewujudkan Imamah (Khilafah) adalah fardlu kifayah, sebagaimana peradilan” (Imam al-Hafidz abu Yahya Zakaria al-Anshori, Fath al-Wahab bi Syarhi Minhaj ath-Thullab, II/268)
    * Pendapat senada juga terdapat dalam beberapa kitab lain, di antaranya: Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfadz al-Minhaj (XVI/287); Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj (XXXIV/159); Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (XXV/419); Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umayrah (XV/102)


6. Tapi, bukankah Khilafah itu hanya 30 tahun saja, selebihnya kerajaan?

Jawab: Memang ada hadist yang seakan-akan menunjukan hal itu. Misalnya hadist:
“Setelah aku, khilafah yang ada pada umatku hanya berumur 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan” (HR. Imam ahmad, Tirmidzy dan Abu Ya’la dengan isnad hasan)
Namun sebenarnya yang 30 tahun itu bukan khalifah secara keseluruhan melainkan Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwwah. Hal ini jelas bila dihubungkan dengan hadist:

“Sesungguhnya awal dari agama ini adalah nubuwwah dan rahmat, setelah itu akan tiba masa Khilafah dan rahmat, setelah itu akan datang masa raja-raja dan para diktator. Keduanya akan membuat kerusakan di tengah-tengah umat. Mereka telah menghalalkan sutra, khamer dan kefasidan. Mereka selalu mendapatkan pertolongan dalam mengerjakan hal-hal tersebut; mereka juga mendapatkan rizki selama-lamanya, sampai menghadap kepada Allah SWT” (HR. Abu Ya’la dan al-Bazar dengan isnad hasan)

Al-Hafidz Ibn Hajar dalam fath al-Bariy berkata, “Yang dimaksud Khilafah pada hadist ini adalah Khilafah an-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu’awiyyah dan khalifah-khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya raja-raja. akan tetapi tetap mereka tetap dinamakan sebagai khalifah”. Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Abu Dawud,
“Khilafah nubuwwah itu berumur 30 tahun”. (HR. abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud No.4646, 4647)

Jadi, awalnya negara nubuwwah dan rahmah pimpinan Rasulullah Saw., dilanjutkan selama 30 tahun oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Itulah Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwwah. Berikutnya, para penguasa yang kadang mengalami penyimpangan tapi tetap menjalankan syariat Islam dan diangkat memalui bai’at. Mereka tetap Khalifah. Dan kelak akan ada lagi Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwwah.

7. Mungkinkah menerapkan syariat Islam tanpa Khilafah?

Jawab: Kalau bersifat individual atau kelompok mungkin saja. Misalnya, shalat, shaum, dan lain-lain bisa dilakukan tanpa perlu menunggu adanya Khilafah. Tapi, bersatunya kaum mukmin, pembelaan terhadap umat Islam yang dibantai, mengambil lagi harta kekayaan yang dirampas negara penjajah, menyediakan kebutuhan pokok, menjamin kesehatan dan pendidikan warga, dan lain-lain, mutlak memerlukan Khilafah. Sebab, kalau bukan Khilafah yang menjadi benteng (seperti kata Nabi), lalu apa? Jadi, penerapan Islam kaffah mengharuskan adanya Khilafah.

8. Apa kerugian bila tidak ada Khilafah?

Jawab: Banyak sekali, di antaranya umat Islam kehilangan:

    * Keridloan Allah SWT. Keridloan Allah SWT dapat dicapai dengan mengikuti seluruh hukum dan aturan-NYA dengan penuh ketaatan sebagaimana dipraktekan oleh Nabi kita Muhammad Saw. Dengan kata lain menegakan Khilafah Islam yang merujuk pada syariat baik urusan di dalam negeri maupun luar negeri pada setiap aspek kehidupan.
    * Hilangnya Imam atau Khalifah atau Amirul Mukminin, di mana dibai’at kepadanya merupakan suatu yang amat vital bagi setiap Muslim. Rasulullah Saw bersabda:

      “Barangsiapa yang mati sedangkan dipundaknya tidak ada bai’at, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyyah”

      Saya ingin anda membayangkan bagaimana berdosanya kaum Muslim sejak runtuhnya Khilafah Utsmani tahun 1924 M/1342 H yang merupakan Khilafah terakhir. Akhirnya secara spontan banyak yang hilang ketika kaum Muslim kehilangan legitimasi kepemimpinan ini dan kehilangan lainnya menyusul seperti bola salju.
    * Hilangnya rasa aman dan jaminan keamanan yang menyebabkan ketakutan.
    * Hilangnya ilmu pengetahuan, pendidikan dan kepedulian yang lahir dari kepribadian Islam. Hal ini disebebkan oleh dominannya kebodohan dan buta huruf yang diakibatkan oleh kemiskinan dan kepribadian yang goyah.
    * Hilangnya kekuatan dan jihad yang disebebkan kelemahan dan kekalahan.
    * Hilangnya kekayaan yang disebabkan kemiskinan.
    * Hilangnya pencerahan dan pedoman yang benar dan disebabkan kegelapan dan pedoman yang salah.
    * Hilangnya kehormatan dan martabat yang disebabkan penghinaan.
    * Hilangnya kedaulatan dan ketergantungan dalam membuat keputusan politik akibat ketundukan kepada negara-negara penjajah kafir barat dan timur.
    * Hilangnya keadilan yang disebabkan penindasan dan ketidakadilan.
    * Hilangnya keimanan dan keikhlasan yang disebabkan pengkhianatan penempatan orang yang salah pada tempat yang salah.
    * Hilangnya sikap dan moral yang teruji yang menyebabkan kejahatan dan sikap yang tercela.
    * Hilangnya negeri-negeri Islam dan tempat tinggal, tidak hanya Palestina, tetapi juga Andalusia (sekarang yang disebut Spanyol dan Portugal), wilayah yang luas di Asia Tengah dan Timur Jauh, Kosovo, Bosnia, Kashmir, dan yang lainnya, yang menyebabkan jutaan imigran, gelombang pengungsian dan pendeportasian.
    * Hilangnya tempat suci dan akibatnya adalah kaum Muslim dilarang shalat di Masjid al-Aqsha selama 50 tahun sampai saat ini. Kami juga menyesalkan untuk mengatakannya kepada anda bahwa dua masjid lainnya pun ; yaitu Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi tidak di dalam kondisi yang diinginkan.
    * Hilangnya kesatuan dan integritas yang diakibatkan terpecahnya negeri kaum Muslim menjadi 56 bagian yang tidak sah, dan AS tengah bekerja keras menciptakan bagian ke 57 di Palestina, ke 58 di gurun Afrika Barat dan ke 59 di Timor Timur.

9. Benarkah Khilafah itu otoriter?

Jawab: Tidak Benar. Sebab, rakyat baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama wajib melakukan koreksi (muhasabah). Kalau menyimpang dari Islam, Khalifah diluruskan. Bahkan, bila melakukan kekufuran yang nyata dapat diperangi.

10. Bagaimana kebijakan Khilafah tentang penyelesaian kemiskinan?

Jawab: Khilafah menjamin kebutuhan pokok. Tolak ukur kesejahteraan rakyat sangatlah sederhana, misalnya, berapa banyak orang yang tidak punya rumah, pengemis, pengangguran, sakit dan tak mampu berobat, dan lain-lain. Jadi, sandang, pangan dan papan dijamin. Tidak boleh ada yang kelaparan sehingga rakyat makan aking dan gaplek. Pendidikan dan kesehatan pun gratis.

11. Bagaimana Khilafah memperlakukan warga negaranya yang non muslim?

Jawab: Dalam kehidupan pribadi, implementasi syariat Islam terhadap warga dilakukan secara berbeda mengikuti agama yang dianut. Bagi seorang Muslim tentu ia harus mengikuti syariat. Ia wajib melaksanakan ibadah, menjaga makanan minuman halal, selalu menutup aurat dan berakhlak mulia. Sementara, bagi non muslim dia tidak wajib mengikuti syariat Islam, tapi mengikuti ajaran agamanya masing-masing. Menyangkut masalah pakaian, makanan atau minuman dan ibadah, pendek kata semua yang berkenaan dengan keyakinan agama, mereka tidak wajib mengikuti syariat Islam karena dalam Islam memang tidak boleh ada paksaan.

Dalam kehidupan publik, baik menyangkut aspek ekonomi, politik, sosial, pendidikan, dan sebagainya –warga muslim maupun non muslim—semuanya wajib mengikuti syariat Islam. Larangan bermuamalah secara ribawi atau larangan berzina, menjual makanan minuman haram, mencuri, melakukan tindak kriminal, dan sebagainya, semua itu berlaku untuk muslim maupun non muslim. Termasuk misalnya bila dalam kehidupan Islam itu berhasil diwujudkan pendidikan bebas biaya, layanan kesehatan murah dan bermutu atau kegiatan bisnis yang kondusif serta kehidupan yang aman, damai dan sejahtera, serta infrastruktur transportasi, telekomunikasi, penerangan dan tata kota yang canggih, semua itu juga akan dinikmati oleh muslim maupun non muslim tanpa kecuali. Di sinilah rahmat Islam bagi sekalian alam yang dijanjikan itu akan terwujud.

12. Sejarah menunjukan bahwa ke-Khilafahan penuh dengan sejarah buruk?

Jawab: Perlu disadari, catatan sejarah buruk bukan hanya monopoli sejarah kaum Muslim di bawah Khilafah Islamiyyah. Penggalan sejarah buruk merupakan keniscayaan dalam sejarah manusia. Semua itu ada dan terjadi di semua sejarah bangsa dan umat manusia. Dalam sejarah nasionalisme dan nation-state sangat banyak sejarah buruk yang bahkan lebih buruk dari apa yang terjadi dlm sejarah kaum Muslim. Demikian pula dalam sejarah Sosialisme-Komunisme; apalagi Kapitalisme. Meski di sisi lain tercapai kemajuan sains dan teknologi, keburukan malah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan kedua idiologi itu & terjadi secara terus-menerus. Jika terhadap sistem Khilafah Islamiyyah, catatan buruk dlm sejarahnya dijadikan dalih untuk menjelekkan dan menghina serta menolak sistem Khilafah, mengapa hal yang sama tidak dilakukan terhadap demokrasi kapitalisme, dan sebagainya; padahal di dalam sejarahnya banyak terdapat catatan yang jauh lebih buruk? Kemiskinan dan kelaparan di Dunia Ketiga, kesenjangan ekonomi antara negar-negara maju dengan negara dunia ketiga, konflik & perang antara bangsa yang terus menerus, dan terutama penjajahan negara-negara kapitalis besar seperti AS dan sekutunya atas negara lain, khususnya negeri-negeri Islam justru terjadi & tidak pernah berhenti hingga detik ini ketika idiologi kapitalisme dan demokrasi mendominasi dunia.

Jika semata karena adanya catatan buruk dlm sejarah lantas sistemnya ditolak, bahkan dihina, maka seluruh sistem yang ada dan pernah dikenal harus ditolak pula. Jelas, hal demikian tidak bisa diterima oleh akal sehat. Karenanya, menjadikan catatan buruk sejarah Khilafah untuk menolak sistem Khilafah jelas tidak pada tempatnya dan hanya dalih yang dicari-cari.

Sejarah Khilafah adalah catatan ttg penerapan dari konsepsi sistem Khilafah. Konsepsi ttg Khilafah sendiri merup pemikiran dan hukum ttg sistem Khilafah yang digali dari dalil2 syariah. Jadi, sangat jelas bahwa sejarah bukanlah konsepsi sistem Khilafah itu sendiri. Sejarah itu hanyalah obyek pemikiran, yaitu obyek yang hendak dinilai berdasarkan sumber pemikiran atau dalilnya. Dengan menganalisis sejarah khilafah dan membandingkannya dengan konsepsi Khilafah, mk akan bisa disimpulkan bahwa sejarah itu merup pelaksanaan atau sebaliknya; penyimpangan dari konsep Khilafah. Pelaksanaannya pun masih bisa dinilai apakah sebagai pelaksanaan yang baik dan ideal dari konsepsinya; atau sebaliknya. Sejarah buruk itu merup penyimpangan atau pelaksaan buruk dari sistem Khilafah Islamiyyah. Itu hanya sebagian dari sejarah Khilafah. Karena itu, menolak sistem Khilafah dengan alasan penggalan sejarah buruk yang pernah terjadi berarti telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya; yaitu menempatkan obyek menjadi sumber pemikiran atau dalil. Jelas ini sikap seorang pengecut atau sikap yang tidak fair.
Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal" (TQS Yunus [12]: 111)

Ayat ini memerintahkan agar kita mengambil pelajaran dari perjalanan umat-umat terdahulu. Mengambil pelajaran dari perjalanan kaum Muslim tentu lebih utama. Karena itu, membincangkan atau memperdebatkan sejarah buruk itu semata merup sikap yang tidak produktif. Sikap yang seharusnya sesuai dengan ayat di atas adl mengambil pelajaran darinya. Hal itu bisa dilakukan dengan mendalami dan menganalisis peristiwanya, kemudian menilainya dan mendudukkan perkaranya sesuai dengan ketentuan syariah, selanjutnya mencegah agar kesalahan serupa tidak terulang lagi ketika Khilafah Islamiyyah berdiri kembali.

Juga, banyak di sisi lain khilafah yang justru gemilang.

Paul Kennedy dalam The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000, menulis tentang kekhilafahan utsmani dengan: “Imperium Utsmani, lebih dari sekedar mesin militer. Dia telah menjadi penakluk elite yang mampu membentuk kesatuan iman, budaya dan bahasa pada sebuah area lebih luas dari yang dimiliki imperium Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih besar” (Lihat juga pendapat senada dari William Durant)

13. Bagaimana Khilafah mempersatukan umat yang sudah tersekat-sekat nasionalisme dan nation state?

Jawab: Dulu, berbagai kabilah di Jazirah Arab yang selama itu tidak pernah akur, dapat disatukan oleh Nabi dan para Khalifah sesudahnya.

Pertama, tanamkan kekuatan ruhiyah. Orang Arab tidak lebih baik dari non Arab; begitu juga sebaliknya. Jadi, siapapun siap bersatu dengan dipimpin oleh siapapun. Kalau selama ini suku-suku di Indonesia siap dipimpin oleh orang dari Jawa, semestinya siap juga dipimpin oleh bangsa apapun dan memimpin bangsa apapun.

Kedua, secara realitas, dunia makin menjadi dusun kecil. Istilah globalisasi telah menjadi kenyataan yang tidak dapat ditawar lagi. Dunia islam pun dalam kenyataannya ‘menyatu’ dalam sistem dunia. Mulai dari moneter, standar mata uang, hingga penanganan flu burung dilakukan secara global. Jadi, kenyataannya, dunia tengah menyatu. Karenanya, persoalannya bukan pada bersatunya, melainkan pada apakah kapitalisme global akan tetap dijadikan dasar akan kebersatuan dunia itu atau Islam dengan kekhilafahannya.

Ketiga, salah satu kewajiban kita adalah bersatu. Kaum Muskmin bersaudara laksana satu bangunan dan satu tubuh, dan haram berpecah belah. Bukankah Tuhan kita sama: Allah SWT; kitabnya sama: al-Quran; Rasulnya sama: Muhammad Saw; kiblatnya sama: Baitullah? Semua itu merupakan kekuatan ruhiyah yang akan menyatukan umat melewati batas-batas nasinalisme. Bila dengan alasan material Uni Eropa dapat bersatu, maka dengan alasan umat Islam adalah umat yang satu (ummah wahidah) semestinya umat Islam dapat bersatu melebihi mereka.

14. Tapi bukankah setiap negara Islam memiliki national interest yang berbeda-beda?

Jawab: Kalaulah setiap negara muslim berpikir seperti para pemimpin negara-negara Eropa saat ini, persoalan itu mudah saja diatasi. Bukankah negara-negara Eropa itu juga memiliki national interest masing-masing? Kenapa kemudian mereka bisa mudah melebur dalam Uni Eropa? Sekarang mereka terus bergerak. Di bidang Imigrasi, bahkan sudah diperbolehkan satu visa untuk 14 negara; mungkin sekarang sudah lebih. Mata uang sudah satu. Sebentar lagi mungkin pertahan dan militer, kemudian parlemen. Nanti akan ada pemilu untuk Eropa dan sebagainya. Jadi kenapa umat Islam tidak bisa begitu? Umat Islam lebih punya dasar teologis dan historis. Secara teologis, jelas sekali dalil yang mewajibkan kita mewujudkan dan menjaga persatuan umat. Secara historis, kita tinggal meneruskan apa yang sudah umat Islam alami di masa lalu, di masa kejayaan kekhilafahan Islam.

15. Bagaimana menyatukan keragaman?

Jawab: Keragaman tidak selalu harus disatukan. Beberapa ayat al-Quran dan as-Sunnah, termasuk pada masa Rasulullah Saw dan para shahabat, menunjukan kehidupan di dalam kekhilafahan membiarkan keragaman. Keragaman budaya, adat, etnis dan lain-lain dipandang sebagai alami agar manusia saling mengenal (lihat quran surat al-Hujurat: 13). Bahkan, tidak sedikit pernikahan antar etnis terjadi. Wali Songo yang kebanyakan dari Timur Tengah menikah dengan puteri Jawa. Agama2 yang beraneka ragam diberi kebebasan hidup, karena tidak ada paksaan bagi non Muslim untuk berpindah menganut Islam (lihat quran surat al-Baqarah: 256). Beraneka madzhab pun berkembang. Dulu, ada puluhan madzhab, sekalipun yang banyak dikenal hingga kini hanya empat saja. Keragaman yang disatukan hanyalah keragaman yang apabila dibiarkan akan memporakpandakan tatanan masyarakat. Jadi, keragaman, bukanlah merupakan kesulitan dalam penegakan Khilafah.

16. Bagaimana mekanisme pemilihan Khalifah di tengah perbedaan etnik, mazhab dan kepentingan politik?

Jawab: Dari sisi pemahaman harus sama bahwa siapapun yang yang memenuhi syarat in’iqad, boleh menjadi Khalifah; tanpa membedakan etnis dan mazhab. Syarat keturunan Quraisy bukanlah syarat utama, melainkan syarat keutamaan (afdloliyah). Adanya kekhilafahan Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyyah menunjukkan hal ini. Realitas pun menunjukkan, Cina dapat mengurus rakyat yang jumlahnya 1,5 milyar dengan berbagai keragamannya, maka sejatinya umat Islam pasti lebih bisa mengurus kaum Muslim dunia sebesar itu juga.

Pada sisi lain, mekanisme pemilihan Khilafah melalui pemilihan, baik langsung maupun lewat perwakilan Majelis Umat/MU (ahlul halli wal aqdi). Dengan merujuk jejak pada Khulafaur Rasyidin dapat dilaksanakan mekanisme berikut. Di daerah di lakukan pemilihan para anggota Majelis Wilayah/MW (wakil umat di daerah) langsung oleh rakyat daerah masing-masing. Yang dipilih adalah bukan gambar partai atau organisasi; melainkan langsung orangnya. MW benar-benar menjadi representasi daerahnya. Lalu, para anggota MW memilih sejumlah orang di antara mereka untuk menjadi MU. Jadi, MU pun merasakan representasi umat secara keseluruhan. Persoalan etnik dan mazhab tidak akan menjadi masalah karena dapat diselesaikan dengan mekanisme tersebut.

Sementara itu, kepentingan politik ditampung dengan dibiarkan adanya partai-partai politik dan organisasi. Tidak perli izin, cukup pemberitahuan kepada pemerintah. Syaratnya, dasar oraganisasi adalah Islam dan untuk kepentingan Islam. Partai/organisasi ini dapat menyiapkan kader-kadernya untuk menjadi MW, MU atau khalifah, yang beradu kualitas dalam pemilihan.

17. Bagaimana cara menuju tegaknya Khilafah?

Jawab: Inti dari persoalan ini adalah kesadaran masyarakat. Masyarakat yang sadar akan kewajiban penerapan syariah dan menyatu dalam khilafah akan berupaya untuk mewujudkannya. Bila masyarakat ini didukung oleh ahlu quwwah (militer dan lain-lain), lalu memberikan kekuasaannya kepada pemimpin Islam untuk menjadi Khalifah, maka tidak ada siapapun yang dapat menghalanginya. Sebab, kekuasaan ada di datang rakyat. Hanya saja, memang negeri-negeri kaum Muslimin harus melepaskan diri dari kungkungan dan penjajahan negara-negara besar. Untuk itu, perlu ada upaya di tiap negeri Muslim untuk menggerakan umat bersatu dalam Khilafah. Perlu gerakan TRANSNASIONAL.

Pada awalnya gerakan Khilafah Islmiyyah tetaplah merupakan sebuah unit negara. Proses berikutnya, dia akan mengembangkan wilayah dan pengaruhnya itu ke negara-negara lain yang penduduknya mendukung gagasan penyatuan negara mereka ke dalam Khilafah. Misalnya, khilafah berdiri tegak di Mesir, maka khalifah akan berusaha menyatukan wilayah disekitarnya, entah itu Libya, Sudan, Aljazair, Maroko, atau bahkan wilayah yang lebih jauh seperti Palestina, Syiria, Yordanisa, Irak, Iran, dan lain-lain.

18. Kita ini lemah, padahal ada negara besar siap menghadang?

Jawab: Alasan ini memang bukan isapan jempol. G.W. Bush menegaskan akan menyerang siapapun yang mengiginkan pendirian kembali kekhilafah Islam di Timur Tengah; sebagai bagian dari “perang melawan teror”. Realitas ini bukanlah perkara baru. Rasulullah Saw. sejak awal dikepung dan diusir. Setelah berhasil menegakkan daulah nubuwwah wa rahmah pimpinan Nabi, mereka siap diserbu oleh kaum kafir Quraisy serta menghadapi tantangan dari dua negara besar kala itu; Persia dan Romawi. Tapi, hal ini justru menjadi pintu kemenangan yang lebih besar. “(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul-NYA) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung” (lihat quran surat Ali ‘Imran ayat 173). Jadi, secara I’tiqodi dan historis ancaman tersebut merupakan sunnatullah. Tapi, kemenangan Islam dan umatnya pun merupakan janji dari Allah Pencipta Alam Semesta. Lalu, sebenarnya kita. Masalahnya, karena kita tidak bersatu, maka banyak di antara kaum Muslim yang merasa lemah. Bayangkan, Indonesia saja membentang dari Inggris hingga Turki dan dari Polandia/Jerman hingga Yogaslavia, atau membentang dari Maroko sampai Yaman, dan dari Chad samapi Tunisia.

19. Ada yang menilai konteks kekhilafahan ini tidak cocok bagi Indonesia?

Jawab: Boleh saja siapapun memberikan pendapat itu. Tapi, justru kita harus mempertanyakan ketidakcocokan itu di mana? Inti dari Khilafah itu adalah syariah dan yang kedua adalah persatuan (ukhuwah). Syariah itu kita perjuangkan dengan keinginan mendalam untuk menggantikan Sekulerisme yang telah memimpin Indonesia selama 60-an; akan tetapi tidak memberikan apa-apa kecuali berbagai persoalan. Sementara persatuan bukan hanya kewajiban melainkan tuntutan fitrah manusia. Sekedar menambahkan referensi tentang keterkaitan Indonesia dengan Khilafah, bisa dibaca di sini.

20. Bagaimana dengan Pancasila?

Jawab: Harus diakui, Pancasila hanya merupakan sekumpulan prinsip-prinsip dasar yang sangat umum sehingga dapat ditarik kesana-kemari; tergantung penguasanya. Lihatlah perjalan negeri kita dari Orde Lama hingga Orde Reformasi. Dalam realitasnya untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, kebodohan, kezhaliman, ketidakadilan, penjajahan, dan lain-lain, Pancasila tidaklah memadai. Tidak operasional. Karenanya, perlu ada yang operasional. Itulah syariat dan sistem Khilafahnya. Jadi, gagasan syariat dan Khilafah merupakan solusi yang dapat membebaskan Indonesia dan umat secara keseluruhan dari krisis multidimensi. Sosialis-Komunis terbukti gagal, Kapitalisme justru menghasilkan tatanan penuh krisis seperti sekarang. Kalau bukan syariat dan Khilafah yang diperintahkan al-Quran dan as-Sunnah, lalu apa?

21. Ada sejumlah kalangan berpendapat, ide Khilafah ini akan mengancam NKRI?

Jawab: Mengancam dari sisi mana? Khilafah dan syariah itu akan menggantikan sekulerisme. Di mana sekulerisme sudah membuat celaka negeri kita; justru yang mengancam itu sekulerisme dan kapitalisme global. Fakta sudah nyata. Ukhuwah justru akan mensolidkan negara dari ancaman separatisme yang mengancam. Bentuk separatisme, seperti RMS dan Papua Merdeka, itu yang mengancam, dan bukannya Khilafah. Khilafah malah akan menyelamatkan NKRI dari kehancuran.

Apakah belum tahu bahwa para pejuang syariah dan Khilafah sangat concern pada usaha menjaga NKRI? Tatkala Timtim lepas, para pejuang syariah dan Khilafah menyampaikan pada media massa, bahwa kami akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh 25 tahun! Saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki dan tatkala kalangan tentara khawatir dengan hasil Perjanjian Helnsinki, para pejuang syariah dan Khilafah-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari NKRI dan agar NKRI jangan berada di bawah ketiak pihak asing! Bahkan kalangan militer sampai melihat para pejuang syariah dan Khilafah ‘lebih nasionalis’ dari organisasi dan partai-partai nasional… Salah seorang pejuang syariah dan Khilafah pernah berkata kepada Perwira Mabes AD yang mewakili KSAD, bahwa kami tidak hanya ingin memelihara keutuhan wilayah NKRI, bahkan ingin agar wilayah NKRI lebih besar daripada yang ada sekarang ini! Dengan sistem Pemerintahan syariah, yakni Khilafah Islamiyyah, hal itu sangat mungkin terwujud.

22. Tapi, ‘kan ide Khilafah meniscayakan adanya perubahan NKRI?

Jawab: NKRI mana yang tidak boleh dirubah..? Dari segi sistemnya, UUD 1945, saat diproklamasikan, masih memuat pembukaan yang menyebut, “dengan menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lalu pada 18 Agustus tujuh kata tersebut dicoret. Kemudian muncul UUD RIS. Lalu lahir UUD 1950, yang bersifat demokrasi parlementer. Setelah itu, kembali lagi pada UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 1959 sebagai tanda dimulanya era Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya muncul Orde Baru yang membawa Demokrasi Pancasila. Orde Demokrasi Pancasila itupun tumbang dengan lahirnya Orde Reformasi. Selanjutnya, muncul era demokratisasi pasca reformasi yang ditandai dengan perubahan UUD 1945 secara besar-besaran sehingga dominasi neolibnya sangat menyengat.

Sayangnya, meski sudah bongkar pasang, hasilnya nihil! Yang terjadi justru krisis multidimensi yang semakin menjadikan kedaulatan negeri ini berada di bawah telapak kaki kaum Neolib. Nah, dalam situasi seperti ini, tawaran konsep Khilafah sebagai suatu sistem syariah dalam sektor pemerintahan mestinya dianggap sebagai wacana pencerahan yang bisa diuji kebenaran dan kemampuan problem solving-nya secara konseptual!


Itu dari segi sistem. Dari segi teritorial, faktanya, Timtim lepas dari NKRI dengan ‘restu’ PBB pasca jajak pendapat tahun 1999.

Nah, kenapa takut dengan perubahan sistem?

23. Adakah kaitan antara Khilafah dengan demokrasi?

Jawab: Inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Inti gagasan ini bertentangan dengan syariat Islam. Sebab, jelas sekali Islam mengajarkan kedaulatan itu di tangan Allah (di tangan syariat). Kehendak yang paling tinggi itu ada di tangan syariat. Ke sanalah rakyat dan seluruh elemen negara itu wajib tunduk. Dalam al-Quran tertulis: “Innama kaan kaula al-Mu’minina idza du’u ilallahi wa rasulihi liyahkuma baynahum ayyakulu sami’na wa atho’na” (Kami mendengar dan kami taat). Itu menunjukan bahwa syariat menempati posisi yang paling tinggi. Begitu syariat Islam menyatakan sesuatu, menyuruh sesuatu atau melarang sesuatu, mereka tunduk; sami’na wa atho’na. Itu jelas sekali.

Ditegaskan dalam ayat lain, wa ma kaana limu’minin wa la mu’minatin idza qodlo allahu wa rasulahu amran ayyakuna lahumul khiyaratu min amrihim. Jadi, kalau Allah dan Rasul-NYA sudah menetapkan keputusan hukum, maka tidak pantas bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan untuk mencari keputusan hukum selain yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-NYA. Ini menunjukan bahwa yang memiliki kehendak paling tinggi adalah Allah dan Rasul-NYA. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, syariat. Karenanya, syariat itu semestinya bukan option (pilihan), tapi obligation (kewajiban). Dalam sistem demokrasi di negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia, syariat itu masih sekedar option, bukan obligation. Di situlah kita wajib menolak, bukan pilihan, yang semestinya diterapkan sebagai satu-satunya sistem hukum yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat dan bernegara. Jadi, Khilafah tidak terkait dengan demokrasi.

24. Mungkinkah Khilafah dapat ditegakkan melalui proses demokrasi..?

Jawab: Tergantung. Kalau yang dimaksud adalah harus mempertahankan kedaulatan di tangan rakyat sehingga halal-haram, baik-buruk, benar-salah, dan terpuji-tercela ditetapkan oleh wakil rakyat, maka tidak mungkin khilafah dapat tegak dalam sistem demikian. Tapi, bila yang dipegang adalah kekuasaan ada di tangan rakyat baik langsung maupun tidak langsung, maka sangat mungkin. Asal rakyat mau dan didukung oleh pemilik kekuatan (ahlu quwwah), maka sangat mungkin terjadi.

25. Lalu, arah dakwah seperti apa yang bisa menjadi peluang tegaknya Khilafah; Ishlah atau Taghyir?

Jawab: Untuk menentukan dengan tepat aktifitas dakwah kita, mesti memiliah terlebih dahulu sasaran-sasaran dakwah kita. Sasaran dakwah dapat dipilih menjadi dua; individu dan masyarakat.

Ketika sasaran dakwah kita individu, maka kita bisa memilahnya lagi menjadi dua kelompok, Kafir atau Muslim. Apabila sasaran dakwah kita adalah orang kafir, maka kita mesti melakukan aktifitas dakwah yang bersifat taghyir (mengubah secara radikal) bukan ishlah (perbaikan yang sifatnya parsial). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa asas kehidupan orang kafir bukanlah aqidah Islam, dan aqidah selain Islam adalah aqidah bathil. Jika aqidahnya bathil, maka seluruh pemikiran cabang maupun hukum yang lahir dari aqidah tersebut, bathil pula. Dalam kondisi semacam ini, perbaikan yang wajib dilakukan adalah mengganti asas yang bathil tersebut dengan asas yang shahih; yaitu aqidah Islam. Lalu, jika mereka telah menjadikan aqidah Islamsebagai asas hidupnya, selanjutnya kita ajarkan kepada mereka hukum-hukum Islam. Pengajaran ini dilakukan agar mereka terikat dengan hukum-hukum Islam, sebagai konsekuensi logis dari aqidah Islam yang ia peluk.

Apabila sasaran dakwah adalah orang Muslim, maka kita hanya mengubah hal-hal yang cabang atau membersihkan asas – yakni aqidah Islam yang pada dasarnya masih melekat erat pada dirinya. Oleh karena itu, aktifitas dakwah yang mesti dilakukan bagi orang Muslim haruslah bersifat ishlah, bukan taghyir.

Di atas adalah perbaikan individu. Lantas, bagaimana dengan perbaikan masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita mesti membahas definisi masyarakat. Menurut Syeikh Taqiyyudin an-Nabhany, masyarakat adalah: “kumpulan manusia yang di dalamnya terdapat interaksi yang bersifat terus menerus”. Interaksi tersebut terjadi karena ada kesamaan kepentingan yang ingin mereka raih; baik kepentingan tersebut bersifat mendatangkan kemashlahatan, maupun menolak kemudlorotan. Dalam menunaikan kepentingannya, manusia berbeda dengan hewan. Hewan tidak berjalan pada aturan-aturan tertentu dalam memenuhi kepentingannya. Sedangkan manusia selalu berjalan berdasarkan tatacara (kaifiyyah) tertentu yang muncul dari mafahimnya tentang kehidupan. Mafahim itu pula yang membentuk perasaan-perasaan (masyaa’ir), serta tatacara dalam melakukan aktifitas. Selanjutnya berdasarkan mafahim serta perasaan-perasaan tersebut manusia mengarungi kehidupan. Dengan begitu, terjadilah interaksi antar manusia di atas landasan pemikiran-pemikiran (yang membentuk mafahim), perasaan-perasaan, dan aturan yang diterapkan. Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan, bahwa unsur pembentuk masyarakat ada empat, yaitu: manusia, pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan aturan yang diterapkan.

Inilah realitas masyarakat. Atas dasar itu, masyarakat Islam pada masa Rasul Saw. adalah masyarakat yang terdiri dari kaum Muslim – yang di dalamnya ada ahlu adz-Dzimah, yang dibangun atas landasan aqidah Islam dan pemikiran-pemikiran cabang yang lahir dari aqidah Islam, masya’ir Islam (perasaan Islam), dan hukum yang berlaku adalah adalah syariat Islam; baik yang diterapkan secara individu maupun yang diterapkan melalui negara.

Kalau kita cermati secara jernih dan mendalam, maka masyarakat yang hidup di bawah naungan Khilafah Islamiyyah yang kurang lebih 12 abad lamanya adalah masyarakat yang sama dengan masyarakat pada masa Nabi Saw.; yakni, masyarakat Islam. Sebab, masyarakatnya terdiri dari kaum Muslim – di dalamnya ada ahlu adz-Dzimmah, landasan kehidupan masyarakat adalah aqidah Islam sebagai pemikiran asasi, serta pemikiran-pemikiran cabang lain, perasaan mereka adalah perasaan Islami dan hukum yang berlaku adalah syariat Islam. Oleh karena itu, jika di dalam masyarakat Islam seperti ini terjadi penyimpangan atau keteledoran dalam penerapan syariat Islam, maka aktifitas dakwah yang mesti dilakukan adalah dakwah yang bersifat ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial). Misalnya, ketika Khilafah Islamiyyah melalaikan jihad, maka yang dilakukan adalah memberikan nasihat pada Khalifah untuk kembali menjadikan jihad sebagai aktifitas utama daulah dalam menyebarkan Islam, dan bukan dengan menghancurkan daulah, lalu mendirikan daulah yang baru.

Dalam konteks sekarang, ketika masyarakat di mana kita hidup bukanlah masyarakat Islam, walaupun mayoritas penduduknya adalah Muslim, maka, fokus aktifitas dakwah kita bukanlah ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial); akan tetapi haruslah aktifitas taghyir al-Judzri (perubahan yang sifatnya menyeluruh). Yakni, mengubah masyarakat yang tidak Islami menjadi masyarakat Islam.

26. kalau begitu, bagaimana jalan menuju Khilafah?

Jawab: Melalui jalan dakwah yang ditempuh dengan mengikuti thariqah dakwah Rasulullah Saw, yaitu:

    * Dimulai dengan pembentukan kader yang ber-syakhsiyyah islamiyyah, melalui pembinaan intensif (halqah murakkazah) dengan materi dan metode tertentu.
    * Pembinaan umat (tatsqif jama’i) untuk terbentuknya pendapat masyarakat (al-Wa’yu al-Amy) tentang Islam.
    * Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh jamaah (tanmiyatu jizmi al-Hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik (al-Quwwatu as-Siyasiya)
    * Penegakan syariah dan khilafah memerlukan kekuatan politik. Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memiliki kesadaran politik Islam (al-Wa’yu al-Siyasi al-Islamy), yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariah Islam. Maka harus ada upaya penyadaran politik islami masyarakat secara terus menerus yang dilakukan oleh kader. Makin banyak kader, makin cepat kesadaran terbentuk sehingga kekuatan politik juga makin cepat terwujud.
    * Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah Islam.
    * Di dukung oleh ahlu quwwah (semisal polisi, militer, politisi, orang kaya, tokoh masyarakat, dan sebagainya) yang melalui pendekatan intensif, setuju mendukung perjuangan syariah dan khilafah. Kekuatan politik yang didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung.
    * Rakyat menuntut tegaknya sistem syariah dan kekuasaan Khilafah atau penyatuan ke dalam Khilafah Islamiyyah.

pirated from: here
read more

19 Agu 2011

Ghibah yang Boleh Dalam Islam

Secara umum ghibah memang diharamkan dalam Islam, dalilnya adalah:
  1. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al Hujuraat[49]: 12) 
  2.  “Ketika saya di Mi’rajkan saya telah melihat suatu kaum yang berkuku tembaga digunakan untuk mencakar muka dan dada mereka sendiri, maka saya bertanya kepada Jibril: Siapakah mereka itu? Jawabnya: Mereka yang makan daging orang dan mencela kehormatan orang (yakni Ghibah)” (H.R Abu Dawud dari Anas ra.)
  3. “Barang siapa mencegah ghibah yang menyinggung kehormatan saudaranya, maka Allah akan membebaskannya dari neraka” (H.R Imam Ahmad)
  4. “Barang siapa mencegah ghibah yang dilakukan oleh saudaranya, maka Allah akan mencegahnya dari neraka pada hari kiamat” (H.R At Tirmidzi) 

Namun ternyata ada beberapa pengecualian. Berikut ini enam sebab (kondisi) dibolehkannya ghibah:
1.) Mengadukan kezaliman orang kepada hakim (qadli), penguasa (khalifah) atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”

2.) Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka hukumnya tetap haram.

3.) Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”

4.) Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.

5.) Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.

6.) Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah)

Dalil-dalil diperbolehkannya ghibah semacam itu:

Imam Nawawi menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:
1. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:

ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ

“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)

Imam Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.

2. Dari ‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِين

“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari) Laits bin Sa’ad salah seorang perawi hadits ini berkata: “Kedua orang ini termasuk kalangan orang munafiq.”

3. Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku katakan:

إَنَّ أَبَا جَهْمٍ و مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ (متفق عليه). وفى رواية لمسلم: “وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ” وهو تفسير لرواية: ” فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ”. وقيل معناه كثير الأسفار

“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku maka bagaimana?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia itu miskin tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun Abul Jahm adalah lelaki yang sering memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran dari ungkapan, “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa maksud ungkapan itu adalah: orang yang banyak bepergian.

4. Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

خرجنا مع رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم في سفر أصاب الناس فيه شدة فقال عبد اللَّه بن أبي: لا تنفقوا على من عند رَسُول اللَّهِ حتى ينفضوا، وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل، فأتيت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد اللَّه بن أبي فاجتهد يمينه ما فعل، فقالوا: كذب زيد رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فوقع في نفسي مما قالوه شدة حتى أنزل اللَّه تعالى تصديقي (إذا جاءك المنافقون:) المنافقين
(ثم دعاهم النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ليستغفر لهم فلووا رؤوسهم (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Kami pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh suatu perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami kondisi yang menyulitkan, maka Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah kalian berinfak membantu orang-orang yang ada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka mau bubar.” Dia juga mengatakan, “Seandainya kita pulang ke Madinah, maka orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah.” Maka aku pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian beliau pun mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada Abdullah bin Ubay.

Maka dia justru berani bersumpah dengan serius kalau dia tidak pernah mengatakannya, maka mereka pun mengatakan, “Zaid telah berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ucapan mereka itu membuatku diriku susah dan tersakiti sampai akhirnya Allah menurunkan firman-Nya untuk membuktikan kejujuranku, “Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu.” (QS. Al-Munafiquun: 1) Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka supaya meminta beliau berdoa memintakan ampun bagi mereka akan tetapi mereka justru memalingkan kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)

5. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم، قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Hindun isteri Abu Sufyan mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang pelit, dia tidak memberikanku sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali yang sengaja kuambil sendiri darinya dalam keadaan dia tidak tahu, lantas bagaimana?.” Beliau bersabda, “Ambilah sebanyak yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘alaihi) (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/100 dan 104)
wallahu'alam..
re-arranged from: Mriki (di sini)

read more