Tampilkan postingan dengan label al-bayaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label al-bayaan. Tampilkan semua postingan

19 Agu 2011

Ghibah yang Boleh Dalam Islam

Secara umum ghibah memang diharamkan dalam Islam, dalilnya adalah:
  1. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al Hujuraat[49]: 12) 
  2.  “Ketika saya di Mi’rajkan saya telah melihat suatu kaum yang berkuku tembaga digunakan untuk mencakar muka dan dada mereka sendiri, maka saya bertanya kepada Jibril: Siapakah mereka itu? Jawabnya: Mereka yang makan daging orang dan mencela kehormatan orang (yakni Ghibah)” (H.R Abu Dawud dari Anas ra.)
  3. “Barang siapa mencegah ghibah yang menyinggung kehormatan saudaranya, maka Allah akan membebaskannya dari neraka” (H.R Imam Ahmad)
  4. “Barang siapa mencegah ghibah yang dilakukan oleh saudaranya, maka Allah akan mencegahnya dari neraka pada hari kiamat” (H.R At Tirmidzi) 

Namun ternyata ada beberapa pengecualian. Berikut ini enam sebab (kondisi) dibolehkannya ghibah:
1.) Mengadukan kezaliman orang kepada hakim (qadli), penguasa (khalifah) atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”

2.) Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka hukumnya tetap haram.

3.) Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”

4.) Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.

5.) Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.

6.) Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah)

Dalil-dalil diperbolehkannya ghibah semacam itu:

Imam Nawawi menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:
1. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:

ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ

“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)

Imam Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.

2. Dari ‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِين

“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari) Laits bin Sa’ad salah seorang perawi hadits ini berkata: “Kedua orang ini termasuk kalangan orang munafiq.”

3. Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku katakan:

إَنَّ أَبَا جَهْمٍ و مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ (متفق عليه). وفى رواية لمسلم: “وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ” وهو تفسير لرواية: ” فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ”. وقيل معناه كثير الأسفار

“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku maka bagaimana?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia itu miskin tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun Abul Jahm adalah lelaki yang sering memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran dari ungkapan, “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa maksud ungkapan itu adalah: orang yang banyak bepergian.

4. Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

خرجنا مع رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم في سفر أصاب الناس فيه شدة فقال عبد اللَّه بن أبي: لا تنفقوا على من عند رَسُول اللَّهِ حتى ينفضوا، وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل، فأتيت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد اللَّه بن أبي فاجتهد يمينه ما فعل، فقالوا: كذب زيد رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فوقع في نفسي مما قالوه شدة حتى أنزل اللَّه تعالى تصديقي (إذا جاءك المنافقون:) المنافقين
(ثم دعاهم النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ليستغفر لهم فلووا رؤوسهم (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Kami pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh suatu perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami kondisi yang menyulitkan, maka Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah kalian berinfak membantu orang-orang yang ada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka mau bubar.” Dia juga mengatakan, “Seandainya kita pulang ke Madinah, maka orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah.” Maka aku pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian beliau pun mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada Abdullah bin Ubay.

Maka dia justru berani bersumpah dengan serius kalau dia tidak pernah mengatakannya, maka mereka pun mengatakan, “Zaid telah berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ucapan mereka itu membuatku diriku susah dan tersakiti sampai akhirnya Allah menurunkan firman-Nya untuk membuktikan kejujuranku, “Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu.” (QS. Al-Munafiquun: 1) Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka supaya meminta beliau berdoa memintakan ampun bagi mereka akan tetapi mereka justru memalingkan kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)

5. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم، قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Hindun isteri Abu Sufyan mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang pelit, dia tidak memberikanku sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali yang sengaja kuambil sendiri darinya dalam keadaan dia tidak tahu, lantas bagaimana?.” Beliau bersabda, “Ambilah sebanyak yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘alaihi) (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/100 dan 104)
wallahu'alam..
re-arranged from: Mriki (di sini)

read more

7 Agu 2011

adab berdiskusi dan debat dalam Islam, dikutip dari kitab min muqawimmat nafsiyah islamiyah (pilar-pilar pengokoh nafsiyah Islam)

Al-Jadal adalah At-Tahâwur (berdiskusi atau berdialog), seperti firman Allah:

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal-jawab antara mereka antara kamu berdua.” (TQS. al-Mujadalah [58]: 1)

Dalam ayat ini Allah menyebut al-jadal (berdebat) dengan istilah at-tahâwur (berdiskusi). Definisi al-jadal  (berdebat) adalah penyampaian hujjah atau yang diduga sebagai hujjah oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya untuk membela pendapat atau madzhabnya, membatalkan hujjah lawan, dan mengubahnya kepada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.
Berdebat termasuk perkara yang diperintahkan syara’ untuk menetapkan kebenaran dan membatalkan kebatilan. Dalilnya adalah firman Allah Swt:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (TQS. an-Nahl [16]:125)

 Firman Allah Swt:

“Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar’” (TQS. al-Baqarah [2]: 111)

Rasulullah saw. juga telah mendebat kaum Musyrik Makkah, Nasrani Najran, dan Yahudi Madinah. Pengemban dakwah akan senantiasa menyeru kepada kebaikan (Islam), amar makruf nahyi munkar, dan memerangi pemikiran yang sesat. Karena berdebat telah ditentukan sebagai uslub dalam semua aktivitas yang wajib tersebut, maka berdebat menjadi suatu kewajiban pula berdasarkan kaidah (ushul): 
"Suatu kewajiban yang tidak sempuran (pelaksanaannya) tanpa sesuatu, maka sesuatu itu (hukumnya) wajib."
 
Di antara perdebatan ada satu jenis perdebatan yang dicela secara syar’i, sehingga menjadi satu bentuk kekufuran, seperti mendebat Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah berfirman:

"Dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah , dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksaan-Nya." (TQS. ar-Ra’du [13]: 13)

"Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir." (TQS. Ghâfir [40]: 4)

Orang yang kufur adalah orang yang mengingkari (kebenaran), bukan orang yang membenarkan (kebenaran). Sebab, orang yang ingkar akan berdebat dalam rangka untuk membantah kebenaran. Sedangkan orang yang menetapkan kebenaran (al-mutsbit) akan berdebat untuk memastikan kebenaran dan melenyapkan kebathilan. Allah berfirman:

“Mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu.” (TQS. Ghâfir [40]: 5)
“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (TQS. az-Zukhruf [34]: 58)

Berdebat tentang al-Quran untuk menetapkan bahwa al-Quran bukan mukjizat atau bukan berasal dari Allah juga merupakan suatu kekufuran. Ahmad telah meriwayatkan hadits marfu’ dari Abû Hurairah; Rasulullah saw. bersabda:

“Berdebat tentang al-Quran adalah kufur.” (Ibnu Muflih berkata, “Hadits ini isnadnya baik dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir”)

Ada juga perdebatan yang makruh, seperti mendebat kebenaran setelah jelas dan tampak sebagai kebenaran. Allah Swt. berfirman:

“Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu)” (TQS. al-Anfâl [8]: 6)

Berdebat bisa dilakukan dengan hujjah (dalil) atau dengan syubhat dalil. Adapun berdebat dengan menggunakan selain keduanya merupakan syaghab dan takhlith. Definisi syubhat adalah sesuatu yang dibayangkan oleh suatu madzhab dalam bentuk hakikat, padahal kenyataannya tidak demikian. Ini adalah definisi Ibnu Aqil. Ibnu Hazm telah mendefinisikan asy-syaghab adalah merekayasa hujjah yang batil dengan menggunakan suatu premis atau premis-premis yang rusak, yang akan menggiring kepada kebatilan. Disebut juga al-safsathah (mengelabuhi). Ibnu Aqil berkata, “Siapa saja yang suka menempuh metodologi ahli ilmu, maka ia hanya dibenarkan berbicara dengan hujjah (dalil) atau syubhat dalil. Sedangkan asy-syaghab adalah merupakan pencampuradukan yang dilakukan oleh ahli debat. Dari paparan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa asy-syaghab adalah berdebat tanpa menggunakan dalil atau syubhat dalil.

Di antara adab dan aturan berdebat yang telah diwasiatkan oleh para ulamadengan sebagian tambahanadalah :
a.    Mengedepankan ketakwaan kepada Allah, bermaksud taqarrub kepada-Nya, dan mencari ridha-Nya dengan menjalankan perintah-Nya.
b.    Harus diniatkan untuk memastikan kebenaran sebagai kebenaran dan membatilkan yang batil. Bukan karena ingin mengalahkan, memaksa, dan menang dari lawan.
Asy-Syafi’I berkata, “Aku tidak berbicara kepada seorang pun kecuali aku sangat suka jika ia mendapatkan taufik, berkata benar, dan diberi pertolongan. Ia akan mendapatkan pemeliharaan dan penjagaan dari Allah. Aku tidak berbicara kepada seorang pun selamanya kecuali aku tidak memperhatikan apakah Allah menjelaskan kebenaran melalui lisanku atau lisannya.” Ibnu Aqil berkata, “Setiap perdebatan yang tidak bertujuan untuk membela kebenaran maka itu menjadi bencana bagi pelakunya.”
c.    Tidak dimaksudkan untuk mencari kebanggaan, kedudukan, meraih dukungan, berselisih, dan ingin dilihat.
d.    Harus diniatkan untuk memberikan nasihat kepada Allah, agama-Nya, dan kepada lawan debatnya. Karena agama adalah nasihat.
e.    Harus diawali dengan memuji dan bersyukur kepada Allah dan membaca shalawat kepada Rasul-Nya saw.
f.     Harus memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar diberi taufik terhadap perkara yang diridhai-Nya.
g.    Harus berdebat dengan metode yang baik dan dengan pandangan dan kondisi yang baik. Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:

Sesungguhnya petunjuk yang baik, cara yang baik, dan tidak berlebih-lebihan adalah satu bagian dari dua puluh lima bagian kenabian(HR. Ahmad dan Abû Dawud. Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa hadits ini isnadnya hasan).
h.   Singkat dan padat dalam berbicara. Yaitu berbicara sedikit, menyeluruh, dan fasih (sesuai dengan yang dimaksudkan). Terlalu banyak bicara akan mengakibatkan kebosanan. Disamping juga lebih berpeluang menimbulkan kekeliruan, kelemahan, dan kesalahan.
i.    Harus sepakat dengan lawan debatnya terhadap dasar yang menjadi rujukan keduanya. Dengan orang kafir dasar yang dijadikan sebagai rujukan adalah akal semata-mata, sedangkan jika berdebat dengan seorang muslim, dasar rujukannya adalah akal dan naql. Akal menjadi rujukan pada perkara-perkara yang bersifat rasional. Sedangkan pada perkara-perkara yang bersifat syar’i, naql-lah yang menjadi dasar rujukannya, sebagaimana Firman Allah:

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.(TQS. an-Nisa [4]: 59)

j.    Orang kafir tidak boleh didebat dalam perkara cabang syariat. Sebab, ia tidak beriman kepada perkara pokok syariah. Karenanya, hendaknya tidak berdebat dan berdiskusi dengan mereka mengenai pernikahan dengan empat isteri, kesaksian wanita, jizyah, hukum waris, haramnya khamr, dan sebagainya.
k.   Tidak mengeraskan suaranya kecuali sebatas untuk bisa didengar oleh orang yang ada di sekitarnya. Dikisahkan ada seorang lelaki dari Bani Hasyim yang bernama Abd ash-Shamad berbicara di hadapan Khalifah al-Ma’mun dengan mengeraskan suaranya. Kemudian al-Ma’mun berkata, “Wahai Abd ash-Shamad, janganlah engkau mengeraskan suaramu. Karena sesungguhnya kebenaran terdapat pada yang paling tepat, bukan yang paling keras.” (Al-Khatib dalam al-Faqih wa al-Mutafaqqih).
l.    Tidak boleh merendahkan lawan diskusi dan meremehkan persoalannya.
m. Harus bersabar atas penyimpangan lawan diskusi, bersikap sabar, dan memaafkan kesalahannya, kecuali orang itu memang pandir. Maka kita harus menjauhkan diri dari berdiskusi dan berdebat dengannya.
n.   Harus menjauhi al-hiddah dan al-dhajjar. Ibnu Sirin berkata, “al-hiddah merupakan kiasan dari kebodohan.” Maksudnya adalah bodoh dalam berdiskusi.
o.   Apabila berdebat dengan orang yang lebih banyak pengetahuannya maka hendaknya tidak mengatakan, “Engkau salah,” atau, “Perkataan anda keliru,” melainkan harus mengatakan, “Bagaimana pendapat anda jika ada orang yang mengatakan,” atau membantah dengan menggunakan redaksi orang yang meminta petunjuk, seperti berkata, “Bukankah yang benar itu pernyataan demikian?”
p.   Berusaha memikirkan dan memahami perkara yang disampaikan oleh lawan diskusi dan tidak boleh cepat-cepat berbicara sebelum lawan diskusi selesai berbicara. Dari Ibnu Wahab ia berkata; Aku mendengar Malik pernah berkata, “Tidak ada kebaikan pada jawaban sebelum dipahami terlebih dahulu. Bukan termasuk adab yang baik jika seseorang memutuskan pembicaraan lawannya.” Adapun jika lawan diskusi adalah hanya ingin berdebat, keras kepala, banyak membicarakan yang tidak bermanfaat, maka yang menjadi sikap asal adalah tidak berdiskusi dengannya jika hal itu telah diketahui ada pada dirinya. Apabila baru terungkap di tengah-tengah diskusi, maka ia harus menasihatinya. Apabila ia tidak bisa menjaga diri maka putuskanlah pembicaraan.
q.   Hendaknya menghadapkan wajahnya kepada lawan diskusi, dan tidak berpaling kepada orang-orang yang hadir di forum diskusi untuk meremehkan lawan diskusinya. Jika lawan diskusi melakukan hal itu, maka harus dinasihati. Apabila ia tidak mau menghentikannya, maka hentikanlah diskusi.
r.    Tidak boleh berdebat dengan merasa hebat dan takjub terhadap pendapatnya. Sebab, orang yang ujub tidak akan menerima pendapat dari orang lain.
s.   Tidak boleh berdebat di forum-forum yang ditakutkan, seperti berdiskusi di tempat terbuka dan di forum-forum umum. Kecuali jika ia merasa tenteram dengan agamanya, tidak takut karena Allah terhadap caci maki orang yang mencaci, siap menanggung risiko dari pembicaraannya, baik berupa penjara atau bahkan pembunuhan. Apabila ia tidak bias meneguhkan dirinya bersama Hamzah (tidak mampu mengatakan hak di hadapan penguasa yang dzalim), maka sikap diam lebih utama. Karena dalam kondisi seperti itu (dikhawatirkan) ia akan meremehkan agama dan ilmu. Dalam kondisi ini, bisa diingat kembali bagaimana sikap para ulama terdahulu semisal Imam Ahmad dan Imam Malik. Juga sikap para ulama masa kini seperti para ulama yang mendebat Muamar Kadafi ketika mengingkari as-sunah.
t.    Tidak boleh berdebat dengan orang yang tidak disukai. Baik kebencian ini berasal dari dirinya atau datang dari lawannya.
u.   Tidak berpanjang lebar dalam pembicaraan, khususnya pada perkara-perkara yang sudah diketahui lawan diskusi. Melainkan harus berbicara dengan singkat, namun tidak merusak maksud.
v.   Tidak boleh berdiskusi dengan orang yang meremehkan ilmu dan ahlinya, atau di hadapan orang-orang pandir yang meremehkan diskusi dan orang-orang yang sedang berdiskusi. Imam Malik berkata, “Termasuk merendahkan dan meremehkan ilmu jika seseorang membicarakan ilmu di hadapan orang yang tidak mentaati ilmu itu.”
w.  Tidak boleh merasa rendah untuk menerima kebenaran ketika kebenaran itu tampak pada lisan lawannya. Karena sesungguhnya kembali kepada kebenaran lebih baik daripada terus menerus dalam kebatilan. Juga supaya termasuk ke dalam golongan orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling benar.
x.   Tidak boleh mengacaukan jawaban, yakni dengan memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan. Seperti:

Penanya             : Apakah Arab Saudi itu Daulah Islam?
Penjawab            : Peradilan di sana Islami.

Jawaban ini adalah mughalathah (kacau atau tidak sesuai pertanyaan). Jawaban yang seharusnya adalah mengatakan ya, tidak, atau saya tidak tahu. Jawaban mana pun dari ketiga jawaban ini termasuk jawaban yang muthabiqah (sesuai pertanyaan).
y.    Tidak mengingkari perkara-perkara penting sehingga menjadi penentangnya. Seperti orang mengingkari permusuhan orang-orang kafir terhadap kaum Muslim. Atau mengingkari bahwa system yang diterapkan di negeri-negeri Islam adalah sistem kufur, yakni tidak berhukum dengan Islam.
z.    Tidak menghindarkan diri dari membuang argumentasinya dalam setiap masalah yang cocok dengannya. Seperti memperbolehkan membeli rumah-rumah di Barat dengan riba yang didasarkan pada al-hajah al-khasshah (kebutuhan khusus) yang diturunkan dan dari ad-dharurah al-khashah (darurat khusus), kemudian tidak memperbolehkan kebutuhan-kebutuhan lain seperti makanan, pakaian, dan pernikahan dengan riba. Maka sesungguhnya memperbolehkan suatu kebutuhan berarti telah memubahkan banyak hal yang haram, meskipun tidak menghilangkan argumentasi dan kaidahnya dalam setiap kebutuhan, maka sungguh telah bertentangan.

download terjemah buku/kitab Min Muqawimat an-Nafsiyah al-Islamiyah (pilar-pilar pengokoh nafsiyah Islam part 1
download terjemah buku/kitab Min Muqawimat an-Nafsiyah al-Islamiyah (pilar-pilar pengokoh nafsiyah Islam part 2
read more

6 Agu 2011

Thanks to democracy?

Bagi kalangan liberal, kebebasan dakwah pergerakan yang menyeru peruban dasar Negara dan menyeru penerapan syariah Islam secara kaaffah membuat mereka dengan sombongnya menyatakan: mereka harus makin berterima kasih pada demokrasi. Menurut mereka, berkat demokrasilah gerakan-gerakan di Indonesia kini bebas beraktivitas, menerbitkan banyak media, termasuk menyelenggarakan berbagai even-even kolosal seperti Konferensi Internasional dan Konferensi yang di gelar di berbagai kota besar.

Diakui, pergerakan yang menyeru peruban dasar Negara dan menyeru penerapan syariah Islam secara kaaffah memang tidak bisa bergerak bebas dan tumbuh berkembang di negara-negara totaliter seperti Saudi Arabia, Mesir, Yordania, Suriah dan negara Timur Tengah lain: terutama pada era sebelum revolusi yang baru lalu terjadi. Aktivitasnya dilarang dan banyak anggotanya yang dipenjara. Sebaliknya, pergerakan yang menyeru peruban dasar Negara dan menyeru penerapan syariah Islam secara kaaffah ini justru berkembang di negara-negara yang jauh seperti di Indonesia terutama setelah era reformasi. Namun, menyatakan bahwa itu semua berkat jasa demokrasi, dan karenanya pergerakan itu harus berterima kasih padanya adalah pernyataan yang serampangan!

Bila benar perkembangan pesat pergerakan itu di Indonesia karena demokrasi, mestinya keadaan serupa terjadi di semua negara yang menganut paham demokrasi. Kenyataannya tidak demikian. Lihatlah bagaimana keadaan dakwah di negara-negara yang katanya demokratis itu. Di Inggris, misalnya, Hizbut Tahrir Britain (HTB) terus mendapat tekanan politik. Terakhir mereka bahkan mendapat kesulitan untuk penyelenggaraan Konferensi Khilafah Internasional pada juli lalu yang rencananya akan diikuti oleh 10.000 peserta dari 40 negara. Pasalnya, semua tempat dipaksa untuk menolak begitu tahu yang bakal menyewa adalah HTB. Di Denmark, jerman dan sejumlah negara Eropa yang ngakunya negara demokratis, Hlzbut Tahrir malah dilarang. Hizbut Tahrir Amerika Serikat tahun lalu juga gagal menyelenggarakan konferensi Khilafah karena mendapat tekanan serupa.

Keadaan kurang lebih sama terjadi di kawasan Asia Selatan. Di India, Bangladesh dan Pakistan, ,yang juga dianggap negara-negara demokratis, Hizbut Tahrir tidak bebas bergerak. Di Bangladesh dilarang. Beberapa aktivisnya, termasuk jurubicara HT Bangladesh, Prof. Mohiuddin Ahmed, hingga sekarang masih di dalam penjara tanpa pengadilan. Di Turki, negeri Muslim yang sering dipuja-puja sebagai yang paling demokratis, ratusan anggota HT Turki dipenjara tanpa pernah diadili. Beberapa di antaranya ditangkap begitu mendarat di Ankara sepulang dari Jakarta mengikuti Muktamar Ulama Nasional tahun 2009 lalu dengan tuduhan turut dalam pertemuan mempersiapkan kegiatan terorisme.

Keadaan buruk di negara-negara yang disebut demokratis bukan hanya menimpa Hizbut Tahrir, tetapi juga umat Islam secara keseluruhan. Lihatlah, bagaimana pemerintah Swiss memberlakukan kebijakan larangan pembangunan menara masjid yang disahkan melalui referendum pada tahun 2009. Pemerintah Prancis pun, mulai tahun 2011 ini resmi melarang burqa. Pakaian yang sejatinya dalam perspektif hak asasi manusia harus dianggap wajar karena merupakan ekspresi keyakinan beragama seseorang dan sama sekali tidak menimbulkan gangguan pada kehidupan publik, nyatanya justru dianggap sebagai bentuk penindasan terhadap perempuan. "Jilbab seluruh wajah adalah bendera sebuah ideologi sektarian dan mengancam kehormatan manusia," kata ketua kelompok hak-hak wanita Prancis Ni Putes Ni Soumises, Sihem Habchi.

Penindasan itu agaknya akan terus menyebar. Buktinya, undang-undang yang sama kini tengah dibahas di Belgia, Spanyol dan Italia. Bahkan Australia melalui sebuah RUU akhir tahun lalu juga berniat mengikuti kebijakan negara-negara Eropa dalam melarang Jilbab, Bila RUU itu disahkan, orang-orang percaya bahwa mereka memiliki kebebasan untuk menyerang dan menyakiti para perempuan yang memakai hijab.

Bukan hanya soal pakaian, penindasan juga ditunjukkan dengan tindakan diskriminatif terhadap Muslim di sana. Sebuah survei yang disponsori oleh Komisi Eropa yang hasilnya dirilis pada 26 November 2010 memperlihatkan sebagian besar umat Muslim yang tinggal di negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (UE) mengalami diskriminasi. Survei dilakukan oleh Eurobarometer melalui telepon kepada 4.000 Muslim dewasa yang tinggal di negara-negara UE.

Dalam survei itu, responder diberi pertanyaan apakah pernah diperlakukan diskriminasi oleh non-Muslim. Hasilnya, 79 persen umat Islam itu mengaku pernah diperlakukan diskriminasi setidaknya satu kali.

Terakhir pemerintah Belanda melarang penyembelihan binatang secara syariah di tempat-tempat penyembelihan hewan karena tanpa dibius. Para anggota parlemen yang menyetujui ketentuan itu mengklaim bahwa cara penyembelihan menurut syariah Islam itu "tidak manusiawi". Sebab, undang-undang Belanda mensyaratkan bahwa binatang yang disembelih harus dalam keadaan tidak sadar, agar tidak merasakan sakit atau ketakutan. Sebaliknya, aturan Islam mensyaratkan bahwa binatang yang disembelih harus dalam keadaan sadar. Larangan serupa sebelumnya sudah diberlakukan juga di Selandia Baru, negara-negara Skandinavia dan Swiss.

Jadi, haruskah berterima kasih pada demokrasi? Ingat, kebebasan beraktivitas yang diperoleh oleh tiap pergerakan adalah hak setiap Muslim, yakni untuk melaksanakan kewajiban dakwah. Hak ini harus diiindungi. Ini bukan pemberian siapa-siapa. Bahkan sebaliknya, siapa saja yang telah atau hendak merampas hak ini berarti telah berbuat dosa karena menghalangi jalan dakwah. Oleh karena itu, pergerakan-pergerakan itu tidak merasa harus berterima kasih pada siapa pun, apalagi pada demokrasi.

Kalaulah kita harus berterima kasih, tentu tidak lain kepada Allah SWT, bukan pada demokrasi yang justru mengingkari kekuasaan Allah dalam penetapan hukum. Ucap terima kasih yang sama semestinya juga harus dilakukan oleh kalangan liberal, juga manusia lain, siapapun dia. Karena atas berkat rahmat Allahlah mereka hidup, menghirup udara segar, berjalan dan berbicara serta mengenyam segala nikmat. Dengan semua nikmat yang telah mereka reguk itu, sungguh sangat tidak pantas mereka malah menyanjung-nyanjung demokrasi, sementara kekuasaan Allah SWT mereka lecehkan!!

pirated from here.
read more

3 Agu 2011

Hukuman dan Siksaan Setiap Pelaku Liwath Setelah Kaum Luth Berdasarkan keterangan hadits. (BEING A GAY IS CRIME IN ISLAM!) [Jawaban untuk anonymus]

Dinukil oleh Ibnul Qayyim bahwa para shahabat Rasulullah bersepakat agar pelaku gay dibunuh, tidak ada dua orang pun dari mereka yang berselisih tentangnya. Hanya saja mereka berselisih tentang cara membunuhnya.
Sebagian Hanabilah menukil ijma’ (kesepakatan) para shahabat bahwa hukuman bagi pelaku gay dibunuh. Mereka berdalil dengan hadits:
“مَنْ وَجَدْتُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمَ لُوْطٍ فَاقْتُلُوْا الْفَاعِلَ وَ الْمَفْعُوْلَ بِهِ”
“Siapa saja di antara kalian mendapati seseorang yang melakukan perbuatan kaum Luth maka bunuhlah pelakunya beserta pasangannya." (Hadits ini diriwayatkan oleh Ahlus Sunan yang empat dan sanadnya shahih, berkata At-Tirmidzi, “Hasan shahih.”)

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahlus Sunan dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan lainnya. Imam Ahmad berpendapat dengannya dan sanad hadits ini sesuai dengan syarat dua Syaikh (Al-Bukhari dan Muslim).
Mereka juga berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari Ali bahwasanya beliau merajam orang yang melakukan perbuatan ini.
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata,
” وَبِهَذَا نَأْخُذُ بِرَجْمِ مَنْ يَعْمَلُ هَذَا الْعَمَلَ مُحْصَنًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مُحْصَنٍ “
“Maka dengan (dalil) ini, kami menghukum orang yang melakukan perbuatan gay dengan rajam, baik ia seorang yang sudah menikah maupun belum.
Begitu juga dengan riwayat dari Khalid bin Al-Walid bahwa beliau mendapati di sebagian daerah Arab, seorang lelaki yang disetubuhi sebagaimana disetubuhinya seorang wanita. Lalu, beliau menulis (surat) kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq tentangnya, kemudian Abu Bakar Ash-Shiddiq meminta nasihat kepada para shahabat. Maka yang paling keras perkataannya dari mereka ialah Ali bin Abi Thalib yang berkata,
” مَا فَعَلَ هَذَا إِلاَّ أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنَ الأُمَمِ، وَقَدْ عَلِمْتُمْ مَا فَعَلَ اللهُ بِهَا، أَرَى أَنْ يُحْرَقَ بِالنَّارِ “
“Tidaklah ada satu umat pun dari umat-umat (terdahulu) yang melakukan perbuataan ini, kecuali hanya satu umat (yaitu kaum Luth) dan sungguh kalian telah mengetahui apa yang Allah Subhaanahu wa ta’ala perbuat atas mereka, aku berpendapat agar ia dibakar dengan api.”
Lalu, Abu Bakar menulis kepada Khalid, kemudian Khalid pun membakar lelaki itu.
Abdullah bin Abbas berkata,
” يُنْظَرُ إِلَى أَعْلَى بِنَاءٍ فِي الْقَرْيَةِ، فَيُرْمَى اللُّوْطِيُّ مِنْهُ مُنَكِّبًا، ثُمَّ يُتَّبَعُ بِالْحِجَارَةِ “
“Ia (pelaku gay) dinaikkan ke atas bangunan yang paling tinggi di satu kampung, kemudian dilemparkan darinya dengan posisi pundak di bawah, lalu dilempari dengan bebatuan.”
Abdullah bin Abbas mengambil hukuman seperti ini dari hukuman yang Allah Subhaanahu wa ta’ala timpakan kepada kaum Luth dan Abdullah bin Abbaslah yang meriwayatkan sabda Nabi ` ,
“مَنْ وَجَدْتُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمَ لُوْطٍ فَاقْتُلُوْا الْفَاعِلَ وَ الْمَفْعُوْلَ بِهِ”
“Siapa saja di antara kalian mendapati seseorang yang melakukan perbuatan kaum Luth maka bunuhlah pelakunya beserta pasangannya." (Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad 1/300 dan lihat Shahih Al-Jaami’: 6565.)
“أَرْبَعَةٌ يُصْبِحُونَ فِي غَضِبِ اللَّهِ ويُمْسُونَ فِي سَخِطَ اللَّهِ”، قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ : “وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟” قَالَ:”الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ، وَالَّذِي يَأْتِي الْبَهِيمَةَ، وَالَّذِي يَأْتِي الرِّجَالَ”
“Ada empat golongan yang di pagi hari mereka berada dalam kemarahan Allah Subhaanahu wa ta’ala dan di sore hari mereka berada dalam kemurkaan-Nya.” Abu Hurairah berkata: “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Beliau ` menjawab: “Para lelaki yang menyerupai wanita, para wanita yang menyerupai lelaki, orang yang menyetubuhi binatang, dan lelaki yang menyetubuhi lelaki." (Hadits ini dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi dengan sanad yang di dalamnya terdapat Muhammad bin Salam Al-Khuza’i, ia tidak diketahui keadaannya, dari bapaknya, dari Abu Hurairah. Berkata Al-Bukhari, “Muhammad bin Salam haditsnya tidak diikuti.” Lihat Miizaan Al-I’tidaal karya Adz-Dzahabi (3/567).)

Kesimpulannya adalah ada yang berpendapat dibakar dengan api, ada yang berpendapat dirajam dengan bebatuan, ada yang berpendapat dilemparkan dari tempat yang sangat tinggi, lalu dilempari dengan bebatuan, ada yang berpendapat dipenggal lehernya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib, dan ada juga yang berpendapat ditimpakan (diruntuhkan) tembok kepadanya. Adapun Al-Allamah Asy-Syaukani menguatkan pendapat agar pelaku Liwath dibunuh dan beliau melemahkan pendapat-pendapat selain itu. Sesungguhnya mereka menyebutkan masing-masing cara pembunuhan bagi pelaku gay karena Allah Subhaanahu wa ta’ala telah mengazab kaum Luth dengan semua itu.
read more