Guyuran air dingin menarik saya ke alam sadar setelah pingsan. Dengan kepala berat, saya melempar pandangan ke sekeliling ruangan pengap dan lembab itu. Oh, ternyata saya di sel kantor polisi. Saya kemudian dipaksa untuk bicara tentang bungkusan itu. Tentu saja saya jawab saya tidak tahu! Polisi kemudian meninggalkan saya dalam keadaan marah. Saya kemudian dipindahkan menuju sel yang lebih gelap.
Fyuh! Di dalam sel yang dibuat sedemikian rupa sehingga tidak ada ruang untuk cahaya menyelinap masuk, saya masih tidak menyangka kejadian dua hari yang lalu berakhir dramatis seperti ini.
* * *
Saat senja, matahari selalu saja menahan saya lebih lama di bibir pantai. Seperti biasanya, saya selalu berdua saja dengan si Noni. Dia memang bukan kekasih saya—bahkan dia bukan manusia—tetapi dialah yang selalu setia menemani saya ke mana-mana. Yeah, Noni itu sepedah ontel saya yang sudah mulai berkarat.
Dengan ditemani Noni dan lembayung berselimut sepi, biasanya saya banyak berfikir tentang hidup; tentang dari mana saya, apa tujuan saya ada, dan setelah tujuan saya ada telah saya penuhi, akan ke mana saya berakhir? Akh! Tak banyak orang yang merasa perlu untuk memikirkan hal seperti itu, tapi saya piker hal tadi lah yang akan membuat hidup seorang manusia akan berpola. Percaya atau tidak, karena berfikir tentang hal-hal tadi itulah saya memutuskan untuk putus dengan pacar saya. Karena saya merasa tidak ada gunanya saya berpacaran. Huft!
Saat itu tak seperti hari-hari sebelumnya, pantai hari itu terlihat penuh dengan orang-orang. Mereka berkerumun layaknya lalat yang mendapati daging yang sudah lama tak bertuan. Suara bising karena mereka bercakap pun sama bisingnya dengan kepakan sayap lalat. Whoops! Mereka mengerumuni sebuah dus, yang ternyata berisi potongan tubuh manusia.
Masih belum habis rasa penasaran dan mual saya, beberapa orang di samping saya terlihat memperhatikan dari ujung rambut hingga ujung kaki saya! Tingkah aneh itu saya balas dengan menatap lekat bola mata mereka. Saat akan beralih menatap orang ketiga yang menatap saya, salah seorang di tengah-tengah kerumunan itu berteriak, “woi, elu yang tadi buang bungkusan ini, ya?!” nah lho, kenapa tiba-tiba saya yang diteriakin gini?? Mendengar teriakan orang itu, kerumunan itu berbalik menjadi mengerumuni saya dan si noni tersayang. Satu persatu orang-orang itu dengan baik hati menghadiahkan saya dengan bogem mentah-nya, hingga entah di tangan orang ke berapa saya akhirnya jatuh terjermbab di pasir yang putih itu.
* * *
Ditemani gelap dan pengap, saya mulai mencoba berkenalan dengan ruangan ini. Rasanya seperti orang buta saja. Hmm.. mari mulai meraba. Pertama-tama saya berkenalan dengan kayu kasar. Mungkin maksudnya ini untuk tempat tidur, tapi saya pikir kucing budug pun enggan sekedar dekat papan penuh relief ini. Kalian tahu? Rasanya seperti memegang Korong alias upil yang udah kering! Haha! Jorok bangat ya?!
“orang baru, ya? Kenapa? Maling ayam? Hahaha!” suara dengan nada berat tiba-tiba keluar entah dari arah mana. “woi! Siapa , lu?! Kampret ngagetin aja!” saya teriak sambil entah menghadap orang itu atau tidak. “santai, kang! Duduk di bangku yang kamu pegang. Kita ngobrol dulu.” Selorohnya dengan santai. Saya masih emosi memang, tapi apa boleh dikata semua gelap, tak ada yang bisa saya tatap. Akhirnya saya duduk dengan manis di benda yang orang itu bilang bangku.
“sori, tadi gua kaget, jadi teriak kayak orang gila. Gua Almer Akira Al-Zada a.k.a. A3, lu siapa?” Saya mulai menurunkan nada bicara sambil masih tetap bingung ke arah mana saya harus menghadap untuk menemukan lawan bicara saya.
“nama saya Islam. Hmm.. Akira? Gak kedengeran kayak nama seorang maling ayam. Kenapa kamu bisa di sini?” pembicaraan kami sudah mulai cair dengan cara bicaranya yang semakin santai. “eh? Islam? Nama yang unik. Gua di sini gara-gara dituduh orang yang mutilasi, padahal bukan gua yang ngelakuin itu, sumpah! Cuma gara-gara gua kebetulan lewat, eh gua diteriakin sama orang-orang kampring itu!” saya bercerita dengan berapi-api. “ooh.. iya, saya percaya bukan kamu pelaku pembunuhan itu, Akira. Dari cara kamu cerita, saya tau kamu orang baik.” Dia bicara seolah dia dukun. Hehehe.
“bagus lah kalo lu percaya gua orang baik. Oia, lu sendiri dari kapan di sini, terus gara-gara apa, bro?” Tanya saya dengan penasaran.
“terlau panjang lah kalo diceritain. Kamu bakalan bosen!” Dia menolak dengan halus. “whuei, gua itu pendengar setia aki-aki di panti jompo, bos! Jangan khawatir gua bakalan bosen!” saya memaksanya untuk bercerita.
“ oke deh, nih saya mulai cerita.” Dia pun mulai bercerita sambil terdengar nada girang, seperti anak kecil yang baru mendepatkan sepeda pertamanya.
Dia bernama Islam. Saya hampir tidak percaya saat dia berkata bahwa dia sudah ada di dunia ini sejak 14 abad yang silam, namun ceritanya membuat saya percaya bahwa dia memang sudah hidup selama itu. Ya! Dia berkisah bahwa dirinya ‘dibidani’ oleh Rasulullah Saw., kemudian dijaga oleh keempat sahabat Rasul Saw. dan para khalifah setelahnya.
Untuknya didirikanlah sebuah payung pelindung untuknya bernama Daulah Khilafah, yang di kemudian hari menjadi pencerah bagi umat manusia di dunia. Bersamanya muncullah orang-orang masyhur yang menjadi peletak dasar-dasar ilmu yang membimbing renaissance di Barat.
Dia kemudian menjabarkan beberapa ilmuwan besar dan karya-karyanya yang mengabadikan nama mereka. Disebutlah yang pertama, Al-Khawarizmi, seorang ahli astronomi, geografi dan matematikawan super brilian. Di Barat, khususnya di Eropa lebih dikenal dengan sebutan Algorism atau Algorim. Beliau mewariskan ilmu tentang Al-Jabar, mulai dari perhitungan sederhana (kali, bagi, tambah, kurang), sampai matematika rumit bertitelkan ‘kalkulus’, yang konon rumit. Beliau pun mewariskan teorema Trigonometri: sinus, cosinus, tangen, cotangen, dll.
Kemudian disebutlah Ibnu Sina seorang ahli filsafat, bahasa, astronomi, dan yang paling menonjol dalam bidang kedokteran. Karyanya, al-Qanuun—yang diterjemahkan menjadi the Canon—hingga kini masih menjadi rujukan kedokteran di Barat.
Selanjutnya Ibnu Al-Haiitsami, sebagai pelopor dalam bidang optik yang bereksperimen dengan 27 jenis lensa yang berbeda, yang kemudian menemukan hukum refleksi dan refraksi. Kitabnya yang berjudul Al-Manazhir (kamus optik), konon adalah satu buku yang paling banyak dijiplak dalam sejarah sains. Ilmuwan yang menjiplaknya antara lain Roger Bacon, Da vinci, Kepler, atau bahkan mungkin juga Newton.
Last but not least, Al-Bukhori, seorang perawi hadits yg mempunyai daya ingat sedemikian cemerlangnya, serta sederetan nama lain yang tidak akan cukup kalau disebutkan di sini semuanya.
Di bawah naungan Daulah Khilafah itulah tunas-tunas tumbuh di bawah keperkasaan. Bunga-bunga mekar tanpa ada yang berani merenggutnya dengan paksa. Manusia aman sentosa tanpa cela, dan tak pernah berhenti membesarkan Penciptanya.
Saat itu, ratusan tahun dunia tunduk. Ratusan tahun manusia takluk. Mereka hargai dan segani Khilafah Islamiyah. Bumi jadi tempat yang megah. Dimana setiap jiwa terpelihara dari dosa, setiap harapan punya tempat yang terang untuk diwujudkan, mawar-mawar merah dijaga kehormatannya, dan taman-taman bunga selalu semerbak mengharumi dunia.
Itu keadaan 87 tahun yang lalu, sebelum dirinya dipenjara di sini bersama saya. Untuk yang keduakalinya saya hampir tidak percaya: dia di penjara ini sudah 87 tahun?! Lalu apa yang terjadi sebelum Islam dipenjara? Dia berkata bahwa pelindungnya telah dihancurkan. Ya! Daulah Khilafah telah dihancurkan! Setelah itu secara perlahan orang-orang mulai meninggalkan Islam. Mereka bukan tidak percaya Islam, namun hanya saja mereka mengenyampingkannya dari tengah-tengah kehidupan mereka, bahkan akhirnya mereka melarang Islam untuk hadir, di tengah-tengah masyarakat! MEREKA MEMENJARAKAN ISLAM!
Wow! Saya sangat heran, bagaimana mungkin orang yang katanya percaya pada Islam, namun dia memenjarakannya hingga tidak bisa hadir di tengah-tengah kehidupan mereka?!
Di hari itu saya perasaan di hati saya campur-baur. Ada rasa takjub, malu, hingga marah dan jengah! Saya jengah dengan bodohnya orang yang berani-beraninya memenjarakan Islam di sudut kelam. Entah setelah berapa jam kami mengobrol, saya yang kelelahan akhirnya terlelap.
* * *
Berbulan-bulan setelah kami bertemu dan berbincang, saya yang akhirnya bebas karena memang tidak ada bukti untuk ditahan, mencoba mengunjungi kawan saya yang berada dalam sel kelam. Namun betapa saya terkejut mendapati kabar bahwa tidak pernah ada tahanan bernama Islam dan saya tidak pernah ditempatkan dalam sel gelap! Saya kemudian bertanya, kalau begitu apa yang terjadi pada saya kemarin itu? Sipir bilang bahwa saya hanya pingsan saja. WHAT?! Lalu dialog yang kemarin itu??
* * *
Tujuh hari penuh saya memikirkan tentang dialog saya dengan makhluk bernama Islam. Dialog itu terasa sangat nyata! Menyentuh jiwa dan mengobarkan amarah, tapi ternyata bahkan dialog itu tidak nyata? Saya yakin pasti ada ‘sesuatu’ yang ingin ditunjukkan oleh ‘Sesuatu’! Saya harus cari tahu sampai dapat jawaban yang memuaskan akal dan menentramkan jiwa.
* * *
Jalanan sore lagi-lagi memukau iris saya. Yeah! Lembayung digelayuti mentari seolah mencair layaknya margarin meleleh di penggorengan. Akhirnya setelah kesana kemari dan menghabiskan waktu 1 tahun penuh, saya mendapatkan jawaban tentang dialog saya dengan Islam itu.
Saya akhirnya tahu bahwa dialog saya dengan Islam itu tidak benar-benar terjadi, namun kondisi yang dialaminya memang benar-benar terjadi pada Dien yang bernama sama: ISLAM. Islam yang dahulu memuliakan dan dimuliakan pemeluknya disingkirkan dari kehidupan manusia, dicampakkan, dipenjarakan di sudut-sudut gelap yang terhinakan.
Sekarang saya ditemani Noni tersayang meluncur di setiap petang untuk berusaha membebaskan Islam. Bukan dari penjara fisik, namun dari belenggu pengkerdilan manusia-manusianya. Kami meluncur dari rumah ke rumah, menggelar diskusi-diskusi kecil, menghantam opini-opini miring, bahkan berjalan mengelilingi kota untuk membebaskan ISLAM YANG TERPENJARA!
Semoga kalian pun tergugah membebaskan Islam dari penjara tanpa perlu mengalami kegilaan yang saya alami. Atau hanya ingin jadi PECUNDANG yang memenjarakan Islam?!
When the sun arise from west
When the sin out of the demon ass
We will pay what we have done before
Through the pain, or no limit pleasure
(Hipocrishit—PURGATORY)
TABIK!
*) Tulisan ini merupakan produksi ulang tulisan yang dibuat penulis lain dengan judul dan inti cerita yang sama, namun dengan karakter, cara penulisan dan cerita yang agak berubah.
Semoga kamu gak bete lagi karena tulisan kamu saya bajak (lagi).
Teruntuk kawan satu Halqah awak yang sering terlihat ketus: Isal.. :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar