Tampilkan postingan dengan label download kitab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label download kitab. Tampilkan semua postingan

7 Sep 2011

Beramal bukan untuk dikenal, bergerak bukan untuk dilihat! Sebuah Kutipan dari Kitab min muqawimmat nafsiyah islamiyah (pilar-pilar pengokoh nafsiyah Islam)

Seseorang Muslim yang bergerak dan dinamis sudah barang tentu akan menjadi "artis". Bukan ingin narsis, tapi itulah sebuah sunatullah jika kita mau menganalisis. Ah, sudah cukup menulis dengan ritme "-is" di akhir kalimatnya! Susah sekali mencari diksinya! :D

Okay, saya akan sedikit curcol. Tulisan dengan tema ini sudah lama ingin saya buat. Hal ini karena saya tergelitik dengan fenomena update status di facebook dan tweet di twitter tentang aktivitas-aktivitas yang sedang dijalani. God d**n everyone become an artist!! Kadang ada yang update ini dan itu tentang aktivitasnya. Saya tidak tahu apa tujuan sang empunya account update status aktivitasnya, namun saya berdoa semoga beliau-beliau yang memiliki account (pun saya) dijauhkan dari gambaran buruk dalam hadits-hadits yang saya kutip dari kitab min muqawimmat nafsiyah islamiyah (pilar-pilar pengokoh nafsiyah Islam) ini.

Sebagai pembuka, berikut kisah yang telah diriwayatkan oleh Abû Yusuf dalam kitab al-Atsar dari Abû Hanifah dari Ali bin al-Aqmar
Umar bin al-Khathab pernah lewat kepada seorang laki-laki yang sedang makan dengan tangan kirinya. Umar saat itu berdiri menghadap para sahabat yang sedang makan. Maka Umar berkata kepada lelaki itu, “Wahai hamba Allah, makanlah dengan tangan kananmu!” Laki-laki itu berkata, “Tangan kananku ‘sibuk’”. Kemudian Umar menghampiri kedua dan ketiga kalinya tapi laki-laki itu tetap makan dengan tangan kirinya dan berkata seperti tadi. Kemudian Umar berkata, “Sibuk dengan apa?” Laki-laki itu berkata, “Tangan kananku terputus pada perang Mu’tah”. Maka Umar pun terkejut mendengar jawabanya itu. Kemudian berkata, “Lalu siapa yang yang mencuci pakaianmu? Siapa yang meminyaki rambutmu? Siapa yang melayanimu?” Ali bin Akmar berkata, “Kemudian Umar menyiapkan kebutuhannya. Umar memerintahkan agar ia diberi seorang budak, satu tunggangan beserta makanan dan nafkahnya.” Para sahabat berkomentar, “Umar telah memberikan balasan kebaikan kepada rakyatnya.”

Kemudian dalam suatu hadits panjang, dikabarkan kemalangan seorang yang telah menyangka dirinya berbuat baik, padahal tidak! Semoga kita dijauhkan dari kondisi semacam ini. 
Hadits Abû Hurairah diriwayatkan oleh Muslim dan an-Nasâi, ia berkata; aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
Yang pertama kali akan diadili di hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Kemudian ia dibawa ke hadapan Allah, dan Allah memberitahukan kenikmatan kepadanya, maka ia pun mengetahuinya. Allah berfirman, “Apa yang engkau lakukan di dunia?” Orang itu berkata, “Aku telah berperang karena-Mu hingga aku syahid.” Allah berfirman, “Engkau berdusta. Sebenarnya engkau berperang karena ingin dikatakan sebagai pemberani dan hal itu telah dikatakannya”. Kemudian Allah Swt. memerintahkan untuk membawanya, maka orang itu diseret di atas wajahnya hingga dilemparkan ke neraka. Kemudian orang yang mempelajari dan mengajarkan ilmu serta membaca al-Quran. Lalu ia dibawa ke hadapan Allah, dan Allah memberitahukan kenikmatan kepadanya, maka ia pun mengetahuinya. Allah berfirman, “Apa yang engkau lakukan di dunia?” Orang itu berkata, “Aku telah mempelajari ilmu dan megajarkannya, aku pun membaca al-Quran karena-Mu.” Allah berfirman, “Kamu berdusta. Sebenarnya kamu mempelajari ilmu karena ingin dikatakan sebagai orang alim. Kamu membaca al-Quran karena ingin dikatakan sebagai Qari, dan semua itu telah dikatakannya.” Kemudian Allah SWT memerintahkan untuk membawanya. Maka orang itu diseret di atas wajahnya hingga dilemparkan ke neraka. Kemudian orang yang diberi keluasan oleh Allah dan diberi karunia bermacam-macam harta. Lalu ia dibawa ke hadapan Allah, dan Allah memberitahukan kenikmatan kepadanya, maka ia pun mengetahuinya. Allah berfirman, “Apa yang engkau lakukan di dunia?” Orang itu berkata, “Tidak ada satu jalan pun yang Egkau sukai untuk berinfak di jalan itu kecuali aku menginfakkan hartaku karena-Mu.” Allah berfirman, “Kamu berdusta. Sebenarnya kamu melakukan itu semua karena ingin dikatakan sebagai dermawan, dan semua itu telah dikatakan.” Kemudian Allah Swt. memerintahkan untuk membawanya. Maka orang itu diseret di atas wajahnya hingga dilemparkan ke neraka.

Kemudian hadits Abdullah bin Amru, riwayat ath-Thabrâni dan Baihaqi, ia berkata; aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: 
"Barangsiapa memperdengarkan amalnya kepada manusia, maka Allah akan memperdengarkan amalnya pada pendengaran seluruh makhluk Allah. Allah akan mengecilkan dan menghinakannya (di hari kiamat)." (al-Mundziri berkata, “Salah satu sanad ath-Thabrâni adalah perawi yang sahih”).
Hadits Auf bin Malik al-Asyja’iy riwayat ath-Thabrâni dengan sanad yang hasan, ia berkata; aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
"Barangsiapa yang melaksanakan suatu amal dengan riya, maka Allah akan memperlihatkan amal itu di hari kiamat. Dan barangsiapa yang beramal dengan sum’ah, maka Allah akan memperdengarkan amal itu di hari kiamat."
Az-Zubaidi dan ash-Shafi telah mengeluarkan dalam al-Kanz dan al-Hâkim, at-Tirmidzi dalam an-Nawâdir, serta Abû Nu’im dalam al-Hilyah dengan sanad yang dikatakan oleh al-Hâkim, “Aku tidak mengetahui adanya kecacatan padanya”. Dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda:

Nanti di akhir zaman akan terdapat “Didan al-Qurra". Siapa saja yang hidup di zaman itu, maka hendaklah ia berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk dan dari mereka (Didan al-Qurra). Mereka adalah orang-orang yang berbau busuk. Kemudian akan bermuculan berbagai jenis penutup kepala dan jubah, maka manusia sudah tidak lagi merasa malu dari riya. Orang yang berpegang teguh pada agamaku saat itu bagaikan orang yang menggenggam bara api. Orang yang berpegang teguh pada agamanya pahalanya seperti pahala lima puluh orang. Para sahabat berkata, “Apakah lima puluh itu dari mereka atau dari kami?” Rasulullah saw. bersabda, “Dari kalian.”
Didan al-Qura’ adalah orang yang beribadah terfokus pada hal-hal yang dzahir, yang sengaja dilakukan agar mereka (dapat) (mencari) makan di dunia. (Lihat Faidhul Qadir, Syarah Jami’ ash-Shagir)
Hadits riwayat Ibnu Majah, Baihaqi dan al-Hâkim, ia berkata, hadits ini shahih tidak ada penyakitnya.
"Dari Zaid bin Aslam, dari bapaknya, bahwa Umar ra. telah keluar menuju Masjid kemudian ia menemukan Muadz sedang menangis dekat kuburan Rasulullah saw. Umar berkata, “Apa yang membuat engkau menangis?” Muadz berkata, “Aku menangis karena ingat suatu hadits yang pernah aku dengar dari Rasulullah saw., beliau bersabda:
'Riya yang sedikit adalah syirik. Barangsiapa yang memusuhi wali-wali Allah, maka ia telah memerangi Allah secara terang-terangan. Sesungguhnya Allah Swt. mencintai orang-orang yang berbuat baik yang bersih hatinya, dan tersembunyi. Jika mereka tidak ada, maka mereka tidak dicari; jika mereka hadir, maka mereka tidak dikenal. Hati mereka merupakan pelita-pelita petunjuk, yang mengeluarkan mereka dari problem dan balak yang membingungkan.'"
Demikian beberapa hadits dan atsar yang saya kutip sepenuhnya dari kitab tersebut. Bagi yang berminat membaca kitab tersebut secara penuh silahkan beli sendiri kitabnya (jangan minta ke saya! hehe), atau bisa download di link yang sudah saya sediakan di bawah.  Semoga bermanfaat untuk kita semua! :)
Hasbi Rabbi Jalallah
Ma Fiy Qalbi Ghayrallah
Nabi Muhammad Sallallah
Laailaa ha Illallah!
[Jihad-Soldier of Allah]


===============================================================
read more

8 Agu 2011

Cinta tanah air sebagian dari Iman, benarkah?

Biasanya orang-orang Indonesia mulai membicarakan tentang nasionalisme pada pertengahan bulan Agustus ini. Ya! Karena katanya pada tanggal 17 di bulan ini negara mereka merdeka. Di jalan-jalan mendadak berjejeran atribut-atribut yang bernuansa Merah-putih. Tema-tema acara mulai digiring untuk mengarahkan penontonnya untuk terbangkitkan rasa Nasionalismenya. Bahkan orang-orang yang bertitelkan Ustadz pun mengangkat tema Nasionalisme. Namun apakah Nasionalisme itu ada dalam Islam?

لَيْسَمِنَّ مَنْدَعَ إلَ ألصَََبِيَّة...
“Tidak tergolong umatku orang yang menyerukan ashabiyah (fanatisme golongan, seperti nasionalisme). [HR. Abu Dawud].

Lalu bagaimana nasib "hadits" yg biasa dipakai buat justivikasi nasionalisme:

"HUBBUL WATHON MINAL IMAN"

Sudah tahukah saudara-saudara sekalian bahwa itu adalah hadist maudhu' alias PALSU? Silahkan, ini rujukan kitab-kitabnya:
1. Kitab Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin karya Syaikh Muhammad bin al-Basyir bin Zhafir al-Azhari asy-Syafi’i (w. 1328 H) (Beirut : Darul Kutub al-Ilmiyah, 1999), hal. 109; dan

2. Kitab Bukan Sabda Nabi! (Laysa min Qaul an-nabiy SAW) karya Muhammad Fuad Syakir, diterjemahkan oleh Ahmad Sunarto, (Semarang : Pustaka Zaman, 2005), hal. 226.

Kitab-kitab itu mudah dijangkau dan dipelajari oleh para pemula dalam ilmu hadits di Indonesia, sebelum menelaah kitab-kitab khusus lainnya tentang hadits-hadits palsu, seperti :

1. Kitab Al-Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (w. 597 H);
2. Kitab Al-Ala`i al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah karya Imam as-Suyuthi (w. 911 H);
3. Kitab Tanzih Asy-Syari’ah al-Marfu`ah ‘an Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-Maudhu`ah karya Ibnu ‘Arraq Al-Kanani (Lihat Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 93).
Dalam kitab Tahdzirul Muslimin karya Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i hal. 109 tersebut diterangkan, bahwa hadits “hubbul wathon minal iman” adalah maudhu` (palsu). Demikianlah penilaian Imam as-Sakhawi dan Imam ash-Shaghani. Imam as-Sakhawi (w. 902 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadits al-Musytaharah ‘ala Alsinah, halaman 115.
Sementara Imam ash-Shaghani (w. 650 H) menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya Al-Maudhu’at, halaman 8.

Penilaian palsunya hadits tersebut juga dapat dirujuk pada referensi-referensi (al-maraji’) lainnya sebagai berikut :
1. Kasyful Al-Khafa` wa Muziilu al-Ilbas, karya Imam Al-‘Ajluni (w. 1162 H), Juz I hal. 423;
2. Ad-Durar Al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Masyhurah, karya Imam Suyuthi (w. 911 H), hal. 74;
3. At-Tadzkirah fi al-Ahadits al-Musytaharah, karya Imam Az-Zarkasyi (w. 794 H), hal. 11.
(Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin min al-Ahadits a-Maudhu’ah ‘Ala Sayyid al-Mursalin, hal. 109)

Ringkasnya, ungkapan “hubbul wathon minal iman” adalah hadits palsu (maudhu’) alias bukanlah hadits Nabi SAW.

Hadits maudhu’ adalah hadits yang didustakan (al-hadits al-makdzub), atau hadits yang sengaja diciptakan dan dibuat-buat (al-mukhtalaq al-mashnu`) yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Artinya, pembuat hadits maudhu` sengaja membuat dan mengadakan-adakan hadits yang sebenarnya tidak ada (Lihat Syaikh al-Azhari asy-Syafi’i, Tahdzirul Muslimin, hal. 35; Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, hal. 89).

Lalu bagaimana seharusnya? Ikatan apakah yang harusnya dipakai? Tentu saja Islam.
Lupakah kita pada seruan Allah:

“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara.” (Qs. al-Hujuraat [49]: 13).

Serta pada hadits Nabi Saw.:

Barangsiapa datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian terhimpun pada satu orang laki-laki (seorang Khalifah), dia (orang yang datang itu) hendak memecah kesatuan kalian dan menceraiberaikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.” [HR. Muslim].

Dari hadits di atas itu adalah qariinah (indikasi) bahwa memecah belah kesatuan di bawah seorang pemimpin (Khalifah) adalah sesuatu yang haram. Begitu pula dengan kelakuan berpecahbelah, adalah sesuatu yang haram, seperti yang diungkapkan dalam ayat al-quran:

“Dan berpegang teguhlah kalian semua kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian berpecah belah.” (QS. Ali Imran: 103)

Sungguh, saya menulis seperti ini bukan berarti bahwa saya benci dengan Negeri gemah ripah loh jinawi ini. Saya cinta negeri ini, namun bukan dengan sekat-sekat Nasionalisme seperti sekarang. Saya rindu bersatunya kita kaum Muslim di bawah satu komando saja. Selain itu, Rasulullah Saw. juga melarang adanya lebih dari satu pemimpin yang memimpin kaum Muslim seperti dalam hadits:

«إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا اْلآخِرَ مِنْهُمَا»
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (HR Muslim)
(Penjelasan lebih panjang tentang hadits di atas, silahkan klik ini.)

Jika kenyataan bahwa Nasionalisme ternyata tidak ada dalam Islam masih menyisakan kegalauan dan menyesakkan jiwa, maka sudah saatnya kita melakukan penyegaran keimanan kita pada Allah Swt. dengan menegaskan kembali jawaban dari pertanyaan: "Siapakah yang lebih tahu yang baik untuk makhluq selain penciptanya?"


"...boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui" (QS:Al-Baqarah:216)

Semoga mampu menyegarkan perspektif dan menginspirasi.

Let's sing it:
nasionalisme adalah tempat tinggal yang kita bela
nasionalisme untuk negara ini adalah pertanyaan
nasionalisme untuk negara ini menuju kehancuran
nasionalisme menuntun bangsa kami menuju kehancuran
(Koil: kenyataan dalam dunia fantasi)

Saatnya buang Nasionalisme ke tempat sampah dan hanya jadikan Islam sebagai satu-satunya ikatan.
Wallahu'alam
Remake from Ust. Shiddiq al-Jawi's article: mriki
====================================================================
untuk memperkaya lagi pemahaman tentang simbol kenegaraan dalam Islam, sila download kitab bendera Islam
read more

7 Agu 2011

Anda harus tahu sebelum memutuskan akan menikah. *for adult only! :p

Pernikahan adalah suatu "kelumrahan" dalam episode kehidupan manusia. Semua manusia yang berakal sehat tentu saja akan memiliki keinginan untuk mengarungi bahtera pernikahan, meskipun bukan rahasia lagi bahwa pernikahan adalah gerbang menuju kehidupan multidemensional dan lebih kompleks dibandingkan jenjang kehidupan sebelumnya. Hal ini karena dalam pernikahan menuntut menghadirkan kematangan berbagai aspek dua manusia yang akan dipersatukan dalam ikatannya. Bukan berarti dalam saat kehidupan melajang seorang insan tidak dituntut untuk menghadirkan kematangannya, namun sesungguhnya kehidupan pernikahan memang menuntut kuantitas dan kualitas kematangan yang lebih.

Saat seorang pria sudah bersanding di pelaminan dengan wanita pujaannya, maka sejak saat itu dan seterusnya dia telah berganti status menjadi seorang pria yang utuh dengan titelnya sebagai seorang suami dan calon ayah. Begitu pula sebaliknya, wanita menapaki fase-fasenya sebagai seorang wanita, dan kemudian dinisbatkan gelar istri padanya pada saat seorang laki-laki sudah terikat dengannya.

Setiap fase yang ditapaki manusia--baik pria maupun wanita--akan senantiasa menuntut kemampuan minimal yang dimilikinya agar dia 'layak' untuk dinyatakan sebagai manusia yang berada di tahapan tersebut. Orang-orang yang bergelut di bidang Teknologi Informasi menyebutnya sebagai "minimal system requirement". 

Jika ada manusia yang dengan tolok ukur "jam hidup" seharusnya sudah mampu untuk melakukan satu hal, namun dia masih belum bisa melakukannya, maka kemungkinan dia akan 'tersingkir' dari kehidupan sosialnya (jika dia tidak berusaha "menutupi" kekurangannya itu dengan menonjolkan kebolehannya di hal lain), atau masih memiliki kehidupan sosial, namun dengan pandangan masyarakat bahwa dirinya "berbeda" (jika dia benar-benar tidak mampu melakukan "apapun").

"Manusia (selain Nabi dan Rasul) memang tidak ada yang benar-benar memenuhi kriteria untuk dikatakan SEMPURNA meskipun penciptaanya paripurna." 
 Itulah kata-kata yang sering kita dengar. Anda merasa seperti itu? Ya! Tentu saja. Manusia akan senantiasa merasa seperti itu, olehkarenanya manusia akan senantiasa meningkatkan kematangannya dalam berbagai perannya, termasuk dalam perannya dalam rumahtangga.

Hal yang ingin saya bagi di sini adalah bahwa manusia biasa--meskipun TIDAK pernah mampu meraih kehormatan bergelarkan "sempurna"--perlu tahu dan berusaha memenuhi sebab-akibat untuk menjangkau "Minimum System Requirement" setiap fase kehidupannya, termasuk fase kehidupan yang didaulat sebagai separuh dari agama dan menjadi Sunnah pembawa risalah-Nya. Hal ini dibutuhkan agar saat menapaki fase itu, kita mampu memiliki kehidupan yang "normal" serta memiliki ketahanan yang mumpuni.

===============================================================

Sepenggal dialog 'unik', karena seorang yang sudah menikah bertanya tentang pernikahan pada orang yang belum menikah.. :)
  • Assalamualaikum, masbro (*sebenarnya, beliau manggil nama. Selanjutnya nama itu akan terus diganti menjadi "masbro"  :-).. Ini XXX (**disamarkan untuk privasi ibu ini).. Approve, ya.. mau tuker fikiran.. Butuh pencerahan..
  • Wa'alaykumsalam.. Sip..udah diconfirm,bu..
  • masbro,, minta ilmunya.. XXX lagi bener-bener pengen tau hak-hak seorang istri dan kewajiban istri. Plus sebaliknya.. Terus kalo suami berbuat dijalan yg salah kewajiban istri kan buat mengingatkan..? Tapi kalo misalkan suami ga sadar sadar kalo ternyata jalannya salah dan meminta istri nya untuk tidak mencampuri urusan nya gimana?? Dosa ga istri nya kalo gitu?? Nuhun ya masbro.. 
  •  bu XXX punten baru dijawab, soalnya baru ada kesepatan ke warnet..maklum belom ada modem sendiri..(curcol dikit.hehe)

    Beberapa kewajiban istri yang harus dipenuhi:
    1. Mentaati suami dalam perkara yang baik
    2. Tidak boleh memasukkan seseorang ke dalam rumahnya ketika suaminya tidak ada
    3. Tidak keluar rumah kecuali dengan izin suaminya
    4. Menjaga harta suami
    5. Melayani dan membantu suami
    6. Mensyukuri kebaikan suami

    Kewajiban Seorang Suami
    1. Membantu istri agar selalu taat kepada Allah swt

    2. Memperlakukan istri dengan baik.
    3. Menafkahi istri dan anak .
    4. mengingatkan istri yang tidak taat suami.

    lengkapnya bisa didownload: #linknya sudah dipindah ke bagian bawah artikel untuk keindahan penempatan. :)



    kalo suami salah, ya istri wajib mengingatkan... hal ini menjadi hukum asal kewajiban seorang muslim: memerintahkan yang ma'ruf (kebaikan), dan mencegah hal munkar (keburukan).
    kalo suami ga sadar, mungkin perlu dievaluasi mulai dari cara kita menyampaikan, apakah sudah tepat dan secara halus.. karena meskipun yang kita beritahukan adalah kebaikan dan kebenaran, tapi kalo cara yang dpake "gak cocok" sama orang yang kasihtau, biasanya malah nolak..
    hal lain yang perlu diperhatikan adalah tentang diri kita sendiri.. menurut pengalaman ini mah: kalo kita sendiri masih sering melakukan kesalahan, biasanya agak susah masuk kalo kita ngingetin ke orang lain.. seolah2 Allah lebih menutup hati orang yang kita ingetin.. nah karena itu, selain mengingatkan orang lain, kita juga tentu harus sambil memperbaiki diri juga..

    selain itu istri yang mengingatkan juga harus sabar, bu... karena manusia butuh proses..
    bicarakan baik2, dengan hati dingin, diiringi doa, dan dengan mengandalkan kedewasan suami-istri, saya yakin semua masalah bisa diatasi..:)
    wallahu'alam..
==========================================================================
SEMOGA MENGINSPIRASI!
WALLAHU'ALAM....

download terjemah kitab/buku Al-lnsyirah fi Adabin Nikah Zaadul Ma'ad fi Hadyi Khairil 'lbaad Juz 4 di 4shared.com di 4shared.com | di Mediafire.com (Tuntunan Lengkap Pernikahan-Ibnul Oayyim Al-Jauziyyah [warning!!! seriously for adult only!!!] )
read more

adab berdiskusi dan debat dalam Islam, dikutip dari kitab min muqawimmat nafsiyah islamiyah (pilar-pilar pengokoh nafsiyah Islam)

Al-Jadal adalah At-Tahâwur (berdiskusi atau berdialog), seperti firman Allah:

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal-jawab antara mereka antara kamu berdua.” (TQS. al-Mujadalah [58]: 1)

Dalam ayat ini Allah menyebut al-jadal (berdebat) dengan istilah at-tahâwur (berdiskusi). Definisi al-jadal  (berdebat) adalah penyampaian hujjah atau yang diduga sebagai hujjah oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya untuk membela pendapat atau madzhabnya, membatalkan hujjah lawan, dan mengubahnya kepada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.
Berdebat termasuk perkara yang diperintahkan syara’ untuk menetapkan kebenaran dan membatalkan kebatilan. Dalilnya adalah firman Allah Swt:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (TQS. an-Nahl [16]:125)

 Firman Allah Swt:

“Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar’” (TQS. al-Baqarah [2]: 111)

Rasulullah saw. juga telah mendebat kaum Musyrik Makkah, Nasrani Najran, dan Yahudi Madinah. Pengemban dakwah akan senantiasa menyeru kepada kebaikan (Islam), amar makruf nahyi munkar, dan memerangi pemikiran yang sesat. Karena berdebat telah ditentukan sebagai uslub dalam semua aktivitas yang wajib tersebut, maka berdebat menjadi suatu kewajiban pula berdasarkan kaidah (ushul): 
"Suatu kewajiban yang tidak sempuran (pelaksanaannya) tanpa sesuatu, maka sesuatu itu (hukumnya) wajib."
 
Di antara perdebatan ada satu jenis perdebatan yang dicela secara syar’i, sehingga menjadi satu bentuk kekufuran, seperti mendebat Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah berfirman:

"Dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah , dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksaan-Nya." (TQS. ar-Ra’du [13]: 13)

"Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir." (TQS. Ghâfir [40]: 4)

Orang yang kufur adalah orang yang mengingkari (kebenaran), bukan orang yang membenarkan (kebenaran). Sebab, orang yang ingkar akan berdebat dalam rangka untuk membantah kebenaran. Sedangkan orang yang menetapkan kebenaran (al-mutsbit) akan berdebat untuk memastikan kebenaran dan melenyapkan kebathilan. Allah berfirman:

“Mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu.” (TQS. Ghâfir [40]: 5)
“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (TQS. az-Zukhruf [34]: 58)

Berdebat tentang al-Quran untuk menetapkan bahwa al-Quran bukan mukjizat atau bukan berasal dari Allah juga merupakan suatu kekufuran. Ahmad telah meriwayatkan hadits marfu’ dari Abû Hurairah; Rasulullah saw. bersabda:

“Berdebat tentang al-Quran adalah kufur.” (Ibnu Muflih berkata, “Hadits ini isnadnya baik dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir”)

Ada juga perdebatan yang makruh, seperti mendebat kebenaran setelah jelas dan tampak sebagai kebenaran. Allah Swt. berfirman:

“Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu)” (TQS. al-Anfâl [8]: 6)

Berdebat bisa dilakukan dengan hujjah (dalil) atau dengan syubhat dalil. Adapun berdebat dengan menggunakan selain keduanya merupakan syaghab dan takhlith. Definisi syubhat adalah sesuatu yang dibayangkan oleh suatu madzhab dalam bentuk hakikat, padahal kenyataannya tidak demikian. Ini adalah definisi Ibnu Aqil. Ibnu Hazm telah mendefinisikan asy-syaghab adalah merekayasa hujjah yang batil dengan menggunakan suatu premis atau premis-premis yang rusak, yang akan menggiring kepada kebatilan. Disebut juga al-safsathah (mengelabuhi). Ibnu Aqil berkata, “Siapa saja yang suka menempuh metodologi ahli ilmu, maka ia hanya dibenarkan berbicara dengan hujjah (dalil) atau syubhat dalil. Sedangkan asy-syaghab adalah merupakan pencampuradukan yang dilakukan oleh ahli debat. Dari paparan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa asy-syaghab adalah berdebat tanpa menggunakan dalil atau syubhat dalil.

Di antara adab dan aturan berdebat yang telah diwasiatkan oleh para ulamadengan sebagian tambahanadalah :
a.    Mengedepankan ketakwaan kepada Allah, bermaksud taqarrub kepada-Nya, dan mencari ridha-Nya dengan menjalankan perintah-Nya.
b.    Harus diniatkan untuk memastikan kebenaran sebagai kebenaran dan membatilkan yang batil. Bukan karena ingin mengalahkan, memaksa, dan menang dari lawan.
Asy-Syafi’I berkata, “Aku tidak berbicara kepada seorang pun kecuali aku sangat suka jika ia mendapatkan taufik, berkata benar, dan diberi pertolongan. Ia akan mendapatkan pemeliharaan dan penjagaan dari Allah. Aku tidak berbicara kepada seorang pun selamanya kecuali aku tidak memperhatikan apakah Allah menjelaskan kebenaran melalui lisanku atau lisannya.” Ibnu Aqil berkata, “Setiap perdebatan yang tidak bertujuan untuk membela kebenaran maka itu menjadi bencana bagi pelakunya.”
c.    Tidak dimaksudkan untuk mencari kebanggaan, kedudukan, meraih dukungan, berselisih, dan ingin dilihat.
d.    Harus diniatkan untuk memberikan nasihat kepada Allah, agama-Nya, dan kepada lawan debatnya. Karena agama adalah nasihat.
e.    Harus diawali dengan memuji dan bersyukur kepada Allah dan membaca shalawat kepada Rasul-Nya saw.
f.     Harus memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar diberi taufik terhadap perkara yang diridhai-Nya.
g.    Harus berdebat dengan metode yang baik dan dengan pandangan dan kondisi yang baik. Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:

Sesungguhnya petunjuk yang baik, cara yang baik, dan tidak berlebih-lebihan adalah satu bagian dari dua puluh lima bagian kenabian(HR. Ahmad dan Abû Dawud. Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath bahwa hadits ini isnadnya hasan).
h.   Singkat dan padat dalam berbicara. Yaitu berbicara sedikit, menyeluruh, dan fasih (sesuai dengan yang dimaksudkan). Terlalu banyak bicara akan mengakibatkan kebosanan. Disamping juga lebih berpeluang menimbulkan kekeliruan, kelemahan, dan kesalahan.
i.    Harus sepakat dengan lawan debatnya terhadap dasar yang menjadi rujukan keduanya. Dengan orang kafir dasar yang dijadikan sebagai rujukan adalah akal semata-mata, sedangkan jika berdebat dengan seorang muslim, dasar rujukannya adalah akal dan naql. Akal menjadi rujukan pada perkara-perkara yang bersifat rasional. Sedangkan pada perkara-perkara yang bersifat syar’i, naql-lah yang menjadi dasar rujukannya, sebagaimana Firman Allah:

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.(TQS. an-Nisa [4]: 59)

j.    Orang kafir tidak boleh didebat dalam perkara cabang syariat. Sebab, ia tidak beriman kepada perkara pokok syariah. Karenanya, hendaknya tidak berdebat dan berdiskusi dengan mereka mengenai pernikahan dengan empat isteri, kesaksian wanita, jizyah, hukum waris, haramnya khamr, dan sebagainya.
k.   Tidak mengeraskan suaranya kecuali sebatas untuk bisa didengar oleh orang yang ada di sekitarnya. Dikisahkan ada seorang lelaki dari Bani Hasyim yang bernama Abd ash-Shamad berbicara di hadapan Khalifah al-Ma’mun dengan mengeraskan suaranya. Kemudian al-Ma’mun berkata, “Wahai Abd ash-Shamad, janganlah engkau mengeraskan suaramu. Karena sesungguhnya kebenaran terdapat pada yang paling tepat, bukan yang paling keras.” (Al-Khatib dalam al-Faqih wa al-Mutafaqqih).
l.    Tidak boleh merendahkan lawan diskusi dan meremehkan persoalannya.
m. Harus bersabar atas penyimpangan lawan diskusi, bersikap sabar, dan memaafkan kesalahannya, kecuali orang itu memang pandir. Maka kita harus menjauhkan diri dari berdiskusi dan berdebat dengannya.
n.   Harus menjauhi al-hiddah dan al-dhajjar. Ibnu Sirin berkata, “al-hiddah merupakan kiasan dari kebodohan.” Maksudnya adalah bodoh dalam berdiskusi.
o.   Apabila berdebat dengan orang yang lebih banyak pengetahuannya maka hendaknya tidak mengatakan, “Engkau salah,” atau, “Perkataan anda keliru,” melainkan harus mengatakan, “Bagaimana pendapat anda jika ada orang yang mengatakan,” atau membantah dengan menggunakan redaksi orang yang meminta petunjuk, seperti berkata, “Bukankah yang benar itu pernyataan demikian?”
p.   Berusaha memikirkan dan memahami perkara yang disampaikan oleh lawan diskusi dan tidak boleh cepat-cepat berbicara sebelum lawan diskusi selesai berbicara. Dari Ibnu Wahab ia berkata; Aku mendengar Malik pernah berkata, “Tidak ada kebaikan pada jawaban sebelum dipahami terlebih dahulu. Bukan termasuk adab yang baik jika seseorang memutuskan pembicaraan lawannya.” Adapun jika lawan diskusi adalah hanya ingin berdebat, keras kepala, banyak membicarakan yang tidak bermanfaat, maka yang menjadi sikap asal adalah tidak berdiskusi dengannya jika hal itu telah diketahui ada pada dirinya. Apabila baru terungkap di tengah-tengah diskusi, maka ia harus menasihatinya. Apabila ia tidak bisa menjaga diri maka putuskanlah pembicaraan.
q.   Hendaknya menghadapkan wajahnya kepada lawan diskusi, dan tidak berpaling kepada orang-orang yang hadir di forum diskusi untuk meremehkan lawan diskusinya. Jika lawan diskusi melakukan hal itu, maka harus dinasihati. Apabila ia tidak mau menghentikannya, maka hentikanlah diskusi.
r.    Tidak boleh berdebat dengan merasa hebat dan takjub terhadap pendapatnya. Sebab, orang yang ujub tidak akan menerima pendapat dari orang lain.
s.   Tidak boleh berdebat di forum-forum yang ditakutkan, seperti berdiskusi di tempat terbuka dan di forum-forum umum. Kecuali jika ia merasa tenteram dengan agamanya, tidak takut karena Allah terhadap caci maki orang yang mencaci, siap menanggung risiko dari pembicaraannya, baik berupa penjara atau bahkan pembunuhan. Apabila ia tidak bias meneguhkan dirinya bersama Hamzah (tidak mampu mengatakan hak di hadapan penguasa yang dzalim), maka sikap diam lebih utama. Karena dalam kondisi seperti itu (dikhawatirkan) ia akan meremehkan agama dan ilmu. Dalam kondisi ini, bisa diingat kembali bagaimana sikap para ulama terdahulu semisal Imam Ahmad dan Imam Malik. Juga sikap para ulama masa kini seperti para ulama yang mendebat Muamar Kadafi ketika mengingkari as-sunah.
t.    Tidak boleh berdebat dengan orang yang tidak disukai. Baik kebencian ini berasal dari dirinya atau datang dari lawannya.
u.   Tidak berpanjang lebar dalam pembicaraan, khususnya pada perkara-perkara yang sudah diketahui lawan diskusi. Melainkan harus berbicara dengan singkat, namun tidak merusak maksud.
v.   Tidak boleh berdiskusi dengan orang yang meremehkan ilmu dan ahlinya, atau di hadapan orang-orang pandir yang meremehkan diskusi dan orang-orang yang sedang berdiskusi. Imam Malik berkata, “Termasuk merendahkan dan meremehkan ilmu jika seseorang membicarakan ilmu di hadapan orang yang tidak mentaati ilmu itu.”
w.  Tidak boleh merasa rendah untuk menerima kebenaran ketika kebenaran itu tampak pada lisan lawannya. Karena sesungguhnya kembali kepada kebenaran lebih baik daripada terus menerus dalam kebatilan. Juga supaya termasuk ke dalam golongan orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling benar.
x.   Tidak boleh mengacaukan jawaban, yakni dengan memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan. Seperti:

Penanya             : Apakah Arab Saudi itu Daulah Islam?
Penjawab            : Peradilan di sana Islami.

Jawaban ini adalah mughalathah (kacau atau tidak sesuai pertanyaan). Jawaban yang seharusnya adalah mengatakan ya, tidak, atau saya tidak tahu. Jawaban mana pun dari ketiga jawaban ini termasuk jawaban yang muthabiqah (sesuai pertanyaan).
y.    Tidak mengingkari perkara-perkara penting sehingga menjadi penentangnya. Seperti orang mengingkari permusuhan orang-orang kafir terhadap kaum Muslim. Atau mengingkari bahwa system yang diterapkan di negeri-negeri Islam adalah sistem kufur, yakni tidak berhukum dengan Islam.
z.    Tidak menghindarkan diri dari membuang argumentasinya dalam setiap masalah yang cocok dengannya. Seperti memperbolehkan membeli rumah-rumah di Barat dengan riba yang didasarkan pada al-hajah al-khasshah (kebutuhan khusus) yang diturunkan dan dari ad-dharurah al-khashah (darurat khusus), kemudian tidak memperbolehkan kebutuhan-kebutuhan lain seperti makanan, pakaian, dan pernikahan dengan riba. Maka sesungguhnya memperbolehkan suatu kebutuhan berarti telah memubahkan banyak hal yang haram, meskipun tidak menghilangkan argumentasi dan kaidahnya dalam setiap kebutuhan, maka sungguh telah bertentangan.

download terjemah buku/kitab Min Muqawimat an-Nafsiyah al-Islamiyah (pilar-pilar pengokoh nafsiyah Islam part 1
download terjemah buku/kitab Min Muqawimat an-Nafsiyah al-Islamiyah (pilar-pilar pengokoh nafsiyah Islam part 2
read more