Ibu, semenjak dahulu aku tahu dan pahami bahwa kau adalah
manusia pertama yang aku kenal. Bahkan kau yang membuatku mengenali arti
mengenal.
Kau mengajari bukan dengan peluh, bukan dengan kesah, bukan
dengan sedikit resah, tapi dengan darah. Dengan darahmu, bu!
Kau ku bentak, menangis kau dibuatku.
Ku berontak, teriak kau dibuatku.
Diperban uban, ditelikung umur. Kau menua, Ibu!
Duhai penghulu bidadari yang didamba ayah. Beribu harap kau gelindingkan
di hadap anakmu. Berharap dia mau dan mampu mengejar dengan derap kencang. Tapi
tahukah engkau, ibu? Saat memulai melangkah, dia bahkan tidak tahu apakah sanggup
mengejar semuanya. Iya, dia itu aku, bu.
Pasangan hidup yang kau inginkan aku bersanding dengannya, pengakuan
halayak atas prestasi gemilang, kemapanan hidup yang menjulang. Aku tidak tahu
apakah aku sanggup menggenggamnya. Meskipun sungguh, aku berlari menujunya, bu!
Sungguh!
Bu, aku hanya ingin memastikan bahwa aku akan membuatmu tidak
menyesal memberikanku kehidupan. Karena sungguh, aku akan menjadi saksi di hadapan Raja
Semesta bahwa engkaulah yang membuatku mengenalNya.
Aku akan siap menjadi saksi saat tak ada hujjah kecuali apa yang telah diperbuat saat di dunia. aku akan bersaksi bahwa engkaulah yang menjadi kunci rahasia semesta ilmu. Engkaulah yang menjembataniku mengenali tugas para Nabi dan para pewaris risalahnya. Engkaulah yang menuntunku berada di barisan terdepan para martir! Itu engkau, ibu!
Aku akan siap menjadi saksi saat tak ada hujjah kecuali apa yang telah diperbuat saat di dunia. aku akan bersaksi bahwa engkaulah yang menjadi kunci rahasia semesta ilmu. Engkaulah yang menjembataniku mengenali tugas para Nabi dan para pewaris risalahnya. Engkaulah yang menuntunku berada di barisan terdepan para martir! Itu engkau, ibu!
Dan aku akan membuatmu tidak menyesal melahirkanku ke
dunia. Aku janji, ibuku sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar