Mari telanjangi diri dengan pandangan yang objektif, karena kadang kita masih terlalu banyak defensif apologogetik saat menilai diri sendiri. Selain itu, defensif apologetik itu tidak sehat, untuk pengembangan diri maupun keimanan.
Defensif apologetik berati melakukan pembenaran-pembenaran atas kesalahan dibuat atau kekurangan yang dimiliki; bersikap permisif dengan mengajukan pengampunan yang tidak sesuai dengan tempatnya.
Kenapa tidak sehat untuk pengembangan diri dan keimanan? Karena manusia adalah makhluk yang berkekurangan dan meniscayakan adanya perbaikan pada dirinya. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin seseorang akan memperbaiki kekurangan dirinya sedangkan mengakui kesalahannya saja dia tidak bisa (baca: mau)? Bagaimana seorang penulis sastra akan mampu menambah citarasa tulisannya jika diberi masukan diksi saja tidak mau? Bagaimana seorang fotografer amatir akan menjadi profesional jika diberi masukan angle saja ditolaknya? Clear?
Tentang bahwa sikap defensif apologetik tidak sehat untuk keimanan, saya pikir sudah jelas. Sikap defensif apologetik yang kemudian memunculkan permisifisme, pasti akan mudah dipahami. Sikap ini akan menjadikan seseorang memberikan pengampunan saat dirinya menggeser apa yang diyakininya boleh dan tidak. Sedikit demi sedikit, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, dan akhirnya masuklah dia ke jurang terdalam dosa. Ridla Rabbnya seolah menjadi di bawah kendalinya. Apa yang dia inginkan akhirnya diklaim sebagai hal yang dibolehkan oleh Sang Pemilik Jagad. Apakah itu yang namanya memegang teguh apa yang dipercayai? BUKAN! Memegang teguh apa yang diyakini berarti mencari apa yang harusnya dipercayai, baru kemudian menggenggamnya erat, sedangkan melakukan pembenaran adalah memegang apa saja yang dapat digenggam tanpa tahu layak-tidaknya apa yang digenggam.
Wallahu'alam.
NB: Saya harap kita mau membuang apa yang digenggam saat tahu apa yang di tangan tidak layak dipertahankan.
Defensif apologetik berati melakukan pembenaran-pembenaran atas kesalahan dibuat atau kekurangan yang dimiliki; bersikap permisif dengan mengajukan pengampunan yang tidak sesuai dengan tempatnya.
Kenapa tidak sehat untuk pengembangan diri dan keimanan? Karena manusia adalah makhluk yang berkekurangan dan meniscayakan adanya perbaikan pada dirinya. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin seseorang akan memperbaiki kekurangan dirinya sedangkan mengakui kesalahannya saja dia tidak bisa (baca: mau)? Bagaimana seorang penulis sastra akan mampu menambah citarasa tulisannya jika diberi masukan diksi saja tidak mau? Bagaimana seorang fotografer amatir akan menjadi profesional jika diberi masukan angle saja ditolaknya? Clear?
Tentang bahwa sikap defensif apologetik tidak sehat untuk keimanan, saya pikir sudah jelas. Sikap defensif apologetik yang kemudian memunculkan permisifisme, pasti akan mudah dipahami. Sikap ini akan menjadikan seseorang memberikan pengampunan saat dirinya menggeser apa yang diyakininya boleh dan tidak. Sedikit demi sedikit, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, dan akhirnya masuklah dia ke jurang terdalam dosa. Ridla Rabbnya seolah menjadi di bawah kendalinya. Apa yang dia inginkan akhirnya diklaim sebagai hal yang dibolehkan oleh Sang Pemilik Jagad. Apakah itu yang namanya memegang teguh apa yang dipercayai? BUKAN! Memegang teguh apa yang diyakini berarti mencari apa yang harusnya dipercayai, baru kemudian menggenggamnya erat, sedangkan melakukan pembenaran adalah memegang apa saja yang dapat digenggam tanpa tahu layak-tidaknya apa yang digenggam.
Wallahu'alam.
NB: Saya harap kita mau membuang apa yang digenggam saat tahu apa yang di tangan tidak layak dipertahankan.
assalamualaikum
BalasHapustulisan bagus,,, bermakna
wa'alaykumussalaam.
Hapustengkyu, semoga bermanfaat. :)