21 Jan 2019

Waktu

Waktu adalah salah satu elemen penting dalam hidup. Keberadaanya kadang diabaikan begitu saja oleh sebagian orang. Dibiarkan "mengalir" saja katanya, seperti air. Padahal air jika dibiarkan, dia akan mengalir tak tentu arah. Kadang ke tempat yang baik, seperti ke sumur untuk diminum, kadang ke tempat yang kotor seperti comberan.

Waktu adalah salah satu elemen penting dalam hidup. Kadang ada yang menganggapnya sebegitu penting hingga mengumpamakannya sebagai pedang, uang atau pun kehidupan itu sendiri. Sebagai pedang, jika tidak digunakan dengan baik, bisa jadi anda terluka karenanya. Sebagai uang; anda akan merugi jika menyia-nyiakannya. Sebagai kehidupan; anda akan kehilangan kehidupan jika membiarkannya begitu saja.

Waktu adalah salah satu elemen penting dalam hidup. Apakah pernah kita melewatkan setahun, sebulan, sehari, sedetik begitu saja tanpa ada hal yang dihasilkan atau dicapai? 

Anda perlu tahu bahwa setahun adalah waktu berharga bagi para pelajar yang harus menunggu tahun berikutnya untuk ikut tes masuk jenjang kuliah. 

Anda perlu tahu bahwa satu bulan adalah waktu berharga bagi seorang ibu yang hendak melahirkan seorang bayi. 

Anda perlu tahu bahwa sehari adalah waktu berharga bagi seorang pedagang asongan yang hanya makan jika dia berjualan di hari yang sama.

Anda perlu tahu bahwa sedetik adalah waktu berharga bagi seorang sprinter yang memecahkan rekor dunia sebelumnya.

Ya! Waktu yang kita hambur-hamburkan, mungkin adalah rentang masa yang orang lain perlukan untuk mencapai target impian nya.

Sayangnya, yang kita bisa putar mundur hanyalah jarum jam di tangan, bukan waktu. Sekali waktu berlalu, anda akan melewatkanya begitu cepat, bahkan lebih cepat dari degup jantung yang anda sadari.


read more

3 Feb 2018

Syariat Langit yang Berusaha Di(-ke-)bumikan


Manusia adalah makhluk yang Allah ciptakan dengan sebaik-baik bentuk. Meskipun jika kita lihat ada banyak keterbatasan yang ada dalam dirinya. Salah satu contohnya adalah tentang berfikir. 

Kita manusia hanya dapat menjangkau 3 komponen saja: Alam semesta, Manusia, dan Kehidupan. Selain dari ketiga hal tersebut kita tidak bisa menjangkaunya secara langsung. Adapun hal-hal ghaib kita dapat dengan cara menukil dari nash-nash syara'. Hanya saja hal yang perlu dicatat adalah bahwa keterbatasan yang dimiliki manusia justru menandakan bahwa dirinya adalah manusia; sebagai makhluq Allah.

Dengan keterbatasan yang dimiliki, harusnya manusia memahami bahwa dia tidak mampu menjangkau hakikat atas segala sesuatu, termasuk hakikat kebaikan atas dirinya. Oleh karena itu, manusia harus 'menyerah' pada realitas bahwa dirinya terbatas. Daripada kata 'menyerah', nampaknya "menerima" lebih 'menyejukkan' bagi para keras kepala. hehe

Manusia harus menerima kenyataan bahwa level hakikat kebaikan itu adalah bukan level manusia lagi. Dia adalah level pemilik dan pencipta manusia, yang kadang tidak masuk di nalar manusia. 

Dengan kondisi terbatas seperti ini, ada manusia-manusia yang bukannya berusaha membumikan (baca: menerapkan, mengimplementasikan), Syariat Langit malah berusaha dikebumikan (baca: dikubur, dibuang).

Mereka melakukannya dengan berbagai cara. Mulai dari memainkan logika, berlindung dibalik jubah pongah akademis-ilmiah (ini paling saya benci), hingga 'playing victim' ala sinetron ribuan episode (ini cara paling recehan).

Ayolah.. Akui saja bahwa akal manusia terbatas. Pengakuan atas lemahnya manusia justru akan mengantarkan pada ketenangan hakiki; bahwa manusia memiliki Dzat superior yang dimintai tolong saat tak ada manusia atau apapun yang bisa menolong.

Maka bersamaan dengan tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa syariat rajam, potong tangan, qishash, serta poligami adalah syariat yang mengandung kebaikan, sebagaimana kebaikan itu ada di dalam syariat larangan berbohong, perintah shalat, anjuran bersedekah, kewajiban mengeluarkan zakat, dan lain sebagianya. Jadi tidak ada syariat yang "terlalu sadis", "tidak manusiawi", "tidak adil", atau pun "bias gender" dll.

وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّـهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)

Jadi, jangan pernah coba-coba sok tau "mem-bully" syariat langit, karena otak kita tidak tahu sedalam dan seluas apa kebaikan yang Allah siapkan dalam syariat tersebut. 

Lebih dari itu, ketahuilah bahwa Syariat langit itu disampaikan perantara-Nya untuk dibumikan, bukan dikebumikan.

Jadi, siap menerapkan semua* syariat?
Rajam?
Shadaqah?
Shalat?
Menjauhi riba?
Qishash?
Zakat?
Jihad?
Poligami? :-)

*Nb: ada beberapa (baca: banyak) syariat yang mengisyaratkan tidak bisa dijalankan kecuali diterapakan oleh negara.
read more

23 Des 2017

Avoidance


Hey there!
Perkenalkan saya Akira. Saya bukan siapa-siapa. Cuma orang yang suka mengamati manusia dan kadang ditulis. Kadang tema nya menarik (setidaknya menurut saya), kadang gak penting. hehe

Saya mau cerita. Baca ya? Ayo, mau dong.. *maksa* :-D

Saya dilahirkan dengan ibu yang bersikap perfeksionis dan pencemas. Dalam banyak kesempatan, beliau sangat menunjukkan sikap begitu. Tentu kemudian itu membekas di dalam benak dan sikap saya yang di kemudian hari saya sadari bahwa saya juga menjadi cenderung perfeksionis dan pencemas.

Dengan kondisi cenderung perfeksionis ini, bahkan salah satu motto saya adalah "daripada buruk, lebih baik tidak usah sama sekali!". "Buruk" di situ bisa dalam hal hasil, atau juga ketepatan waktu. Sering saya memilih tidak datang sama sekali karena terlambat. Padahal sudah sampai di gerbang tempat agenda.

Lucu? Mungkin... Tapi bagi saya, lumayan menyiksa juga. hehe
Ya, sejujurnya ini menyiksa. Saya akhirnya menghindar dan “berbohong” pada diri saya bahwa semuanya baik-baik saja. Padahal gejolak rasa cemas begitu menggelora di dada.

Banyak kejadian saya menghindar dan “berbohong” pada diri sendiri. Kalau berkenan “mendengar” dan “duduk bersama”, boleh lanjut baca.. J

Kejadian pertama, dulu saat masih SD. Bermain bola adalah favorit saya dan kakak. Kami bermain tak kenal waktu dan tempat. Termasuk di sekolah tentu saja.

Sayangnya sekolah kami tidak begitu luas. Bahkan salah satu dinding pembatasnya adalah rumah warga langsung. Terkadang bola memantul langsung ke dinding mereka. Hingga satu hari saya menendang bola dan.... memecahkan kaca nya. Kami pun berlarian dan sembunyi.

Hanya saja, entah bagaimana akhirnya kami ditemukan (ya iya lah, sembunyi nya cuma di kelas) dan disuruh minta maaf. Saya pun datang (sambil menangis... heu..)

Kejadian kedua, saat kuliah. Saya diberi amanah jadi panitia yang belum pernah saya jabat sebelumnya. Singkat cerita, amanah ini saya diamkan dan tidak kerjakan. Sms dan telpon saya abaikan, dan bahkan kadang hp saya tidak aktifkan. hehe

Sampai yang memberi amanah mengirim pesan pendek kurang lebih begini “kalau dalam waktu 4 jam sms ini tidak direspon, saya cabut amanah ini dari anda.” Kaget bukan kepalang saya dikirimi sms begitu.

Oh ya, zaman itu chat apps semacam WA, LINE dll belum musim. Soalnya waktu itu masih musim YM. Jadul yak? Khukhuy!

Kejadian ketiga, pasca kuliah. Lagi-lagi ada yang mengamanahkan sesuatu. Kali ini diminta untuk dibuatkan desain buku yang terkait dengan agenda. Rencananya hendak dibagikan di hari agenda itu, namun desain yang harusnya selesai sepekan sebelumnya untuk dicetak, hingga hari H-1 belum juga dikirimkan.

Malu nya bukan main saya dibuat kelakuan sendiri.


Kadang muncul untuk “bersolusi” menghilang selamanya. Tapi......... avoidance 2
read more

Avoidance 2



Berkali-kali saya mencoba untuk menghilang sementara. Ya setidaknya sampai badainya mereda. Agar ‘nyawa malu’ bisa terselamatkan.

Tapi akhirnya ada yang membisiki, “hei, letak badai itu bukan di luar sana, dia ada di dada mu!” ya, ternyata kecamuk kacau rasa itu ada di dalam sini! Di luar memang “baik-baik” saja. Hanya perlu hadirnya saya saja. Ternyata.

Di kejadian pertama, berakhir dengan sang empunya rumah berkata “iya gak apa-apa.. gak sengaja kan..?” ah, manusia lanjut usia yang baik hati. Terima kasih telah menenangkan anak SD yang sedang tersedu sedan kala itu.

Kejadian kedua saya selesaikan dengan merespon sebelum jatuh tempo. Sambil menelan pil pahit malu. Ya, konsekuensi menghilang sementara memang. Telan saja! Take the consequences..!

Amanah pun selesai, dan tak ada gunjingan pasca itu. Alhamdulillah, naik kelas pula saya di mata banyak orang senior kala itu.

Sedangkan kejadian ketiga, karena terlewat tenggat waktu. GAGAL TOTAL memang. Namun saya berpikir, ini bukan akhir segalanya. Saya temui perwakilan penanggung jawab agenda. Menjelaskan seluruh kronologis, lalu menutupnya dengan permohonan maaf. Ah, manusia memang mungkin lalai.

Begitulah cara saya akhiri semua fase menghilang itu. Hadapi saja. Hantam. Tak peduli berhamburan malu, dikata tak punya wajah, tak bertanggung jawab. Hei, justru menemui penanggung jawab itu adalah bentuk tanggung jawab!

“Karena tak dikata cacat sebuah wajah rupawan karena ada goresan luka kecil, maka tunjukkan saja seluruh wajah mu itu!”

Halah tulisan macam apa pulak di atas ini?!?!
Saya cuma mau bilang: ayolah datang saja. Temui meski mungkin malu. Menghilang itu tidak sehat untuk kesehatan pikiran.

Nb: this is special for you. Yes, it's for you. 
Don't forget to smile and energic, as always. :)
read more

Kerudung & jilbab, samakah?



Kewajiban kerudung diterangkan dalam Al Quran Surah An-Nur: 31

“…dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…”

Khimar atau kerudung adalah apa yang dapat menutupi kepala, leher dan sebagian dada tanpa menutupi muka (Al Baghdady, 1991) Batas bawah yang ditutup oleh kerudung adalah bagian kerah baju yang memperlihatkaan leher dan dada (Tafsir Al Azhar juz XVIII hal 180). 

Sedangkan kewajiban jilbab diterangkan dalam Al Quran Surat Al Ahzab : 59

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha penyayang."

Definisi jilbab yang diterangkan dalam kamus al Muhith adalah pakaian yang luas untuk wanita yang dapat menutupi pakaian rumahnya seperti milhafah (mantel). Tafsir Jalalain (jilid 3:1803) memberikan arti jilbab sebagai kain yang dipakai seorang wanita untuk menutupi tubuhnya. Jauhari dalam Ash Shihah mengatakan jilbab adalah kain penutup tubuh wanita dari atas sampai bawah. Khaththath Usman Thaha dalam Tafsir wa Bayan menjelaskan jilbab adalah apa-apa yang dapat menutupi seperti seprai atas tubuh wanita hingga mendekati tanah. Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq Jilid 7 (Edisi Indonesia) menerangkan jilbab adalah baju mantel. Dalam Kitab Mujam al Wasith hal 128 jilbab diartikan sebagai pakaian yang menutupi seluruh tubuh atau pakaian luar yang dikenakan diatas pakaian rumah seperti mantel. 

Jadi Kerudung & jilbab itu berbeda, tapi kewajiban memakainya adalah sama-sama wajib digunakan. :)
read more

13 Apr 2017

MURAHAN!

Dear readers, apakah kalian berencana memiliki anak? Atau kalian sudah memiliki anak? Bersekolah kah mereka? Berapa biaya mereka bersekolah? Murah kah? Mahal Kah?

Saya adalah orang yang senang mengamati tingkah laku manusia. Baik yang masih anak-anak ataupun dewasa. Dengan mengamati tingkah lakunya, kadang di kepala saya berseliweran tentang hal-hal yang mereka telah mereka lalui di kehidupannya. Mungkin mereka pernah mengalami ini, pernah mengalami itu. Meski pada akhirnya hampir selalu berakhir di dugaan--yang entah benar atau tidak. Sebagian disertai dengan rasa kagum, sebagian lainnya dengan rasa kasihan.

Melihat anak yang memiliki hafalan quran belasan atau puluhan juz misalnya, saya kemudian membayangkan betapa hari-harinya dipenuhi dengan muraja'ah paling tidak di subuh dan magrib. Terutama bagi anak-anak yang tidak tinggal di pondok pesantren tahfidz quran. Saya kemudian menduga mereka biasa 'setoran' hafalannya pada orang tua mereka. Betapa menjaga dan perhatiannya orangtua mereka. Meskipun itu juga hanya sekedar asumsi.

Sebaliknya, saat saya bertemu dengan anak yang agak kusam tidak terurus atau terlihat "bandel" dalam rangka mencari perhatian, pengamatan saya berakhir dengan pikiran: "bagaimana orangtua memperlakukan mu, nak?"

Di suasana dunia yang semakin hedonis seperti sekarang ini, sebagian orang menaruh standar berharga atau tidak dengan ukuran materi belaka. Ukuran uang. Ratus ribu, juta, puluhan juta, milyar dst. Maka tidak heran ada orang tua yang sampai hati membentak habis-habisan ketika anaknya tanpa sengaja merusak 'barang mahal' semisal gadget. Mereka lupa anak adalah manusia, yang sudah barang tentu lebih mahal dibanding gadget seri terbaru milik mereka. Ada juga yang tega meluluhlantakkan hati anak di depan umum saat tak sengaja memecahkan porselein yang rapuh. Mereka lupa perasaan anak juga rapuh, bisa 'pecah' dan berbekas jika 'dibanting'.

Wahai orang tua! Anak mu adalah penerus nafas di dunia setelah dirimu mati! Salah satu hal dari tiga hal yang berharga saat semua hal di dunia ini tidak ada harganya lagi! Didiklah mereka dengan cara dan proses yang "mahal", jangan cara murahan!

Anak-anak itu butuh orangtua yang "mahal" bukan sekedar disekolahkan di sekolah yang mahal. Jangan berharap banyak jika hanya menyekolahkan anak di sekolah "bagus dan mahal", sedangkan orangtua nya adalah orang tua murahan yang tidak tahu memperlakukan dan membentuk anak sebagai calon manusia baru di masa depan.

Jangan pernah keluar dari mulut kita "saya sudah bayar mahal sekolahkan anak saya di sini, masa hasilnya begini-begini saja". Sekolah itu bukan ember cat yang sekali celup sebuah benda yang diangkat darinya pasti berwarna. Belajar dan pendidikan itu adalah proses sepanjang hari, sepanjang hayat.

Berikanlah harta mahal yang bisa kita bayar untuk mendidik mereka: WAKTU kita. Habis uang puluhan, ratusan juta bisa kita dapat kembali, sedangkan waktu yang kita "berikan" untuk orang, di mana kita bisa mencari?
read more

Karena semua ada ilmu nya

Ayah saya kadang suka berkata dengan nada bercanda, namun kadang di balik kalimat candaannya menyimpan makna filosofis. Salah dua kalimat yang saya ingat adalah "hujan ge aya raat na" (hujan juga ada reda nya) dan "nanaon oge aya elmu na" (semua juga ada ilmu nya).

Kalimat pertama biasanya beliau katakan ketika kami, anggota keluarganya, sedang menunggu antrian yang lama. Saat macet di jalan, dan salah satu diantara kami terlihat sudah tidak sabar, misalnya, beliau biasanya langsung berkata demikian. Biasanya kami kemudian tertawa kecil. Bukan karena kalimat tersebut lucu, tapi karena saking seringya beliau berkata demikian. Ya, agar kami bersabar, karena ada tidak sabar justru akan membuat suasana semakin menyebalkan.

Sedangkan kalimat kedua biasa beliau katakan saat kami anggota keluarganya (terutama anak-anaknya) melihat satu pekerjaan yang menurut kami sulit dikerjakan, namun dikerjakan begitu mudah oleh orang lain. Sama dengan kalimat pertama, sesaat setelah beliau berkata kalimat tersebut, kami akan tertawa kecil. Lagi-lagi, bukan karena lucu, tapi karena seringnya beliau berkata demikian. Klise.

Dari kedua kalimat klise ayah kami tersebut, bagi saya yang menarik adalah kalimat kedua. Beliau mengingatkan kami bahwa segala hal di dunia ini memerlukan ilmu. Bahkan hal-hal remeh temeh semacam mencuci setumpukan gelas dan piring kotor agar bersih sempurna, mengepel lantai agar tak ada kotor lagi, atau menyetrika baju agar tak ada kusut tersisa. Semuanya ada ilmunya. Akan sulit atau tidak terselesaikan secara 'sempurna' jika tidak dibarengi dengan ilmunya.

Termasuk di dalamnya adalah ketika misalkan anda memutuskan hendak menikah. Jangan terburu-buru menikah sebelum memenuhi isi kepala dengan ilmu tentang membangun rumah tangga. Saya tidak mengatakan bahwa menikah di usia muda itu tidak baik. Bukan! Karena usia bukan jadi patokan banyaknya isi kepala, bukan?

Hal yang ayah saya pesankan ini sebenarnya sejalan dengan perkataan seorang ulama Hadits terkemuka, al-Bukhari: “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)”

Dengan ilmu, segala yang kita lakukan akan terarah, tidak serampangan. Lebih dari itu, kita tahu apa yang kita lakukan itu benar.

Sebagai seorang manusia, terlebih sebagai seorang Muslim, harus membekali diri dengan ilmu. Ilmu apapun. Terlebih terkait dengan hal-hal yang hendak dilakukan. Karena setiap perbuatan pasti akan dimintai pertanggungjawabannya, maka tak boleh lengah seorang muslim dalam membekali diri dengan ilmu.

Sekiranya seseroang hendak bertransaksi jual beli, maka ia harus mengetahui tentang boleh atau tidaknya model transaksi semacam itu. Seandainya seseorang hendak memutuskan mengambil atau meninggalkan sesuatu, maka hendaknya dia mengetahui dia diperintahkan untuk mengambil atau meninggalkan sesuatu tersebut. Demikianlah seterusnya. Karena di hari pembalasan kelak, tak ada hal yang tak ditanyakan oleh Sang Raja Semesta.

Ah.. Thank you, daddy!
read more

27 Sep 2016

Belajar

Bagi sebagian orang menganggap bahwa belajar artinya duduk di dalam kelas, dengan baju seragam, diabsen tiap pagi, serta menggunakan bangku kayu yang kalau kau duduk lama di situ niscaya pantat mu kesemutan. Hehehe

Bukan begitu, saudara. Belajar bukan hanya ada di dalam kelas. Tak melulu mesti ada guru yang berseru. Pelajaran itu tersebar di seluruh bumi Allah. Berserak di jalanan. Tersebar di seluruh penjuru mata angin.

Suatu waktu mungkin kau melihat ada anak belajar bersepeda. Jatuh dia berkali kali, tapi tak ada terpikir untuk berhenti. Darinya kau bisa belajar untuk terus keras kepala jika memang perlu.

Di hari lain kau bertemu anak ingusan yang tak henti untuk menjelajah. Lihat betapa dia bersemangat untuk mengamati (dengan caranya sendiri tentu saja) hal baru yang dia belum ketahui. Belajarlah darinya bahwa belajar hal baru itu menyenangkan. Tentu saja harusnya kita juga bersemangat saat belajar hal baru; hal yang kadang mungkin kita lupa.

Pada satu kesempatan, menyengajalah mengamati tukang becak yang tidur di becaknya. Kau akan dapati pelajaran bahwa nikmat nya tidur tidak selalu berbanding lurus dengan seberapa empuk & luasnya tempat tidur.

Ah... Kau lihat kan betapa banyak hal yang bisa kita pelajari? Bukan hanya di dalam kelas, tapi juga di luar kelas. Jauh dari kata formal, dipimpin oleh banyak "guru", dengan jumlah pelajaran yang sulit dihitung jumlahnya.

Jadi mulai dari sekarang, belajarlah di manapun. Dari hal apapun. Pada siapapun. 
Mari belajar.. :-)

Nb: namun yang perlu diingat, wahai saudara, bahwa memang ada pelajaran-pelajaran khusus dengan ilmu khusus, memang yang harus kita belajar di waktu khusus. Tentu dengan guru khusus pula. Tak bisa sembarang mengambil guru dan mengambil waktu. 
read more