10 Apr 2025

Why You?

Hai malam ku! Engkau pernah bercerita dengan lisan mu yang menenangkan.  Tentang bagaimana riak rasa mulai hadir saat tatap mata terlempar pada pemuda kucel yang senantiasa berlari itu. 

Kini izinkan aku berkisah tentang langkah demi langkah rasionalisasi rasa yang membuat separuh jiwa akhirnya tertitipkan di dirimu. 

Bagiku memutuskan untuk berada dalam bahtera yang mengarungi samudera artinya adalah memilihkan pangkal bagi generasi. Bukan sekedar "egois" untuk diriku. 

Ah aku memang orang yang senang sekali bertele-tele! Intinya aku jatuh cinta padamu karena aku yakin anak-anak kita akan juga merasakan jatuh cinta yang sama. Aku juga yakin mereka akan bangga padamu karena cerdas dan pekerti mu sebagaimana aku merasa bangga karena hal yang sama. 

Maka akhirnya ku titipkan definisi sayang, perhatian, cinta, dan sosok ibu padamu. Karena kamu terlanjur berlarian di kepalaku sejak saat itu. Waktu ku tahu betapa sederhananya cara kau berjuang dengan garis hidup mu yang tidak mudah itu. Menariknya, kau bukan hanya bertahan, namun juga berhasil melampauinya dengan banyaknya capaian! Jatuh cinta ku dibuatmu!

Adinda, kau adalah anugerah dan rahmat yang dihantarkan-Nya begitu dekat denganku. Begitu besar rasa syukurku, seandainya bisa, aku meminta jangan pernah Allah timpakan padamu sakit. Tak apa bila ditukar denganku saja. Seandainya bisa. 

Namun sunatullah tidak bisa dibantah, ketetapan-Nya tidak bisa dirubah. Aku akhirnya hanya bisa menyampaikan permohonanku padaNya agar kelak kau berakhir di sebaik-baik tempat di akhirat dengan diberikan privilege memilih dari pintu mana kau akan masuk. Alpa dan lupa mu, ku minta dilupa saja.

Ya, wahai gula di kehidupanku, aku ridha padamu. Semoga Allah senantiasa merahmatimu dan izinkan dititipi jiwa yang lapang.

11_04_2025
Dari suami mu yang sedang membuatmu merasa kecewa.
read more

4 Mar 2025

Merayakan


Apa yang sebenarnya manusia rayakan dari pergantian angka? Ada yang potong kue dan meniup lilin. Bertambah usia katanya. Ada yang tiup terompet dan menyulut kembang api. Tahun baru katanya.

Ah, pernahkah sekali saja kita berfikir lebih dalam tentang perayaan-perayaan tersebut?

Manusia memang makhluk penuh dengan simbol. Sebut saja bahasa. Untaian kata yang kita pakai ini adalah dalam rangka mengejawantahkan isi pikiran. Terkadang bahasa sulit untuk mendeskripsikan isi pikiran yang sebenarnya. Rasa sakit misalnya. Perasaan seolah dunia berputar dan bergoyang-goyang dideskripsikan bahasa Indonesia sebagai "pusing". Padahal rasa sesungguhnya belum tentu tepat dengan yang orang tersebut rasakan.

Meskipun bahasa terkadang tidak presisi untuk mendeskripsikan keadaan yang sesungguhnya, kita sebagai manusia tetap membutuhkan bahasa untuk bisa membantu menggambarkan keadaan yang dialami. Karena sekali lagi kita adalah makhluk penuh simbol. 

Lalu, bagaimana dengan perayaan? Bukankah ini juga bentuk simbol? Dengan meniup lilin, apakah artinya seseorang itu ingin mengucapkan selamat datang kepada usia baru? Dengan kembang api, apakah artinya mereka berusaha menyalakan harapan di tahun yang baru? Tetapi, apakah benar makna itu tertuang dalam hati setiap mereka yang merayakan? Atau jangan-jangan hanya sekadar formalitas budaya yang diwariskan? Tanpa sadar?

Manusia kadang lupa bahwa perayaan tidak sama dengan pesta, tetapi adalah tentang kesadaran dan refleksi. Bukan tentang terompet dan kue, tetapi tentang renungan—tentang perjalanan waktu yang sudah dilalui dan arah tujuan yang akan dituju. 

Hal-hal kecil—yang sesungguhnya besar—apakah tidak pantas untuk 'dirayakan'? Seperti saat pagi datang dan oksigen masih mengalir ke paru-paru kita, atau kebahagiaan sederhana saat menyelesaikan tugas yang lama tertunda. Bukankah setiap detik yang berlalu sebenarnya layak 'dirayakan'? Lantas, mengapa manusia menjadikan patokan tahun atau momen tertentu saja untuk di-simbolisasi?

Karena pada akhirnya, merayakan bukan tentang riuhnya suasana. Tetapi tentang bagaimana hati kita benar-benar hadir dalam setiap momen. Menghargai setiap tarikan napas, menyambut setiap kesempatan, dan menerima setiap perubahan dengan lapang dada. Seperti doa yang terbisik lirih di sela malam yang tenang. Bukankah selembut itu seharusnya perayaan kita pada hidup?

read more