23 Sep 2024

"Kutukan" Informasi

Infromasi, dari dahulu kala hingga hari ini adalah hal penting yang dimiliki oleh manusia. Dengan berbekal informasi, kita mampu memilihkan jalan mana yang akan dilalui. Dengan berbekal informasi pula kita akan menilai sesuatu atau bahkan seseorang dan melabelinya dengan label yang lekat sampai dia berganti menjadi label lain.


Informasi--disadari ataupun tidak--akan menjadi bekal bagi kita untuk menilai. Lebih dari menilai, kita akan menentukan bagaimana sikap dan perilaku yang muncul dari informasi yang dimiliki. Orang yang kita mendapatkan informasi tentangnya bahwa dia adalah orang jahat, maka akan kita sikapi dan perlakukan sebagai orang jahat. Begitu pula sebaliknya jika kita mendapat informasi tentang orang baik.
Sebegitu pentingnya informasi, itulah mengapa dis-informasi (fitnah dan hoax) dinilai sebagai perbuatan buruk. Begitu pentingnya informasi, sampai penyampaian informasi yang benar (pun jika infonya benar) dilarang untuk disampaikan karena terkategori sebagai perbuatan ghibah.


Menjadi orang yang dipercaya mendengar dan terlibat dalam peristiwa dengan kategori informasi privat bukanlah hal yang mudah. Anda akan perlu pandai-pandai memosisikan diri sebagai orang yang mengetahui info privat tersebut. Akan ada kondisi dimana anda berfikiran "iya, saya sudah pernah dengar info ini", atau bahkan "yang anda tahu (tentang keburukan) itu belum semuanya. Saya tahu dia lebih parah dari yang anda ceritakan!"


Anda akan terjebak dalam lingkaran dillema, penyampaian yang menyeluruh tentang keadaan yang anda ketahui vs menjaga informasi yang anda tahu itu tidak layak untuk dikonsumsi untuk halayak. Pada akhirnya anda akan perlu memilihkan posisi mana yang anda akan ambil.


'Ala kulli hal, posisi mana pun yang akan dipilih, sebijak-bijaknya manusia adalah yang paham di konteks mana dia perlu untuk ada di posisi mana.


“Cukup seseorang dikatakan dusta, jika ia menceritakan segala apa yang ia dengar.” (HR. Muslim no. 5)

read more

Mimpi dan Kinerja Otak

Di suatu sore, saya dan manteman sedang berkunjung ke tempat teman kami yang sedang sakit. Menengok, ceritanya. Seperti biasa saat topik pembicaraan sudah habis, meskipun belum larut malam, obrolan topik lelaki kami mulai bermunculan.

Bukan! Kami bukan berbincang tentang hal m*sum! Yang kami bicarakan adalah tentang mimpi. Ya, mimpi dengan makna 'bunga tidur', bukan mimpi dengan makna 'visi'. Satu persatu kami mulai bercerita tentang mimpi yang pernah kami atau orang lain alami. 

Ada yang bercerita tentang mimpi serasa ada di gambaran padang mahsyar, dan ketika terbangun dia kaget dan merasa beruntung masih hidup dan berupaya beramal shalih. Selain itu ada yang bercerita pernah seolah pulang kampung saat merasa rindu dengan kampung halaman nya. Saya sendiri bercerita tentang pengalaman saudara sepupu yang pernah bermimpi meninggal dan dikuburkan. Begitu detil mimpinya hingga deru tanah yang berjatuhan saat dirinya ditimbun pun teringat.

Di tengah obrolan tentang pengalaman mimpi kami, saya kemudian berfikir dan memunculkan pertanyaan: saat mimpi berlangsung, sebenarnya waktu yang dipakai itu sesuai atau tidak dengan durasi tidur kita? Maksudnya adalah begini, jika mimpi itu katakanlah 'menayangkan' peristiwa dengan durasi 6 jam, apakah dia mengambil durasi tidur kita selama 6 jam juga?

Kesimpulan hasil diskusi sementara kami saat itu akhirnya adalah: TIDAK. Durasi mimpi yang katakanlah 'menayangkan' peristiwa 6 jam tidak mengambil durasi tidur kita selama 6 jam, melainkan lebih cepat daripada itu.

Saya merasa perlu mempertanyakan soal itu dalam rangka menjawab seberapa cepat kerja otak kita sebenarnya. Dari jawaban pertanyaan itu setidaknya kita akan mendapati 2 hal:

  1. Kerja otak kita sebenarnya mampu untuk menayangkan kejadian, meng-generate-gambar, dan mengolah rasa sangat cepat. Buktinya adalah saat mimpi kita mampu melakukan itu. Hal berbeda terjadi ketika kita ada dalam keadaan tidak tidur (baca: sadar). Pikiran kita dibatasi dengan kecepatan tertentu. Kenapa dibatasi? Nampaknya memang secara sengaja otak kita memang dibatasi kecepatannya. Saya bayangkan keterbatasan ini justru menjaga manusia agar tetap waras dan berhubungan dengan realitas.
  2. Kalaulah pikiran kita mampu untuk sebegitu cepatnya, maka bukan hal aneh ketika Allah menyampaikan mampu menghisab kita dengan cepat.
read more